Monday, August 26, 2013

Kebudayaan Bangsa Indonesia 1

KEBUDAYAAN BANGSA INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN
A.    NDONESIA MERUPAKAN SEBUAH BANGSA
a.       Asal mula nama Indonesia
Nama “Indonesia” diciptakan oleh James Richardson Logan, yaitu seorang antropolog berkebangsaan Inggris. Saat itu Logan kesulitan dalam mengidentifikasi nama penduduk dan kebudayaan yang terbentang diantara benua Asia dan Australia. Akhirnya, nama Indonesia diusulkan Logan dalam catatan kaki dari karyanya yang berjudul “The Ethnology of Indian Archipelago” yang dimuat dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia yang terbit di Singapura tahun 1950. Nama Indonesia baru muncul pada tahun 1950 namun belum digunakan secara resmi, selanjutnya diperkenalkan sebagai judul buku, Indonesia, order die Insel des Malayischen Achipels, yang diterbutkan di Leipziq, tahun 1884 dan 1889 yang ditulis oleh antropologi Jerman, Adolf Bastian.
Jadi sebelum orang Indonesia menyadari dan mengenal nama Indonesia, para pakar ilmu pengetahuan Barat telah dahulu mengkaji bangsa-bangsa dan kebudayaa-kebudayaan yang ada di Nusantara. Nama Indonesia juga dipergunakan oleh para ahli hokum adat Belanda seperti Prof.Dr.C. Snouck Hurgronje dan Prof.Dr.C. Van Vollenhoven dan pakar Belanda di Indonesia, Prof.Dr.H.Kern. Bung Karno pun baru pertama kali mengenal Indonesia waktu beliau menjadi mahasiswa THS (ITB) pada tahun 1920.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun Negara bangsa (nation state) yaitu keaneragaman suku bangsa, bahasa, agama, budaya, dan nusa. Dalam hal tersebut menyebabkan penjajah dapat menjajah Indonesia begitu lama yaitu 3,5 abad lebih yang telah memberikan pengalaman bagi masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang dalam arti penderitaan dan ketidakberdayaan. Kesamaan penderitaan ini menjadi modal awal persatuan bangsa untuk mengusir penjajah.
b.      Negara Indonesia
Negara Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan, yakni Indonesia memiliki tidak kurang dari 17.504 pulau besar dan kecil,, sekitar 6.000 diantarnya tidak berpenghuni. Negara Indonesia berada disekitar garis khatulisyiwa yang memberikan cuaca tropis. Secara gerografis Indonesia terletak diantar 2 samudra yakni Samudra Hindia dan Samudra Psifik, dan 2 Benua yakni Benua Asia dan Benua Australia. Secara Astonomis Negara Indonesia terletak antara 6˚LU-11˚LS dan 95˚BT-141˚BT.
Indonesia memiliki posisi yang strategis yang berpengaruh sangat besar  terhadap bidang kebudayaan, social, politik, dan ekonomi bahkan ditingkat Internasional. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan luas 1,9 juta mil2.
Secara geologis pulau-pulau Indonesia terbentuk melalui beberapa zaman yaitu
1.      Zaman Miocene (12 Juta tahun sebelum masehi)
2.      Zaman Palaeocene (70 juta tahun sebelum masehi)
3.      Zaman Oecene (30 juta tahun sebelum masehi)
4.      Zaman Oligacene (25 juta tahun sebelum masehi)
Pulau-pulau di Indonesia terbentuk sepanjag garis yang berpengaruh kuat terhadap perubahan lempengan tektonik Australia dan Pasifik. Lempengan Australia berubah lambat naik ke dalam jalan kecil Lempeng Pasifik, yang bergerak ke Selatan, dan antara digaris-garis ini terbentang pulau-pulau Indonesia. Hal ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia.
Dilihat dari penduduknya Indonesia merupakan Negara berpenduduk terbesar no 4 di dunia. Secara garis besar penduduk Indoenesia dibagi menjadi 2 kelomppok yakni, dibagian barat penduduk Indonesia kebanyakan suku melayu, sedangkan bagian Timur adalah suku Papua. Agama yang dianut oleh penduduk Indonesia juga bervariasi namun sebagian besar Bergama Islam (85,2%), Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%) dan lain-lain (0,3%).
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbentuk Republik. Negara Indonesia menganut demokrasi Pancasila dan system politiknya didasari pada “Trias Politika” yaitu kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut undang-undang yang berlaku. Indonesia terdiri dari 33 Provinsi yang tiap provinsi memiliki cirri khas dan kebudayaan masing-masing.
Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya akan SDA dan SDM namun walaupun kaya akan sumber daya Indonesia tetap masih menghadapi masalah besar dalam hal kemiskinan karena kurang maksimal dalam mengelola sumber daya yang dimiliki.
B.     TENTANG INDONESIA
Kata Indonesia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti India dan Nesos berarti Pulau. Jadi Indonesia juga berarti kepulauan India atau kepulauan yang berada diwilayah India.
Bendera kebanggan Indonesia yakni Sang Saka Merah Putih yang mengandung arti keberanian (merah) dan kesucian (putih). Lambang Negara Indonesia yaitu Burung Garuda.  Di Burung garuda terdapat 5 buah simbol yakni : Bintang, Rantai, Pohon Beringin, Kepala banteng dan Padi & kapas.

Dibagian burung garuda terdapat :
a.       Masing-masing bulu sayap berjumlah 17 buah.
b.      Ekor 8 buah.
c.       Bulu dibagian bawah peisai 19 buah
d.      Bulu  leher 45 buah.
Dari angka-anngka itu merupakan rangkaian tanggal hari Kemerdekaan Indonesia yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada bagian kaki Burung garuda terdapat pita yang bertuliskan “BHINEKA TUNGGAL IKA” yang merupakan motto utama bangsa Indonesia dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Berbeda-beda Tetapi tetap Satu Jua”. Motto tersebut digunakan bangsa Indonesia karena Indonesia adalah Negara kepulauan yang penduduknya tersebar dan tinggal diwilayah yang berbeda-beda dengan budaya yang berbeda-beda sesuai dengan wilayah yang ditempati. Tujuan dari motto tersebut yakni supaya bangsa Indonesia tetap bersatu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) walaupun memiliki budaya yang berbeda dan diwilayah yang berbeda.
C.     IDENTITAS NASIONAL BANGSA INDONESIA
Identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang berarti ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang yang mmbedakan dengan orang lain. Identitas tidak terbatas pada individu semata, melainkan berlaku pula pada suatu kelompok.
Nasional merupakan identitas yang melekat pada keompok=kelompok yang lebih besarr yang diikat oleh kesaman-kesamaan baik fisik seperti budaya agama, bahas, maupun nonfisik seperti keinginajn, cita-cita, tujuan bersama, rasa senasib dan lain sebgainya. Himpunan kelompok ini yang melahirkan tindakan kelompok dalam bentuk organisasi yang diberi atribuut-atribut nasional.
Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang pluralistic / heterogen. Hetermogenitas itu merupakan gabungan dari unsur-unsuur pembentuk indentitas yakni sebagai berikut :
a.              Suku Bangsa
Suku bangsa adalah golongan social khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat suku bangsa dengan tidak kurang 300 dialek bahasa. Mereka mendiami daerah-daerah tertentu sehingga mereka dapat dikenali dari mana asalnya.
b.              Agama
Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang dinusantara adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Agama merupakan masalah yang sangat sensitive bagi masyarakat bangsa, karena agama merupakan identitas suci disbanding identitas social lainnya. Vitalitas suatu bangsa saangat erat hubunganya dengan keyakinan (agama) bahwa kehidupan bangsa itu ada makna dan arti.
c.              Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebgai makhluk hidup social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pendukung pengetahuan secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yan dihadapi serta digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Intinya, kebudayaan merupakan patokan nilai-nilai etika dan morall, baik yang tergolong sebagai jideal yang seharusnya, maupun yang operasional dan actual didalam kehidupan sehari-hari.
Budaya nasional merupakan kolaborasi antara berbai kebudayaan suku atau etnis yang tersebar di bentangan nusantara. Bangunan budaya nasional berdasarkan pada budaya-budaya mmasing-masing daerah. Oleh karena itu kelunturan budaya daerah pada dasarnya juga menjadi awal kelunturan budaya nassional.
d.             Bahasa
Bahasa dipahami sebagai  system perlambangan yang secara arbiter dibentuk atas unsure-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebgai sarana interaksi antar manusia. Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dahulu dikenal dengan sebutan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung  berbagai etnis yang mendiami nusantara dan juga sebagai bahasa transaksi perdagangan Internasional dikawasan kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan pedagang asing.
Bentuk identitas nasional Indonesia :
1.              Bahsa nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2.              Dasar filsafat Negara, Pancasila.
3.              Lagu kebangsaan, Indonesia Raya.
4.              Lambang Negara, Garuda Pancasila.
5.              Semboyang Negara, Bhinneka Tunggal Ika.
6.              Bendera Negara, sang Merah Putih.
7.              Konstitusi Negara, UUD 1945 yang telah diamandemen.
8.              Bentuk Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
9.              Konsep, wawasan nusantara.
10.          Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional pada dasarnya puncak dari kebudayaan daerah.
 BAB 2 KEBUDAYAAN BANGSA INDONESIA

SOSIAL BUDAYA INDONESIA
Bangsa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan seni dan budayanya. Setiap daerah atau etnis memiliki kebudayaan masing-masing dengan cirri khas yang berbeda-beda yakni dari sabang sampai merauke. Misalnya, kebudayaan daerah Jawa Timur dengan Bali memiliki perbedaan dengan menampilkan cirri khas daerah tersebut.
 Kebudayaan itu tersusun dari unsure-unsur universal, yaitu system keagaman dan upacara keagamaan, system organisasi masyarakat, system pengetahuan, bahasa, mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.  Dikatakan unsure universal, karena unsure-unsur tersbut dapat ditemukan disemua kebudyaan, baik pada kebudayaan masyarakat sederhana maupun masyarakat perkotaan yang kompleks.
Jenis kesenian di Indonesia banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan. Tari jawa dan Bali , misalnya berisi aspek krbudayaan dan metologi Hindu. Selain itu yang cukup terkenal didunia adalah wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis. Seni pantun, gurindam dan sebagainya dari berbagai daerah seperti pantun melayu, dan pantun-pantun lainnya sering kali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yakni perhelatan, pentas seni dan lain-lain.
Dibidang busana, warisan budaya yang terkenal didunia adalah batik. Beberapa daerah yang terkenal dengan produksi batik yakni Pekalongan, Yogyakarta dan Solo.
Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah di Indonesia. Seni bela diri terkadang ditampilkan dengan iringan musik tradisional.  Semua musik, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari sabang sampai merauke. Namun yang lebih banyak diminati oleh masyarakat Indonesia merupakan jenis musik modern kemudian dangdut. Dangdut adalah salah satu musik Indonesia yang sudah merakyat di wilayah nusantara, yang dipadu dari unsure music Melayu, India, dan juga musik tradisional Indonesia. Dinamakan “Dangdut” karena suara musiknya terdengar seperti suara ‘dang’ dan ‘dut’ juga music dangdut lebih dikuasai oleh suara gendang dan suling. Ada beberapa corak musik dangdut, antara lain musik dangdut melayu, dangdut modern ( dangdut masa kini yang musiknya telah ditambah dengan alat music modern) dan dangdut pesisir (lagu dangdut tradisional jawa, sunda dan lain-lain).
Berikut kebudayaan bangsa Indonesia :
1. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Daerah provimsi NAD terletak di Pulau Sumatra. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, samudra Hindia di sebelah barat, selat malaka di sebelah timur, dan sumatra di sebelah tenggara dan selatan. Luas provinsi Aceh 55.380 km², terletak antara 95° BT sampai dengan 98° BT dan 2° LU sampai dengan 6° LU. 18 Kabupaten, 5 Kodya/Kota, 227 Kecamatan dan Kelurahan/desa 5.862, Suku bangsa Aceh, Gayo, Alas, Aneuk jamee, Melayu tamiang, Kluet dan lain-lain
Daerah Istimewa Aceh yang kini disebut dengan Nangroe Aceh Darussalaamberdiri pada tanggal 7 Desember 1959  terletak di sebelah ujung Utara pulau Sumatera dan merupakan wilayah paling Barat negara Republik Indonesia. Batasnya ialah: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Sumatra Utara.
Di tengah-tengah Daerah Istimewa Aceh membujur Bukit Barisan, gunung-gunung yang berhutan lebat, seakan-akan membagi wilayah ini menjadi dua bagian, sebelah Barat dan sebelah Timur. Dari hutan-hutannya dapat diperoleh hasil hutan seperti damar, terpentin dan lain-lain. Di bagian Timur lebih banyak tanaman perkebunan dan seperti kopi, tembaku, buah-buahan dan sebagainya serta persawahan padi. Sedangkan daerah Utara lebih dikenal dengan gas alam atau L.N.G. yang terdapat di Arun.
Penduduk Daerah Istimewa Aceh terdiri atas suku bangsa asli yakni suku bangsa Aceh yang terbagi dalam beberapa sub suku seperti : Gayo, Alas, Tamiang, Gayo Seumanah, Anek Jamee, Singkel dan lain-lain. Suku pendatang terdiri dari Jawa, Minangkabau, Palembang, Makasar, Sunda dan lain-lain, sedangkan bangsa asing pun banyak antara lain Arab, India, China dan orang-orang Eropah. Menurut mereka suku bangsa Aceh berasal dari Jazirah Arab, hal ini terlihat banyak suku bangsa Aceh yang bergelar Said, Habib dan sebagainya. Diperkirakan mereka mulai menetap di Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Sedangkan yang berasal dari Gujarat (India), kebanyakan bermukim di pantai.
Pengaruh Islam nampak dengan berdirinya kerajaan Islam di Peureula dan Pasai yang kemudian corak kebudayaan Islam mewarnai kebudayaannya. Mata pencaharian pokok suku bangsa Aceh adalah bertani, terutama bertani sawah. Sebagai tempat menyimpan padi dibuat sebuah lumbung yang disebut keong pade atau keurandong. Pekerjaan bertani yang terdiri dari tahap-tahap pekerjaan, biasanya dilakukan dengan bergotong-royong yang disebut meuseuraya.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh terutama pada masa lampau adat tumbuh dengan kuat sesuai dengan prinsip yang hidup dalam masyarakat : Adat bak po teumerehnhorn, hukom bah syiah kuala, Kaaun bak putroe Phang, rensam bak laksamana . Beberapa peristiwa dalam kehidupan itu dipandang sakral atau suci, hingga perlu diperingati atau dirayakan secara adat, yang aturannya tak boleh dilanggar. Misalnya peristiwa kelahiran, peristiwa anak pertama kali turun tanah, cukur rambut, khitanan, perkawinan dan sebagainya. Semuanya dilakukan dengan mengadakan upacara adat setempat, dan upacara-upacara tersebut senantiasa menunjukan adanya unsur-unsur agama Islam. Hal ini tidak mengherankan karena masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang taat dan hampir semua penduduk asli beragama Islam, sesuai dengan sebutan bahwa daerah Aceh sebagai Serambi Mekah. Kehidupan keagamaan terlihat adanya meunasah (sekolah) dan meusujid (mesjid) yang terdapat di setiap kampung.
Kesenian yang berkembang pada suku bangsa Aceh antara lain seni sastra, baik lisan mupun tertulis berupa prosa dan pantun. Seni tari seperti tari Seudati yang sangat terkenal, tari Saman, tari Guel, tari Bungung Rampoe dan sebagainya, sedang seni suaranya, misalnya qasidah berzanji. Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Di daerah Aceh seni bangunan tradisionalnya berupa rumah adat yang disebut Rumoh Aceh . Menurut ukuran atau besarnya bangunan rumah Aceh ada beberapa macam yaitu rumah Lhee Rueng, rumah Anjong, rumah Liwong Rueng atau rumah dua inang, dan rumah lapan rueng. Selain berbeda besarnya jumlah ruangannya pun berbeda pula. Di samping bangunan rumah untuk tempat tinggal, beberapa bangunan lain yang terdapat di Aceh yaitu meunasah, meuseujid, Balai blang, Janmbo blang dan pondok pesantren atau Jeda.  Berikut kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam yang lainnya.
a)      SENI ARSITEKTUR
*      Rumoh Aceh
Rumah adat provinsi NAD disebut Rumoh Aceh. Bentuknya seragam, yakni persegi empat memanjang dari timur ke barat. Konon, letak yang memanjang itu dipilih untuk memudahkan
penentuan arah kiblat. Dari segi ukir-ukiran, rumoh Aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda. Tampilan luar rumah biasanya berwarna hitam pekat diselingi ornament berwarna cerah khas Aceh. Komponen rumoh aceh :
·         Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah. Ruangan ini juga sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu laki-laki.
·         Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama ruangan ini adalah untuk menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang rumah. Seperti serambi depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat tidur dan ruang makan tamu perempuan.
·         Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.
·         Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.
·         Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling depan. Teras menempel dengan serambi depan.
·         Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari bangunan utama, tapi masih berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di belakang, samping, atau bahkan di depan rumah.
·         Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri umum karena yang menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh masyarakat. Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.
·         Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama rumah tradisional ini. Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm setinggi 150-170 cm itu bisa berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan tiang-tiang ini memudahkan proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.
Salah satu bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga rumah terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala supaya terbuka dan bisa masuk.Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi yang khas dari rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku.Untuk mengaitkan balok kayu yang satu dengan yang lain cukup digunakan pasak atau tali pengikat dari rotan atau ijuk.
*      Masjid Agung Baiturrahman
Masjid Agung Baiturrahman adalah simbol keberanian, agama dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), merupakan pusat pendidikan dan ilmu agama di Nusantara. Pada waktu itu banyak mahasiswa dari Indonesia, bahkan dari Arab, Turki, India, Parsi, dan yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu agama.
Masjid ini merupakan saksi bisu sejarah Aceh. Masjid ini adalah pertahanan markas rakyat Aceh selama pertempuran dengan Belanda (1.873-1.904). Pada saat terjadi perang di Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar oleh Belanda. Pada saat itu, Mayjen ter menembak Khohler dibunuh oleh tentara di dahi di meter Masjid Baiturrahman Aceh Besar.
Untuk mengingat peristiwa, dan membangun sebuah monumen kecil di depan sebelah kiri Masjid Agung, tepatnya di bawah pohon Ketapang. Enam tahun kemudian, kemarahan teredam rakyat Aceh, Belanda melalui Gubernur Jenderal Van Lansnerge membangun kembali Masjid Agung Baiturrahman dengan peletakan batu pertama di 1879.Until tahun sekarang, Masjid Agung adalah lima kali renovasi dan perluasan ( 1.879-1.993).
 Masjid Agung Baiturrahman pada tahun 1892
 Masjid Agung Baiturrahman pada tahun 1895
 Masjid Agung Baiturrahmana pada tahun 1940
Sejarah saat ini adalah kejadian terakhir dari tsunami 24 Desember 2004. Ketinggian tsunami dan air derasnya hingga 2 meter hampir tenggelam di Masjid Agung di dalam ruangan, menjadi saksi sejarah bagi kebanyakan orang yang selamat Masjid Agung di tempat penampungan. Setelah air tsunami surut, di Masjid Agung ribuan mayat tergeletak setelah tsunami.
   
Masjid Agung Baiturrahman merupakan salah satu masjid yang paling megah di Asia Tenggara. Daerah Masjid yang menempati lebih dari empat hektar ini berarsitektur indah dan unik, memiliki tujuh kubah-, empat menara dan satu menara induk. Lantai marmer di ruang dibuat di Italia, jangkauan luas 4760 m2, dan dapat menampung hingga 9000 jama'ah. Di halaman depan masjid adalah kolam besar, rerumputan yang rapi dengan tanaman hias dan pohon kelapa yang tumbuh di masjid it.This terletak di pusat kota Banda Aceh berdekatan dengan pasar tradisional di Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.
 
b)      PAKAIAN ADAT
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau yang lebih dikenal dengan Serambi Mekah mempunyai kekayaan budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Provinsi yang pusat pemerintahannya berada di Banda Aceh ini telah melahirkan beberapa Pahlawan Nasional yang jasa dan namanya masih terus dikenang hingga saat ini, seperti : Cut Nyak Dhien, Cik Ditiro, Cut Nyak Meutia, dll.

Penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan Provisni Nanggroe Aceh Darussalam ini termasuk baju adat daerahnya. Berikut ini akan dijelaskan Baju adat daerah Aceh
 BAJU ADAT TRADISIONAL PRIA ACEH  :
Pria memakai BAJE MEUKASAH atau baju jas leher tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut CEKAK MUSANG.Kain sarung (IJA LAMGUGAP) dilipat di pinggang berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket.Sebilah rencong atau SIWAH berkepala emas / perak dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut MAKUTUP.Tutup kepala ini dililit oleh TANGKULOK atau TOMPOK dari emas. TANGKULOK ini terbuat dari kain tenunan. TOMPOK ialah hiasan bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia
 BAJU ADAT WANITA ACEH :
Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas china.Celana cekak musang dan sarung (IJA PINGGANG) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini bersulam emas.Perhiasan yang dipakai : kalung disebut KULA. Ada pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat pinggang (PENDING) berwarna emas.Bagian rembut ditarik ke atas membentuk sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak.
Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik  yang biasa selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain :
Keureusang
Keureusang adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
Phatam Dhoe
Phatam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas/perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad motif ini disebut Bungong Kalimah yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

Peuniti
Peuniti ialah Seuntai Peun iti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif  boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

Simplah
Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai. Simplah mempunyai ukuran panjang dan lebar masing-masing 51 cm.

Subang Aceh
Subang Aceh memiliki diameter dengan ukuran 6 cm. Subang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.

Taloe Jeuem
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan bentuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada kedua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

c)      SENJATA TRADISIONAL
Rencong Aceh
Tentara dan Senjata | Rencong Mematikan - Senjata Tradisional Aceh | Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan simbol keberanian para pejuang dan rakyat Aceh dalam perjuangan. Rencong eksistensi sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan rakyat Aceh tampak bahwa hampir setiap Aceh tempur, membekali diri dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Tapi sekarang, setelah tak lagi lazimdigunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah menjadi suvenir yang dapat ditemukan di hampir semua kerajinan Aceh toko khas.
Bismillah rencong kalimat bentuk berbentuk, pegangan yang melengkung dan menebal pada siku adalah Ba tulisan Arab, bujuran Sin menangani merupaka karakter, membentuk lancip menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan awal naskah, strip besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya adalah Lam script, ujungnya meruncing dan dataran datar dari bagian atas dan bawah sedikit up adalah Ha script. String karakter dari Ba, Sin, Lam, Ha dan menyadari bahwa itu apa Bismillah kalimat. Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain besi maqrifat pintar juga memiliki pengetahuan tinggi kaligrafi. Oleh karena itu, rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk melakukan setan, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang di jalan Allah.
Rencong kuat biasanya terbuat dari besi-besi pilihan, yang koheren dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat beracun beracun, sehingga jika dalam pertempuran menghadapi lawan yang kebal terhadap iron man, orang tersebut akan mampu menembus Rencong.
Menangani berbentuk rencong lurus dan melengkung ke atas beberapa. Rencong pegangan melengkung ke atas disebut rencong Meucungkek, biasanya menangani terbuat dari gading dan tanduk pilihan.
Bentuk Meucungkek dimaksudkan untuk menghindari terjadinya suatu penghormatan yang berlebihan bagi sesama manusia, karena bahaya intrinsik kehormatan milik Allah sendiri. Artinya, jika rencong meucungkek dimasukkan bagian pinggang atau bagian tengah, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan tubuh untuk memberi penghormatan kepada orang lain karena perutnya akan tertekan oleh meucungkek menanganinya.
The meucungkek menangani hal itu juga berarti bahwa, pada saat-saat penting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya runcing digunakan.
d)     KESENIAN
·         Tari saman
Merupakan tarian yang berasal dari daerah aceh yang merupakan suatu wujud ungkapan puji syukur kepada Allah SWT. Tari ini biasa dibawakan pada saat penyambutan tamu. Lagu irigan yang dibawakan berupa zikir-zikir keagamaan. Tarian ini berasal dari dataran Tinggi Ganyo/ Sjyair saman menggunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Pada masa lalu tari saman biasanya ditampilkan untuk merayakakkn peristiwa-peristiwa penting dalam adat masyarakat Aceh. Selain itu tarian ini biasanya ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada kenyataanya, naman saman diperoleh dari salah saru ulama besar Aceh yang bernama Syekh Saman.
Tari saman biasa ditampilkan menggunakan iringan alat musik berupa gendang dan menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka. Tarian ini dipadu oeh seorang pemimpin yang disebut syekh. Karena keragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam tarian ini, maka penari dituntut memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini dilakukan secara kelompok, sambil bernyanyi dalam posisi duduk berbaris dan tanpa menggunakan alat musik pengiring.
Karena gerakannya yang teratur, tarian ini banyak ditarikan oleh kaum pria, namun dengan seirinng perkembangan zaman sekarang sudah banyak ditarikan oleh kaum wanita maupun campuran antara penari pria dengan wanita. Tarian ini dibawakan oleh kurang lebih sepuluh orang penari, terdiri atas delapan penari dan dua sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
·         Tari Seudati
Kata Seudati berasal dari bahasa Arab, Syahadati atau syahadatain artinya kesaksian atau pengakuan. Dalam bahasa Melayu dialek Aceh, Syahadati diubah menjadi Seudati. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata Seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Selanjutnya kata seudati dijadikan salah satu istilah tarian yang dikenal dengan Tari Seudati. Tarian ini berkembang di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Di Aceh Timur, Tari Seudati dijadikan sebagai salah satu tarian tradisional.
Awalnya, tarian Seudati diketahuan sebagai tarian orang pesisir yang disebut rontoh atau rontoih yang menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sambung ayam atau diperagakan untuk beersuka ria ketika musim panen tiba pada bulan purnama. Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari sedih, gembira, nasihat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Semua kisah tersebut disampaikan dengan menggunakan bahasa Melayu dialek Aceh. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada masa-masa awal, ratoh belum bernapaskan Islam karena kental menggunakan budaya setempat. Namun, ketika ajaran Islam masuk ke daerah Aceh, terjadilah suatu penyatuan dalam berbagai unsure social, budaya, ekonomi dan politik. Pada aspek budaya, misalnya hal ini mengalami perubahan yang awalnya bernama Tarian Ratoh akhirnya berubah nama menjadi Tarian Seudati yang dipengaruhi nilai-nilai keislaman. Selain itu, syair-syair lagu pun mengandung unsure bahasa Arab dan bahasa daerah dengan memuat pesan-pesan dakwah sehingga akhirnya tarian ini dijadikan sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran Islam. Seiring bertambahnya waktu dan semakin berkembangnya kehidupan, tarian ini bertambah fungsinya, selain menjadi media dakwah namu juga sebagai media hiburan yang menyimbulkan kekayaan budaya Aceh.
Tarian sudati dibawakan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri atas satu orang pemimpin yang disebuk syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu disebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakan yang disebut apeet bak dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Jenis tarian ini tidak menggunakan alat music, tetapi hanya menampilkan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan kedada dan pinggul, hentakkan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Beberapa tersebut cukup dinamis dan llincah penuh semangat. Namun, ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada  dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Kostum para penari Seudati terdiri atas celana panjang dan kaus oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih, kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang, rencong yang disisipkan dipinggang, tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan dikepala dan sapu tangan. Kostum seragam ini hanya untuk pemain utama, sedangkan aneuk syahi tidak harus memakai kostum yang seragam.
Bagian-bagian terpenting dalam tarian seudati terdiri atas likok (gaya tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menciratakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Pada umumnya tarian ini diperagakan diatas pentas dan dibagi menjadi beberapa babak, antara lain :
Babak pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang diucapkan oleh aneuk syahi saja (assalamualaikum. Long tamong lam seung. Lon jak bri saleum keu bang syekh teuku…). Fungsi aneuk syahi adalah untuk mengiringi seluruh rangkaian tari. Salam pertama ini dibalas oleh syeikh dengan langgam (nada) yang berbeda (kru seumangat lon tamong lam seung. Lon jak bri saleum ke jamee teuku). Syair tersebut diulangi oleh keddua apeetwie dan apeet bak. Pada babak perkenalan ini, delapan penari hnya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, tepuk dada serta jentikan delapan jari yang mengikuti gerak irama lagu. Gerakan rancak baru terlihat ketika memasuki babak selanjutnya.
Apabila pementasan bersifat pertandingan, setelah kelompok pertama menyelesaikan babak pertama, akan dilanjutkan oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda pula. Untuk babak keddua dimulai dengan bbak saman yaitu seluruh penari bediri dengan membuat lingkaran di tengah-tengah pentas guna mencocokkan suara dan menentukan likok apa saja yang akan dimainkan. Syeikh berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan masyarakat Aceh yang selalu bermufakat (bermusyawarah) dala megambil segala keputusan. Mufakat itu jika dikaitkan dengan tarian ini adalah bermusyawarah untuk menentukan saman atau likok yang akan dimainkan. Didalam likok dipertunukkan keseragaman gerak, kelincahan bermain, dan ketagkasan yang sesuai dengan lantunan lagu yang dinyanyikan aneuk syahi. Lantunan likok tersebut diawali dengan :
Iiiiiii la lah alah ya ilalah…… (secara lambat dan cepat)
Seluruh penari utama akan mengikuti lagu yang dinyanyikan secara cepat atau lambat bergantung pada lantunan yang dinyanyikan oleh aneuk syahi tersebut. Kemudian babak saman. Dalam babak ini beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Ketika syeikh melontarkan ucapan walahuet seuneut ape tee kataheee, hai syam, maka aneuk syahi menimpali dengan jawaban lom ka dicong bak ibioh, aneuk puyeh ngon cicem subang.
Untuk menghilangkan rasa jenuh penonton, setiap babak ditutup dengan formasi lanie, yaitu memperbaiki formasi yang sebelumnya sudah tidak beraturan.
*        Tari Pukat
Tari pukata merupakan  tari uyang berhubungan dengan kehidupan rakyat Aceh yang berprofesi sebagai nelayan. Diceritakan seorang nelayan menganyam pukat yang digunakan untuk menangkap ikan di laut.
*        Serune Kalee (Serunai)
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap
*        BangsiAlas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa
, menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
*        Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
*        Geundrang (Gendang)
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
*        Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.
Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
*        Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :
Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
*        Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
*        Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
*        Celempong
Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.
Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.
*        Arbab
Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai.
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
*        Hikayat Prang Sabi
Lirik lagu ini merupakan lirik lau perjuangan melawan penjajah Belanda dari Daerah NAD. Berikut lirik lagunya :
Khalikul bahri wallaili A`zawajallah
Ulon pujoe poe sidroe po syukur keu rabbi yaa ini
Keu Kamoe Neubri beu suci Aceh Mulia
Tajak prang musoh beuruntoeh dum sitre Nabi
Yeng meu ungki kei rabbi keu poe yang Esa
Meuso han tem prang cit
Malang ceulaka tubuh rugo roh
Syuruga tan roh rugo roh bala Neurka
Meusoe yang tem prang cit meunang meutuah tuboh
Syuruga lusoh yang that roh Geubri keu gata
Lindung gata seugala yang Mujahidiin Mursalin
Tip tip mukim iklim Aceh Sumatra
Yang Meubahgia seujahtra syahid dalam prang
Allah Neupulang Dendayang Budiadari
Hoka siwa sirawa syahid dalam prang dan meunang
Di peurab rijang bak Cutbang saleem Lee Neubri
Salam A`laikoma-2 Tgk Meutuah
Katroh Neulangkah ya Allah Keunoe bak Kamoe
Amanah Nabi lah Nabi hana Neu ubah-2
Syuruga indah ya Allah pahlawan Prang sabi
Ureung binoe lah binoe geumoe meu kiaam
Aneuk jak lam prang peutmang amanah Nabi
Meubek tatakoet tasuroet
Aneuk seunapan bangsawan
Aneuk meuriam ya Allah atra sipai
Ureung yang syahid lahsyahd bek ta kheun matee
Beuthat beu tanlee ya Allah nyawoeng lam badan
Ban saree keunong lahkeunong senjt kafe lahkafe
Keu nan teuka lee ya Allah peumud seudang
Budiadari meunanti di doing di pandang
Dipreeh Cut Abang jak meucang dalam prang sabi
Huka judoe rakn eoe syahid dalam prang dan seunang
Dipeurb rijang peutameeng syurga tinggi
Dimat kipah lahkipah saboh bak jaroe
Dipreh judoe woe ya Allah dalam prang sabi
Geucok disinan disinn geuba u-dalam u-dalam
Di peuduek sajan ya Allah ateuh kurusi
Ngon ija mirah lahmirah Geusampoh gaki
Rupa geuh puteeh lahputeeh sang sang buleeb trang di awan
Watee tapandang ya Allah seunang lan hate
Darah yang hanyi lah hanyi gadoh di badan
Geu ubang lee Tuhan ya Allah dengan kasturi
Dikamoe Aceh lah Aceh darah peujuang peujuang
Neubri beurjanng ya Allah Aceh Merdeka
MERDEKA
*        Bungon Jeumpa
Bungon jeumpa bungon jeumpa megah  di Aceh
Bungon telebeh, telebeh indah lagoina
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah that rupa
Lam sinar buleun lam sinar buleun angen peu ayon
Ru roh mesuson mesuson, nyang malamala
Mangat that mebe
e)      ADAT ISTIADAT
·         Meugang
Makmeugang atau Makmuegang atau Meugang adalah salah satu tradisi yang ada dalam masyarakat Aceh yang telah ada sejak berabad yang lalu yaitu acara membeli daging, memasak daging dan menikmatinya bersama-sama baik dengan keluarga bahkan ada yang mengundang anak yatim untuk menikmati kebersamaan hari meugang ini.
Sejumlah warga memadati pusat pasar meugang tradisional Inpres Lhokseumawe, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Selasa (10/8). Perayaaan meugang yang dilakukan tiga kali dalam setahun yakni meugang menghadapi bulan suci Ramadhan, meugang Hari Raya Idul Fitri dan meugang Idul Adha.(*rahmad/ant/z-Matanews)
Tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun :
1.      Menjelang bulan Puasa atau bulan Ramadhan
2.      Menjelang Hari Raya Idul Fitri
3.      Menjelang Hari Raya Idul Adha

Hari Makmuegang telah ada sejak berabad yang lalu dan biasanya dilakukan sehari sebelum bulan puasa,hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, namun di zaman moderen ini bahkan hari makmeugang secara tidak langsung sudah menjadi 2 hari,ada meugang ubit (meugang kecil) pada hari pertama dan meugang rayeuk (meugang besar) pada hari kedua. Namun, tidak semua wilayah atau juga kabupaten di Aceh menerapkan hari meugangnya selama dua hari, ada juga hanya sehari saja.
Yang membedakan meugang kecil dan meugang besar, hanya jumlah daging yang dipasarkan atau dengan kata lain banyaknya penjual yang turun ke pasar. Jika pada hari kedua, yakni meugang besar sudah bisa dipastikan tempat yang dijadikan pasar dadakan akan sangat ramai sekali.
Perputaran ekonomi masyarakat di hari meugang memang sangat luar biasa, banting harga, kualitas daging serta jenis daging juga mempengaruhi para pembeli yang notabennya juga warga setempat.
Hari meugang ini biasanya mulai beroperasi dari pagi hari–setelah shalat shubuh–sampai siang hari sebelum waktu shalat zuhur. Walaupun, ditemukan masih ada yang berjualan sekitar siang kita bisa menghitung pakai jari jumlahnya, karena pengaruh waktu juga akan mempengaruhi harga.
Makmuegang berasal dari kata :
1.      Makmue artinya makmur ( Semua elemen masyarakat Aceh pada hari inilah dari segala elemen masyarakat dapat menikmati daging tanpa kecuali , benar-benar satu hari yang benar-benar makmur yang dinikamati dan dirasakan semua masyarakat Aceh baik pejabat maupun rakyat jelata,baik yang kaya maupun yang miskin,Janda miskin maupun anak yatim, bahkan di hari makmuegang ini anak yatim kalau mendapat undangan dari tuan rumah yang ingin berbagi malah mendapat amplop yang berisi uang yang diberikan oleh yang empunya rumah…inilah yang dinamakan makmue…semua elemen masyarakat menikmatinya
2.      Gang artinya Gang di dekat Pasar ( Kumpulan para penjual daging yang berjualan di gang-gang pasar,biasanya satu gang ini terapat puluhan bahkan ratusan lapak,tiap lapak para pedagang seluas ukuran meja,di atas meja inilah daging sapi dipajang sementara diatasnya dipajang bamboo tempat gantungan daging masi utuh dengan pahanya)
Tradisi hari makmuegang ini muncul bersamaan dengan penyebaran agam Islam di Aceh sekitar abad ke 14 Masehi, sesuai dengan ajaran Islam, datang hari-hari besar Islam yaitu bulan suci Ramadhan,Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha sebaiknya disambut secara meriah
Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari darat ,sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa hari makmuegang ini masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.
Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu. Dan tradisi masih juga dilakuakn oleh sebagian orang-orang kaya sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan paling tiding mengundang anak yatim kerumahnya.
Sebuah pepatah Aceh yang tidak dapat dipisahkan di hari makmuegang bahkan sudah berlaku berabad-abad yang lalu cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari makmuegang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting dan istimewa, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-samajuga sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu,
“ SI THOEN TAMITA, SI UROE TA PAJOH ”
Artinya : Setahun kita mencari rezeki/nafkah,sehari kita makan/nikmati
Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang seperti yang saya kutip dari
Kompasiana memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging bisa melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo.
Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan bisa mencapai seratus lebih, sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma membutuhkan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa.
Memang meugang telah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya, kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membagi-bagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya.
Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahwa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo bisa dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual.
3.      Meugang memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh:
*      Nilai Religius
Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan Ramdhan yang penuh berkah.Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan.Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Qurban.
*      Nilai Sedekah atau Nilai berbagi sesama
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang Pemilu. Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat penjualan daging sapi. Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.
 
*      Nilai Kerbersamaan
Tradisi Meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.
Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.
*      Menghormati Orang Tua
Tradisi yang telah kita diskusikan di atas tak hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya. Tak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan. Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.
Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam. Tradisi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama. Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, yaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam.
·         Membuka Lahan
Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll. walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
·         Turun tanah
Turun tanah adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Aceh. Upacara yang sangat erat kaitannya dengan lingkaran hidup individu ini, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan, baik di dunia maupun akherat (alam baqa). Nilai-nilai itu, antara lain: kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan.
Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan, nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: “Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”.
·         Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen blang.
·         Peusijuek
Pada masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat telah memberikan tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan agama. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan “Hukom ngon Adat Hanjeut cre Lagee zat Ngon Sifeut”. artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat dengan sifatnya. Diumpamakan seperti kuku dengan daging, sehingga kaidah Islam sudah merupakan bagian daripada adat.
Akan tetapi adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam sebelumnya banyak terdapat pengaruh Hindu. Hal ini terlukiskan pada zaman dahulu tatkala Aceh sebagai tempat persinggahan lalu lintas pelayaran internasional, dalam rangka hubungan perdagangan bahkan ada yang sampai menetap di Aceh.
\Masuknya pengaruh Hindu ke dalam kebudayaan dan adat istadat Aceh, disebabkan karena pernah terjadi suatu hubungan yang luas antara Aceh dan India pada masa lampau. Sehingga ada beberapa kepercayaan dari masyarakat Aceh seperti peusijuek (tepung tawari), upacara boh gaca, (memberi inai), kanduri blang (syukuran ke sawah), upacara peutron aneuk (turun anak) dan lain-lain dianggap bagian dari unsur budaya Hindu yang tidak pernah luntur dalam kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Namun sejak masuknya Islam ke bumi Serambi Mekkah, upacara / kepercayaan tersebut telah disesuaikan dengan nuansa keIslaman. Segala sesuatu pekerjaan dimulai dengan bismillah dan doa selamat serta shalawat nabi.
Upacara Peusijuek disebut juga tepung tawari. Pada masyarakat Aceh upacara ini dianggap upacara tradisional simbolik dari permohonan keselamatan, ketentraman, kebahagiaan, perestuan dan saling memaafkan. Hampir sebahagian adat Aceh adanya prosesi upacara peusijuek. Seperti upacara perkawinan, sunat rasul, peusijuek meulangga (perselisihan), peusijuek pada bijeh (tanam padi),peusijuek rumah baroe (rumah baru), peusijuek peudong rumoh (membangun rumah), peusijuek keurubeuen (hari raya kurban), aqiqah anak, peusijuek kenderaan (roda dua dan empat), peusijuek jak haji (naik haji), peusijuek puduk batee jeurat (pemasangan batu nisan bagi yang telah meninggal). Peusijuek Juga di lakukan tatkala adanya pergantian seorang pemimpin dari perangkat desa sampai gubernur bahkan setiap ada tamu kebesaran daerah juga adanya prosesi upacara peusijuek.
Biasanya dalam pelaksanaan upacara peusijuek dihadirkan seorang Tengku (ulama) atau atau orang yang dituakan (Majelis adat) sebagai pemimpin upacara. Hal ini dilakukan karena dianggappeusijuek yang dilakukan salah satu unsur tersebut memperoleh keberkatan dan setelah selesai upacara peusijuek adakalanya diiringi dengan doa bersama yang dipimpin oleh Tengku untuk mendapat berkah dan rahmat dari Allah SWT.
Macam-Macam Upacara Peusijuek
1.      Peusijuk Meulangga Apabila terjadi perselisihan di antara penduduk, misalnya antara A dan B ataupun antara penduduk gampong (desa) A dengan penduduk gampong B serta perselisihan ini mengakibatkan keluar darah, maka setelah diadakan perdamaian dilakukan pula peusijuek. Peusijuek ini sering disebut dengan peusijuek meulangga. Pada upacara itu juga sering diberikan uang, yang disebut sayam (uang damai) yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perselisihan terjadi seperti tersebut di atas, tetapi tidak mengeluarkan darah, misalnya perkelahian, perdamaian dan upacara peusijuek dilakukan juga, tetapi tidak diberikan uang.
Pada peusijuek Meulangga alat-alat yang dibutuhkan seperti dalong, bu leukat, teumpo / u mirah, breueh pade, on sisijeuk, on manoe, naleueng sambo (ketiga-tiga diikat menjadi satu), teupong taweue, glok / cuerana, sangee dan ija puteh. (jika mengeluarkan darah). Biasanya apabila mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak, ikatan keluarga yang terjadi perselisihan akan menjadi kuat bahkan telah dianggap sebagai sanak saudara.
2.      Peusijuek Pade Bijeh 
Acara peusijuek pade bijeh ini dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan benih (bibit) sebelum penyemaian di sawah. Tujuan daripada peusijuek ini mengandung harapan agar bibit yang akan ditanam mendapat rakhmat Allah SWT, subur dan berbuah banyak. Perangkat alat dan bahan yang digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah : on gaca, bak pineung, on kunyet, on nilam, on birah, naleueng sambo, sira, saka, boh kuyuen dan minyeuk ata. Peranannya adalah sebagai berikut : - On gaca (daun pacar), sifatnya tahan panas dan tahan dari segala penyakit, sedangkan maknanya adalah agar benih padi yang akan ditanami kuat dan tahan dari segala gangguan hama, seperti halnya daun pacara tersebut. - Bak pineueng (pohon pinang), sifat asalnya tumbuh tegak dan kuat. Maknanya ialah agar benih padi tersebut akan tumbuh tegak dan kuat seperti halnya pohon pinang. - On kunyet (daun kunyit), sifat asalnya tahan dari penyakit. Warnanya kuning dan buahnya bersih, maknanya ialah agar benih padi tersebut tahan dari segala serangan penyakit dan tumbuh subur seperti kunyit. - On nilam (daun nilam), sifat asalnya apabila dibuat minyaknya harum sehingga orang banyak yang senang. Maknanya ialah agar padi tersebut memiliki bentuk daun nilam, buah padinya tumbuh subur. - On birah (daun keladi), daunnya yang berwarna hijau dan tahan hujan, maknanya agar benih padi yang akan ditanam menjadi seperti daun keladi tersebut dan tahan dari gangguan hama. - On naleueng sambo (daun rumput panjang), sifatnya kokoh dan teguh, akarnya kuat, sehingga tahan dari segala penyakit. Maknanya agar benih padi tersebut memiliki daya tahan dari gangguan serangan penyakit. - Sira (garam). Sifat sira adalah asin dan dapat menghancurkan bibit penyakit. Maknanya adalah agar benih padi yang disemai memiliki sifat seperti garam, yaitu dapat menghancurkan penyakit yang hinggap pada padi, sehingga tumbuh dengan subur. - Saka (gula). Sifat saka adalah manis. Maknanya adalah agar padi yang akan disemai dapat memberikan manfaat bagi orang yang menyemainya. - Boh kuyuen (jeruk nipis) ; minyeuk ata (minyak wangi) dicampurkan dengan air putih sehingga menjadi harum. Maknanya ialah benih padi itu diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir, memerlukan wangi-wangian. Orang-orang yang menciumnya akan merasa senang dan segar. Demikian juga halnya dengan benih padi yang diperlakukan seperti bayi, supaya tumbuh subur dan banyak orang yang senang melihatnya. - Asap keumeunyan (kemenyan), dibakar ketika padi menjelang direndam. Maknanya adalah agar padi dapat hidup dengan leluasa dan sempurna serta cepat berbuah.
Peusijuk menggunakan beberapa bahan yang memiliki makna tersendiri dalam adat peusijuk tersebut, seperti :
• Campuran air dan tepung tawar yang bertujuan agar sesuatu yang terkena percikan air tersebut tetap dalam kesabaran dan ketenangan. Seperti air campuran tersebut yang terus terasa dingin.
• Beras dan padi yang bertujuan agar dapat subur, makmur, semangat. Seperti taburan beras padi yang begitu semarak berjatuhan.
• Dedaunan yang dipakai untuk peusijuk, yaitu on manek, manou dan naleung sambo yang bertujuan melambangkan suatu ikatan yang terwujud dalam kesatuan hidup bermasyarakat. Seperti beberapa jenis dedaunan yang berbeda yang bersatu dalam suatu ikatan.
• Ketan yang bermakna sebagai lambang persaudaraan. Seperti halnya ketan yang selalu melekat dengan bahan lainnya.

3.  Peusijuk Tempat Tinggai 
Setiap orang yang mendiami rumah baru, kebiasaannya dilakukan upacara peusijuek. Pelaksanaannya oleh beberapa orang terdiri dari tiga, lima orang dan seterusnya dalam jumlah ganjil. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil berkah agar yang tinggal di tempat ini mendapat ridha Allah mudah rezeki dan selalu dalam keadaan sehat wal’afiat. Pada upacara ini alat-alat yang digunakan adalah ; dalong, bu leukat, tumpo / u mirah, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo (ketiga yang terakhir di ikat menjadi satu), glok dan sangee.

4.  Peusijuk Peudong Rumoh 
Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, kegiatan membangun rumah selalu dipilih pada hari baik. Demikian juga dalam memilih bahan-bahan rumah yang dianggap baik. Selanjutnya, membangun rumah atau sering disebut peudong rumoh diawali dengan upacara peusijuek. Yang di peusijuek biasanya adalah tameh (tiang) raja, dan tameh putroe serta tukang yang mengerjakannya (utoh) agar ia diberkati oleh Allah SWT. Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara peusijuek ini adalah : dalong, bu leukat, breueh pade, teupong taweue, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, ija puteh dan ija mirah, glok dan sangge.
4.      Peusijuk Keurubeuen 
Bagi orang Islam yang mampu, sering memberikan kurban pada hari raya sesuai dengan hukum agama. Seekor hewan kecil (kambing atau domba) cukup untuk korban bagi seorang, sedangkan tujuh orang secara bersama-sama memberi korban seekor hewan besar (sapi). Perangkat yang digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah sebagai berikut : dalong, boh manok meuntah, teupong taweue, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu (lipstik), boh kayee (buah-buahan), tirai peunahan matahari, dan ija puteh (kain putih). Semua bahan, termasuk alat-alat adalah untuk merapikan tubuh domba oleh penyembelih (jagal) dipakai menurut kegunaannya masing-masing. Menurut keyakinan masyarakat Aceh, bahan-bahan tambahan yang dipersiapkan untuk peusijuek tersebut seperti minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu, boh kayee, tirai peunahan matahari, dan ija puteh. Mempunyai makna dan fungsi di hari akhirat kelak. Di mana hewan yang diperuntukkan untuk korban tadi nantinya akan menjadi kenderaan di hari akhirat kelak dan fungsi dari bahan-bahan tersebut sebagai hiasan kenderaan.
6. Peusijuk Kendaraan Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan peusijuek. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan. Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang.
Perlengkapan Upacara Peusijuek
Adapun perlengkapan pada acara Peusijuek sebagai berikut :
1. Dalong
Pada masyarakat Aceh, dalong mengandung makna bahwa mempelai yang dilepaskan akan tetap masih bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkannya. Karena dalong merupakan satu wadah yang diisi dengan bermacam-macam alat peusijuek sehingga dianggap memiliki kebersamaan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan.
2. Bu Leukat
Warnanya kuning ataupun putih. Makna dari ketan ini adalah mengandung zat perekat, sehingga jiwa raga yang di peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok masyarakatnya. Warna kuning dari ketan merupakan lambang kejayaan dan kemakmuran, sedangkan warna putih melambangkan suci dan bersih. Maksudnya supaya yang di peusijuek dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain dan yang di peusijuek dalam ketentraman menuju jalan yang benar.
3. U mirah
Makna dari U mirah adalah sebagai pelengkap dalam kehidupan dan memberikan perpaduan yang manis.
4. Breueh pade
maknanya adalah sifat padi itu semakin berisi makin merunduk, maka diharapkan bagi yang di peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan dan peranan beras ialah sebagai makanan pokok masyarakat.
5. Teupong Taweue ngon ie.
Makna dari pada teupong taweue dan air adalah untuk mendinginkan dan membersihkan yang di peusijuek supaya tidak akan terjadi hal-hal yang di larang oleh agama melainkan mengikuti apa yang telah ditunjukkan yang benar oleh agama.
6. On sisikuek, manek manoe dan naleueng sambo
Ketiga jenis perangkat ini di ikat dengan kokoh menjadi satu, yang peranannya sebagai alat untuk memercikkan air tepung tawar. Makna tali pengikat dari semua perangkat tersebut untuk mempersatukan yang di peusijuek sehingga dapat bersahabat dengan siapapun dan selalu terjalin hubungan yang harmonis dan terbina. Sedangkan dari masing-masing perangkat dedaunan merupakan obat penawar dalam menjalankan bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan dengan bermusyawarah dan berkepala dingin, bertanggung jawab dengan sepenuhnya dan dapat menjalin hubungan yang erat dengan siapapun.
7. Glok
Peranannya sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang sudah dicampur dengan air dan yang satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi beras dan padi. Maknanya adalah jika yang di peusijuek tersebut melakukan aktivitas sebaiknya hasil yang didapatkan disimpan dengan sebaik-baiknya.
8. Sangee
Berperan untuk menutup perlengkapan alat-alat tepung tawar. Maknanya untuk mengharap perlindungan supaya yang di peusijuek mendapat lindungan dari Allah SWT.

f)       MAKANAN TRADISIONAL
*      Mie Aceh
Mie Aceh adalah masakan mie pedas khas Aceh di Indonesia. Mie kuning tebal dengan irisan daging sapi, daging kambing atau makanan laut (udang dan cumi) disajikan dalam sup sejenis kari yang gurih dan pedas. Mie Aceh tersedia dalam dua jenis, Mie Aceh Goreng (digoreng dan kering) dan Mie Aceh Kuah (sup). Biasanya ditaburi bawang goreng dan disajikan bersama emping, potongan bawang merah, mentimun, dan jeruk nipis. saya sudah pernah makan nih, rasanya enak, banyak bumbunya.

*      Timphan
Timphan adalah kue/hidangan khas Aceh disaat lebaran/hari raya baik hari raya Idul fitri maupun Idul Adha, Timphan ini dibuat 1 atau 2 hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih kurang seminngu,Timphan adalah menu hidangan utama buat tamu yang berkunjung kerumah saat lebaran.
Bagi orang Aceh baik yang berada di Aceh sampai seluruh dunia tiada yang tidak mengenal ama kue/adonan yang satu ini,karena sudah menjadi tradisi turun temurun dan rahasia umum di Aceh bahwa yang namanya Timphan setiap ibu-ibu atau wanita di Aceh bisa membuatnya. Timphan yang merupakan makanan lembek berbalut daun pisang muda ini yang paling terkenal adalah Timphan rasa srikaya. Sebelum menjelang lebaran bisanya ibu-ibu sudah menyiapkan daun pisang muda baik memetik di kebun atau beli dipasar. Saking terkenalnya Timphan ini di Aceh, sehingga banyak ungkapan/pribahasa dengan kata Timphan diantaranya yaitu “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” ( Hari baik bulan baik Timphan ibu buat harus dapat kurasakan).
g)      KERAJINAN
*      Anyaman
Anyaman berkembang di Aceh sampai dengan sekarang, akan tetapi yang masih maju di daerah-daerah pedalaman, akan tetapi didaerah perkotan anyaman tersebut sudah minim, anyaman tersebut dibuat dari daun lontar dan pandan dalam bahasa Aceh dinamakan sikee, anyaman yang biasa dibuat adalah tikar, diantaranya adalah tikar sembahyang dan tikar orang mati, tikar sembahyang khusus dibuat untuk maksud itu (tikar sajadah) dan disamping itu bentuk juga memperlihatkan unsur Islam. Bagian depan menyerupai kubah mesjid, dan bagian pinggirnya menyerupai gigi buaya sebanyak lima buah yang melambangkan bahwa seorang yang sedang bersembahyang tidak boleh melakukan kegiatan lain ( misalnya berbicara) akan tetapi harus kusyuk seakan-akan orang itu (hatinya) berbicara dengan tuhan.
*      Ulos
Ulos kini hanya digunakan pada upacara-upacara tertentu, meskipun demikian, semangat untuk melestarikan Ulos tetap diupayakan agar Ulos tak menghilang begitu saja ditelan perubahan jaman.
Salah satunya adalah upaya untuk membuat Ulos lebih nyaman digunakan dengan mengembangkan material yang digunakan untuk membuat Ulos. Dari benang katun kasar, mulai diganti ke serat yang lebih halus sehingga makin nyaman untuk digunakan.
*      Anyaman Pandan
Seukeu (dalam bahasa Aceh) disebut juga dengan daun pandan adalah bahan baku yang sering digunakan dalam membuat kerajinan anyaman. Dahulu, anyaman pandan ini hanya digunakan untuk membuat tikar saja, namun kini berbagai macam barang dapat dihasilkan dari anyaman pandan ini antara lain, aneka tas, sandal, sarung bantal kursi dan lain sebagainya.
*      Nepa
Nepa adalah sejenis gerabah yang dalam bahasa Gayo mempunyai arti meratakan tanah liat. Kerajinan Nepa banyak ditemukan di kabupaten Aceh Tengah. Gerabah ini pada umumnya dalam masyarakat Gayo digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti: periuk (Kuren) untuk memasak nasi dengan tutupnya (Kiup), untuk memasak sayur (Belanga), Piring (Capah), Cangkir (Cerek)
h)      SUKU / ETNIS
·         Suku Aceh
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda. Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.
·         Suku Gayo
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
·         Suku Aneuk Jamee
Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh. Dari segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau. Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan dari Suku Aneuk Jamee, terutama yang mendiami kawasan yang didominasi oleh Suku Aceh, misalnya di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Bahasa Aneuk Jamee hanya dituturkan di kalangan orang-orang tua saja dan saat ini umumnya mereka lebih lazim menggunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan sehari-hari (lingua franca). Adapun asal mula penyebutan "Aneuk Jamee" diduga kuat dipopulerkan oleh Suku Aceh setempat, sebagai wujud dari sifat keterbukaan Orang Aceh dalam memuliakan kelompok warga Minangkabau yang datang mengungsi (eksodus) dari tanah leluhurnya yang ketika itu berada di bawah cengkraman penjajah Belanda. Secara harfiah, istilah Aneuk Jamee berasal dari Bahasa Aceh yang berarti "anak tamu".
·         Suku Singkil
Suku Singkil adalah sebuah suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan dan kota Subulussalam di propinsi Aceh. Kedudukan suku Singkil sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah termasuk dalam suku Pakpak suak Boang atau berdiri sebagai satu suku yang tersendiri terpisah dari suku Pakpak.
·         Suku Tamiang
Penduduk utama kabupaten Aceh Tamiang adalah suku Melayu atau lebih sering disebut Melayu Tamiang.Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh.Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera lainnya.
·         Suku Alas
Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.
Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.
·         Suku Kluet
Suku Kluet adalah sebuah suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur.
·         Suku Devayan
Suku Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.
·         Suku Sigulai
Suku Sigulai merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara. Suku ini terdapat di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan Salang.
·         Suku Batak Pakpak
Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yaki di Kabupaten Dairi,Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Prov.Aceh.
Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan
Istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari :
1.Pakpak Klasen(Kab. Humbang Hasundutan Sumut].
2.Pakpak Simsim(Kab.Pakpak Bharat-sumut).
3.Pakpak Boang (Kab.Singil dan kota Sabulusalam-Aceh).
4.Pakpak Pegagan (Kab.Dairi-sumut).
5.Pakpak Keppas (Kab.Dairi sumut).
Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni: Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)
. Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang. Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan.
Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan).
Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
·         Suku Haloban
Suku Haloban merupakan suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari 7 desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.
·         Suku Lekon
Suku Lekon adalah sebuah suku bangsa yang terdapat di kecamatan Alafan, Simeulue di provinsi Aceh. Suku ini terdapat di desa Lafakha dan dan Langi.
i)        BAHASA DAERAH
·         Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD (Daud, 1997:10, Daud and Durie, 1999:1). Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Kota Madya Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Madya Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia (Daud, 1997:30).
·         Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
·         Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di Kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lawe Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar (Abdullah, dkk, 1987:2).
·         Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah Kabupaten Aceh Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed ( yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
·         Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah Susoh, Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan, menurut Wildan (2002:2), bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway 16 (Desa Peunaga Rayek, Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Ranto Kleng), serta di Kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari assimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Nama Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, thus ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada bahasa ini adalah refleksi yang tersirat dari makna masyarakat pendatang itu sendiri. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
·         Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah Kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi
·         Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Singkil. Saya katakana sebagian, karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di Kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistics, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarkat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
·         Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku (Wildan, 2002:2). Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
·         Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, Asyik & Daud, dkk (2000:1) menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2000:2) misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di Kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kecataman Simeulue Barat dan Kecamatan Salang. Dari beberapa anggota masyarakat pulau simeulue yang kami hubungi, kami peroleh informasi bahwa ketiga bahasa yang ada di pulau tersebut merupakan bahasa yang berbeda dan terpisah.
2. PROVINSI SUMATERA UTARA
Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia dan beribukota di Medan. Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 70.787 km².
Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas:
  • Pesisir Timur
  • Pegunungan Bukit Barisan
  • Pesisir Barat
  • Kepulauan Nias
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasuk residentie Sumatra's Oostkust bersama provinsi Riau.
Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Pesisir barat merupakan wilayah yang cukup sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini masuk ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau.
Sumatera Utara merupakan provinsi yang kaya akan kebudayaan, berikut kebudayaan provinsi Sumatera Utara :
a)      SENI ARSITEKTUR

Bolon Batak Toba

  Rumah adat di Suamatera Utara cukup banyak, tergantung dari suku mana. Perbedaan rumah adat Batak Toba, Karo, Simalungun dan Nias yang terdapat di Sumatra Utara terletak pada bentuk arsitektur dan ragam hiasnya. Sepasang Gajah Dompak yang terletak di depan rumah Bolon Batak Toba berfungsi sebagai penolak bala. Adapun setumpuk batu setinggi pagar di depan rumah adat Nias sesekali digunakan sebagai sarana olahraga tradisional "Lombat Batu".
Rumah adat Karo memunyai ciri-ciri serta bentuk yang khusus. Rumah ini sangat besar dan didalammya terdapat ruangan yang luas , tidak mempunyai kamar-kamar. Namun mempunyai bagian-bagian yang ditempati oleh keluarga batih atau jabu tertentu. Rumah adat berdiri di atas tiang-tiang besar serupa rumah panggung yang tingginya kira-kira dua merter lebih dari tanah. Lantai dan dinding dari papan yang tebal dan letak dinding rumah agak miring keluar, mempunyai dua buah pintu menghadap ke sebelah barat satu lagi ke sebelah Timur.
Tangga masuk ke rumah juga ada dua sesuai dengan letak pintu dan terbuat dari bambu bulat. Menurut kepercayaan mereka, jumlah anak tangga harus ganjil. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat, besar dan kuat disebut Ture. Ture ini digunakan untuk anak gadis bertenun. Sedang pada malam hari Ture atau seambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki atau tempat perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu kasih.
Sesuai dengan atapnya, rumah adat karo terdiri dari dua macam, yaitu rumah adat biasa dan rumah anjung-anjung. Pada rumah adat biasa mempunyai dua ayo-ayo dan dua tanduk kepala kerbau. Sedangkan pada rumah anjung-anjung terdapat paling sedikit ayo-ayo dan tanduk kepala kerbau.

Teknologi tradisional lainnya yang masih ada adalah Sapo Page yang artinya lumbung padi. Bentuk Sapo Page adalah seperti rumah adat. Letaknya di halaman depan rumah adat. Tiap-ttiap Sapo Page milik dari beberapa jambu atas rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang . Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristerahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas mempunyai dinding untuk menyimpan padi.
a)      PAKAIAN ADAT
Pakaian tradisional Sumatera Utara biasa disebut dengan Ulos. Pakaian adat Ulos dianggap oleh masyarakat suku Batak Karo sebagai ajimat yang mempunyai daya magis tertentu.
Sumatera Utara yang beribukota di Medan adalah provinsi multietnis dimana ada beberapa etnis yang mendominasi yaitu dengan suku Batak, Nias serta etnis Melayu sebagai penduduk asli yang ada wilayah Sumatra Utara. Wilayah pesisir bagian timur provinsi Sumatera Utara, sebagian besar dihuni oleh masyarakat Melayu. Wilayah pantai barat mulai dari Barus sampai Natal, banyak di huni oleh orang Minangkabau. Sedangkan untuk wilayah tengah sekitar daerah Danau Toba, banyak didiami oleh Suku Batak. Sedangkan Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat. Berikut ini adalah Pakaian Adat Indonesia yang berasal dari provinsi SumatraUtara.
Pakaian Tradisional Sumatera Utara juga beragam, Semua etnis yang ada di Sumatera Utara memiliki nilai budaya sendiri-sendiri dan semuanya itu menjadi keunikan budaya sumatera utara, seperti adat istiadat, tarian daerah, Makan, pakaian adat serta bahasa daerah masing-masing. Dari beragam Budaya Sumatera Utara ini tentunya sangat mendukung sekali untuk promosi tempat wisata Sumatera Utara.
Dengan melihat gambar pakaian adat tradisional daerah sumatera utara ini, moga menambah wasasan kita tentang Budaya Indonesia, bahwa negara kita memiliki keunikan budaya yang pantas di benggakan. Pakaian adat tradisional Sumatera Utara tentu semakin menambah kekayaan Pakaian Tradisional Indonesia
b)      SENJATA TRADISIONAL
Piso Gaja Dompak
Piso, artinya pisau. Runcing dan tajam, mengarit dan memotong. Ada juga
yang mengartikan berbeda, piso dapat juga disebutkan untuk wajah yang
agak runcing, mata yang tajam.
Runcing adalah benda yang dengan mudah untuk melakukan tusukan. Dalam
bahasa Batak disebut rantos. Rantos adalah ketajamannya. Dalam masyarakat
Rantos adalah ketajaman berpikir, kecerdasan intelektual hingga
kejeniusan seseorang diartikan sebagai ketajaman melihat sesuatu
permasalahan, peluang dan kecerdasan mengambi kesimpulan dan tindakan.
Pemimpin Batak diharapkan memiliki kecerdasan intelektual untuk handal
melakukan tindakan bermanfaat untuk semua kalangan. Dalam berstruktur,
kecerdasan berpikir individu dapat dihimpun dengan kesepakatan akhir.
Kesepakatan yang menjadi keputusan itu disebut tampakna. Marnatampak
artinya duduk bersama, bermusyawarah. Hasil keputusan bersama adalah
hasil ketajaman pikiran, kecerdasan dan itelektual orang Batak. Hasil
keputusan ini diandalkan mampu melakukan penetrasi saat operasional.
Inilah yang disebut tampakna do rantosna, rim ni tahi do gogona. Hasil
kesepakatan adalah keputusan intelektual yang handal dan dengan
bersama-sama menjadi kekuatan operasionalnya.
Gaja Dompak adalah sebutan untuk bentuk ukiran yang berpenampang gajah.
Pisao Gaja Dompak adalah pisau yang mempunyai ukiran pada tangkai. Ukiran
tersebut Gaja Dompak

c)      KESENIAN
·         Tari Tor-Tor
Tor-Tor berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang.
Sejarah dan Makna
Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata Tor-tor berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. \\\"Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui,\\\" (Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor, National Geographic Indonesia, 14/6/2012).

Dalam Tari Tor-Tor ada tiga pesan ritual yang utama. Pertama-tama, takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.

Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur, imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.

Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.
Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.
Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.
Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.

Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.
Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara, imbuh Togarma.
Gerakan dan Jenis Tari Tor-Tor
Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain.
Menurut sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan \\\"masuk\\\" ke patung-patung batu (merupakan simbol leluhur).Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.Jenis tari tor tor beragam. Ada yang dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya. Selanjutnya ada tari tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja.
Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Terakhir, ada tor tor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah.
Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah. Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia.
Ragam Tor-tor
Jenis tarian tor-tor banyak ragamnya, yakni:
1.      Tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya.
2.      Tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). 
3.      Tor tor Tunggal Panaluan . Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah. Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah.
Tor-Tor pada jaman sekarang untuk orang Batak tidak lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi menjadi sebuah seni karena Tor-Tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Tor-tor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang. Tor-tor bukan semata-mata sei tari seperti yang lainnya, melainkan lebih bersifat ibadat dan sacral. Menurut sejarahnya, tari tor-tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan rroh. Roh tersebut dipanggil dan masuk kepatung-patung batu (merupakan symbol dari leluhur). Kemudian, patung tersebut bergerak seperti menari, tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan. Bagi orang BatakTor tor pada zaman sekarang tidak lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi sebuah seni karena Tor tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Gerakan pada tarian Tor-tor dilakukan seirama dengan iringan music (Margondang) yang dimainkan dengan alat-alat music tradisional, seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Tor-tor umumnya dilakukan secara bersama-sama. Semua penarinya menggunakan ulos. Kadang-kadang tarian ini diselingi dengan gerakan perorangan yang silih berganti. Gerakannya juga lebih menjunjung dalihan natolu, dimana beberapa pihak saling menjunjung, saling menghormati, serta lebih anggun dan berwibawa.
Terdapat beberapa jenis Tor-tor yakni
1.      Tor-tor Panguarson (tari pembersihan)
Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Tujuannya untuk membersihkan tempat pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut.
2.      Tor-tor Sipitu Cawan (Tari Tujuh Cawan)
Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tarian ini mengisahkan tujuh putrid kahyangan yang mandi disebuah telaga dipuncak gunung Pusuk Buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (pisau tujuh sarung).
3.      Tor-tor Tunggal Panaluan
Tari ini merupakan suatu budaya ritual yang biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah. Tanggal penaluan ditarikan oleh para dukun untuk mencari petunjuk dalam mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat  tanggal penaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Notolu yaitu Banua Gijjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan Banua Toru (dunia bawah).
Tari Tor-tor biasanya dilakukan apabila ada upacara penting dalam kehidupan orang Batak. Diantaranya pada saat melaksanakan horja seperti menikahkan anak, martutuaek (memandikan atau memberi nama anak), memasuki rumah baru, pesta saring-saring (upacara mamungkal holi), pesta bius (mangase taon), dan pesta endangedang. Dalam perkemabngannya, makna tari Tor-tor disesuaikan dengan tema acara adat yang sedang dilakukan. Biasanya untuk lebih memeriahkan tari Tor-tor sebagian audensi memberikan saweran kepada penari Tor-tor.
·         Tari Serampang Dua Belas
ASAL-USUL TARI
Tari Serampang Duabelas merupakan tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan diubah ulang oleh penciptannya antara tahun 1950-1960. sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau Sari.
               
Tarian ini merupakan jenis tari tradisional yang dimainkan sebagai tari pergaulan. Sedikitnya ada dua alasan mengapa nama Tari Pulau Sari diganti Serampang Duabelas. pertama, nama Pulau Sari kurang tepat karena tarian ini bertempo cepat  (quick step). Menurut Tengku Mira Sinar, nama tarian yang diawali kata ’’pulau’’ biasanya bertempo rumba, seperti Tari Pulau Kampai dan Tari Pulau Putri. Sedangkan Tari Serampang Duabelas memiliki gerakan bertempo cepat seperti Tari Serampang Laut. Berdasarkan hal tersebut, Tari Pulau Sari lebih tepat disebut Tari Serampang Duabelas. Nama duabelas sendiri berarti tarian dengan gerakan tercepat diantara lagu yang bernama Serampang. Kedua, penamaan Tari Serampang Duabelas merujuk pada ragam gerak tarianya yang berjumlah 12, yaitu :

        Pertemuan pertama
        Cinta meresap
        Memendam cinta
        Menggila mabuk kepayang
        Isyarat tanda cinta
        Balasan isyarat
        Menduga
        Masi belum percaya
        Jawaban
        Pinang-meminang
        Mengantar pengantin
        Pertemuan kasih

Menurut Tengku Mira Sinar, Tarian ini merupakan hasil perpaduan gerak antara tarian Portugis dan Melayu Serdang. Pengaruh Portugis dapat dilihat pada keindahan gerak tarinya dan kedinamisan irama musik pengiringnya. Tari Serampang Duabelas berkisah tentang cinta suci anak manusia yang muncul sejak pandangan dan diakhiri dengan pernihkahan yang direstui ole kedua orang tua sang dara dan teruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati, maka tarian ini biasanya  dimainkan secara  berpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun,
PERKEMBANG TARI
Pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh laki-laki karena kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan tampil di depan umum, apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya. Diperbolehkannya perempuan memainkan Tari Serampang Duabelas tidak hanya berkembang dan dikenal oleh masyarakat di wilayag kesultanan Serdang, tetapi juga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke Maluku. Selain dikenal dan dimainkan diseluruh tanah ai, Tari Serampang Duableas juga terkenal dan sering dibawakan di beberapa Negara tentangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Hongkong. Keberadaan Tari Serampang Duabelas karya Sauti ini, mendapat  sambutan yang luar biasa di seluruh tanah air dan Negara tetangga. Seiring dengan perkembangan ini, Pemerintah daerah Kabupaten Serdang  Bedagai inisiatif untuk melindungi hak cipta Tari Serampang Duabelas. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan kembali pada masyarakat banyak tentang asal muasal dari tari ini, sehingga generasi muda tahu dan mengerti. Selain itu, diadakan juga berbagai pagelaran lomba Tari Serampang Dua Belas terutama untuk kalangan masyarakat yang berada di kawasan Kabupaten Serdang Bedagai.
TOKOH PEMBINA
Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada era 1940-an dan diubah ulang antara tahun 1950-1960. Sauti lahir tahun 1903 di Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai ketika menciptakan Tari Serampang Duabelas sedang bertugas di Dinas PP dan K Provinsi Sumatera Utara. Atas inisiatif dari Dinas yang menaunginya, Sauti diperbantukan menjadi guru diperwakilan Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara di Medan. Pada masa itulah Sauti juga berhasil menggubah beberapa tari lain, yaitu jenis Tiga Serangkai yang terdiri dari Tari Senandung dengan lagu Kuala Deli,  Tari Mak Inang dengan lagu Pulau Kampai, dan Tari lagu Dua dengan lagu Tanjung Katung.
FUNGSI TARI
Fungsi tai ini adalah sebagai tari pergaulan dikalangan muda mudi melayu. Selain itu, diadakan juga berbagai pagelaran lomba Tari Serampang Duabelas terutama untuk kalangan masyarakat yang berada dikawasan Kabupaten Serdang Bedagai.
MUSIK PENGIRING TARI
Pada awalnya musik pengiring tari masih menggunakan peralatan musik tradisional. Namun seiring perkembangan zaman peralatan musik yang digunakan semakin beragam.
BUSANA TARI
Biasanya tarian ini menggunakan pakaian adat melayu di pesisir timur pulau sumatera walaupun bukan peralatan  yang utama, keberadaan pakaian ini sangat penting. Ada dua alasan yaitu pertama warna pakaian yang berwarna warni dan kedua  penggunaan  pakaian adat menunjukkan  asal Tarian Serampang Duabelas
PENARI
Pada awal perkembanganya Tari Serampang Duabelas ditarikan oleh laki-laki secara berpasangan sedangkan kaum perempuan belum boleh ikut menari karena menari berarti akan memperlihatkan lekuk tubuh merekn dan itu dilarang, namun pada zaman sekarang tarian ini ditarikan oleh laki-laki maupu perempuan secara berpasangan.
KEISTIMEWAAN    
Nama Tari Serampang Dua Belas sebetulnya diambil dari dua belas ragam gerakan tari yang bercerita tentang tahapan-tahapan proses pencarian jodoh hingga memasuki tahap perkawinan.
Ragam I adalah permulaan tari dengan gerakan berputar sembari melompat-lompat kecil yang menggambarkan pertemuan pertama antara seorang laki-laki dan perempuan. Gerakan ini bertutur tentang pertemuan sepasang anak muda yang diselingi sikap penuh tanda tanya dan malu-malu.
Ragam II adalah gerakan tari yang dilakukan sambil berjalan kecil, lalu berputar dan berbalik ke posisi semula sebagai simbol mulai tumbuh benih-benih cinta antara kedua insan. Ragam II ini bercerita tentang mulai tumbuhnya rasa suka di antara dua hati, akan tetapi mereka belum berani untuk mengutarakannya.
Ragam III memperlihatkan gerakan berputar (tari Pusing) sebagai simbol sedang memendam cinta. Dalam tarian ini nampak pemuda dan pemudi semakin sering bertemu, sehingga membuat cinta makin lama makin bersemi. Namun, keduanya masih memendamnya tanpa dapat mengutarakannya. Gerakan dalam tarian ini menggambarkan kegundahan dua insan yang memendam rasa.
Ragam IV dilakukan dengan gerakan tarian seperti orang mabuk sebagai simbol dari dua pasang kekasih yang sedang dimabuk kepayang. Gerak tari yang dimainkan dengan melenggak-lenggok dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Pada ragam ini (Tahap IV) proses pertemuan jiwa sudah mulai mendalam dan tarian ini menggambarkan kondisi kedua insan yang sedang dimabuk kepayang karena menahan rasa yang tak kunjung padam.
Ragam V dilakukan dengan cara berjalan melenggak-lenggok sebagai simbol memberi isyarat. Pada ragam ini, perempuan berusaha mengutarakan rasa suka dan cinta dengan memberi isyarat terhadap laki-laki, yaitu dengan gerakan mengikuti pasangan secara teratur. Gerakan tari pada Ragam V ini sering juga disebut dengan ragam gila.
Ragam VI merupakan gerakan tari dengan sikap goncet-goncet sebagai simbol membalas isyarat dari kedua insan yang sedang dilanda cinta. Pada ragam ini, digambarkan pihak laki-laki yang mencoba menangkap isyarat yang diberikan oleh perempuan dengan menggerakkan sebelah tangan. Si pemuda dan pemudi kemudian melakukan tarian dengan langkah yang seirama antara pemuda dan pemudi.
Gerakan Tari Serampang Dua Belas.
Ragam VII dimulai dengan menggerakkan sebelah kaki kiri/kanan sebagai simbol menduga. Hal ini menggambarkan terjadinya kesepahaman antara dua pasang kekasih dalam menangkap isyarat yang saling diberikan. Dari isyarat ini mereka telah yakin untuk melanjutkan kisah yang telah mereka rajut hingga memasuki jenjang perkawinan. Setelah janji diucapkan, maka sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara tersebut pulang untuk bersiap-siap melanjutkan cerita indah selanjutnya.
Ragam VIII dilakukan dengan gerakan melonjak maju-mundur simbol proses meyakinkan diri. Gerakan ini dilakukan dengan melompat sebanyak tiga kali yang dilakukan sembari maju-mundur. Muda-mudi yang telah berjanji, mecoba kembali meresapi dan mencoba meyakinkan diri untuk memasuki tahap kehidupan selanjutnya. Gerakan tari dilakukan dengan gerak bersuka ria yang menunjukkan sepasang kekasih sedang asik bersenda-gurau sebelum memasuki jenjang pengenalan dengan kedua keluarga besar.  
Ragam IX adalah gerakan tari yang dilakukan dengan melonjak sebagai simbol menunggu jawaban. Gerakan tari menggambarkan upaya dari muda-mudi untuk meminta restu kepada orang tua agar menerima pasangan yang mereka pilih. Kedua muda-mudi tersebut berdebar-debar menunggu jawaban dan restu orang tua mereka.
Ragam X menggambarkan gerakan saling mendatangi sebagai simbol dari proses peminangan dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Setelah ada jawaban kepastian dan restu dari kedua orang tua masing-masing, maka pihak pemuda mengambil inisiatif untuk melakukan peminangan terhadap pihak perempuan. Hal ini dilakukan agar cinta yang sudah lama bersemi dapat bersatu dalam sebuah ikatan suci, yaitu perkawinan.
Ragam XI memperlihatkan gerakan jalan beraneka cara sebagai simbol dari proses mengantar pengantin ke pelaminan. Setelah lamaran yang diajukan oleh pemuda diterima, maka kedua keluarga akan melangsungkan perkawinan. Gerakan tari biasanya dilakukan dengan nuansa ceria sebagai ungkapan rasa syukur menyatunya dua kekasih yang yang sudah lama dimabuk asmara menuju pelaminan dengan hati yang berbahagia. Memadukan sapu tangan, pertanda menyatunya dua hati
Ragam XII atau ragam yang terakhir dimainkan dengan menggunanan sapu tangan sebagai sebagai simbol telah menyatuya dua hati yang saling mencintai dalam ikatan perkawinan. Pada ragam ini, gerakan tari dilakukan dengan sapu tangan yang menyatu yang manggabarkan dua anak muda sudah siap mengarungi biduk rumah tangga, tanpa dapat dipisahkan baik dalam keadaan senang maupun susah.
Ragam tarian yang dimainkan dalam Tari serampang Dua Belas bertambah indah dan menarik dengan komposisi pakaian warna-warni yang dipakai para penarinya. Lenggak-lenggok para penari begitu anggun dengan berbalut kain satin yang menjadi ciri khas pakaian adat dari masyarakat Melayu di pesisir pantai timur Pulau Sumatra. Sapu tangan melengkapi perpaduan pakaian tersebut yang kemudian dipergunakan sebagai media tari pada gerakan penutup Tari Serampang Dua Belas.
·         Tari Baluse
Tari baluse adalah tarian khas yang berasal dari suku Nias yang melambangkan kegagahan saat di medan perang.
·         Tari Manduda
Tari Manduda merupakan tarian yang berasal daru Sumatera utara. Tarian ini melambangkan suka cita saat sedang panen raya.
·         Lagu Daerah - Anju Ahu
Anju ahu sai anju ahu ale anggi
Dina muruk manang marsak rohangki
Nang so hupa boa arsak nadi roha
Holongni rohangku sai hot doi
Anju ahu sai anju ahu ale anggi
Engkelmi mambahen pa sonang rohangkai
Tung saleleng ahu dilambung mi
Anju ahu sai anju ahu ale anggi
·         Lagu Daerah - Piso Surit
Piso surit… piso surit…
Terdilo dilo… terpingko pngko…
Lalap la jumpa raas atena ngena
Ija kel kena tengahna gundari
Siangna menda turag antenna wari
Entabeh nari nge mata kena tertuduh
Kami nimaisa turang tangis teriluh
Engo engo me dagena
Mulih me gelah kena
Bage me nindu rupa agi kakana
Tengah kesain keri lengetna
Remang mekapal turang seh kel bergehna
Tekuak manuk ibabo geligar
Enggo me selpat kirang kite-kite ku leper
Piso surit… piso surit…
Tardilo dilo… terpingko pingko…
Lalap la jumpa ras atena ngena
Engo engo me dagena
Mulih me gelah kena
 Bage me nindu rupa agi kakana
·         Lagu Daerah - Sitara Tillo
Au sijara jiri nasohea maridi sa hali
Au maidi dapot au pirami
Bibi hei bibi hei bibi hei bibi hei
Tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Au sijara jiri nasohea maridi sahali
Au maridi dapot au pirami bihi
Tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Au sitangkal tabu nasohea maridi sahali
Madabu tuabingan nina marbaju
Hei baju hei baju hei baju hei
Tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
La la la la la la la la la la la la
La la la la la la la la la la la la
La la la la la la la la la la la la
Laaaaaaaaaaa laaaaaaaaaaa
d)     ADAT ISTIADAT
·         Tradisi Lompat Batu
Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja.
Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti saat mendarat.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Lompat Batu sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Itu juga makanya, para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial
·         Upacara Mangongkal Holi
Upacara Mangongkal Holi adalah sebuah upacara yang dilakukan mayoritas oleh masyarakat suku bangsa Batak Toba. Upacara ini biasanya dilakukan oleh sekelompok marga yaitu untuk mendirikan sebuah monument (kuburan nenek moyang), dengan menggali kuburan dari para nenek moyang mereka dan mengangkat tulang-tulangnya untuk dimakamkan di monumen tersebut.
f)       MAKANAN TRADISIONAL
Bika Ambon
Bika ambon adalah sejenis penganan asal Indonesia. Terbuat dari bahan-bahan seperti telur, gula, dan santan, bika ambon umumnya dijual dengan rasa pandan, meskipun kini juga tersedia rasa-rasa lainnya seperti durian, keju, dan cokelat. Asal-muasal bika ambon tidak diketahui dengan jelas. Walaupun namanya mengandung kata "ambon", bika ambon justru dikenal sebagai oleh-oleh khas Kota Medan, Sumatera Utara. Di Medan, Jalan Mojopahit di daerah Medan Petisah merupakan kawasan penjualan bika ambon yang paling terkenal. Di sana terdapat sedikitnya 40 toko yang menjual kue ini.
g)      KERAJINAN
·         Kain Ulos
Menurut pandangan orang-orang Batak, ada tiga sumber kehangatan (panas) bagi manusia, yaitu matahari, api, dan Ulos. Tentu tidak akan menimbulkan pertanyaan jika dikatakan bahwa matahari dan api merupakan sumber panas, tetapi tidak demikian dengan kain Ulos. Adalah wajar jika kemudian orang-orang non Batak mempertanyakan kain Ulos sebagai sumber panas atau kehangatan.
Munculnya pandangan orang-orang Batak bahwa kain Ulos merupakan sumber panas terkait dengan suhu tempat di mana orang-orang Batak membangun tempat tinggalnya. Secara geografis, tempat tinggal orang Batak berada di kawasan pegunungan yang beriklim sejuk. Kondisi alam ini, menyebabkan panas yang dipancarkan oleh matahari tidak cukup memberikan kehangatan, terutama ketika malam hari. Oleh karenanya, orang Batak kemudian menciptakan sesuatu yang mampu memberikan kehangatan yang melepaskan mereka dari cengkraman hawa dingin. Dalam konteks inilah kain Ulos menjadi sumber panas yang memberikan kehangatan, baik kehangatan secara fisik maupun non fisik kepada orang Batak. Kehangatan kain Ulos tidak saja melindungi tubuh orang Batak dari udara dingin, tetapi juga mampu membentuk kaum lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan perempuannya mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna kemandulan.
Kain Ulos lahir dari pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan yang dingin. Seiring berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, Ulos berkembang menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol sistem sosial masyarakat Batak . Bahkan, kain ini dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.
Berbagai jenis dan motif kain Ulos menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana. Bahkan, berbagai upacara adat seperti pernikahan, kelahiran, kematian, dan ritual lainnya tak pernah terlaksana tanpa Ulos . Melihat peran sentral kain ulos tersebut, nampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kain ulos merupakan bagian dari kehidupan orang Batak.
Bila kain ini dipakai oleh laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Namun terkait dengan nilai-nilai sakral yang melingkupi kain Ulos, maka tidak semua Ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya Ulos Jugia, Sadum, Ragi Hotang, Ragidup, dan Runjat, hanya dapat dipakai pada waktu-waktu dan upacara tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Bila Ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampe-ampe. Apabila digunakan sebagai penutup kepala disebut saong, dan untuk menggendong anak disebut parompa. Dalam kesehariannya, perempuan Batak memakai kain blacu hitam dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut saong.
Secara garis besar, ada tiga cara pemakaian Ulos, yaitu: pertama, siabithononton (dipakai). Ulos yang dipakai di antaranya: ragidup, sibolang, runjat, djobit, simarindjamisi, dan ragi pangko. Kedua, sihadanghononton (dililitkan di kepala atau bisa juga di jinjing). Ulos yang penggunaannya dililit di kepala atau bisa juga ditengteng di antaranya: sirara, sumbat, bolean, mangiring, surisuri, dan sadum. Ketiga, sitalitalihononton (dililit di pinggang). Ulos yang dililitkan di pinggang di antaranya: tumtuman, mangiring, dan padangrusa. Ketiga aturan pemakaian tersebut membawa pesan bahwa menempatkan Ulos pada posisi yang tepat merupakan hal yang sangat penting, tidak saja terkait dengan keserasian dalam berpakaian tetapi juga terkait dengan makna-makna filosofis yang dikandungnya. Dengan kata lain, Ulos tidak hanya berfungsi sebagai penghangat dan lambang kasih sayang, melainkan juga sebagai simbol status sosial, alat komunikasi, dan lambang solidaritas.
Terkait Ulos sebagai ekspresi kasih-sayang, maka dikenal ungkapan mangulosi. Dalam adat Batak, mangulosi (memberikan Ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Ulos. Dalam hal mangulosi, ada aturan umum yang harus dipatuhi, yaitu mangulosi hanya boleh dilakukan kepada orang yang mempunyai status kekerabatan atau sosial lebih rendah, misalnya orang tua boleh mangulosi anaknya, tetapi sang anak tidak boleh mangulosi orang tuanya.
Demikian juga dengan Ulos yang hendak digunakan untuk mangulosi harus mempertimbangkan tujuan dari pemberian Ulos tersebut. Misalnya hendak mangulosi Boru yang akan melahirkan anak sulungnya, maka Ulos yang diberikan adalah Ulos Ragidup Sinagok. Demikian juga jika hendak mangulosi pembesar atau tamu kehormatan yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi), maka Ulos yang digunakan adalah Ulos Ragidup Silingo.
Melihat begitu pentingnya fungsi Ulos dalam masyarakat Batak, maka upaya-upaya pelestarian harus segera dilakukan. Pelestarian tentunya tidak hanya dimaksudkan agar keberadaan kain tersebut tidak punah, tetapi juga merevitalisasinya sehingga memberikan manfaat (baca: kesejahteraan) bagi orang-orang Batak yang melestarikannya. Namun demikian, revitalisasi harus dilakukan secara hati-hati sehingga tidak melunturkan nilai-nilai yang dikandung oleh kain Ulos. Jangan sampai muncul gugatan, “Kami merasa sangat ngilu. Melihat Ulos diguntingi dan dipotong-potong. Dijadikan taplak meja, bahkan alas jok kursi untuk dihunduli. Itu pelecehan dan sangat tidak menghargai nilai budaya bangso Batak” . Pelestarian dan revitalisasi tidak boleh hanya berorientasi pada nilai ekonomi saja, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga orang Batak tidak mengalami alienasi dan tercerabut dari akar lokalitasnya.
h)      SUKU / ETNIS
Sumatera Utara adalah provinsi multietnis dengan suku Melayu, Batak dan Nias sebagai penduduk asli daerah ini.  Provinsi ini karena merupakan daerah perkebunan tembakau sejak zaman Hindia Belanda karenanya merupakan tujuan pendatang luar untuk mencari pekerjaan. Pendatang-pendatang terutama datang dari Pulau Jawa yang datang karena kontrak kuli dengan pemerintah Hindia Belanda. Ada pula pendatang Tionghoa yang datang merantau mengadu nasib untuk kemudian menetap di sini.
Penyebaran suku-suku di Sumatra Utara:
·         Suku Melayu: Pesisir Timur. terdiri dari Melayu Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Kualuh, Panai serta Bilah
·         Suku Karo: Dataran Tinggi Karo, sebagian kecil Langkat & Deli Serdang
·         Suku Batak Toba: Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir dan sekitarnya
·         Suku Simalungun:daerah Kabupaten Simalungun & Serdang Bedagai
·         Suku Pakpak: daerah Dairi dan Pakpak Bharat
·         Suku Batak Mandailing: Madina
·         Suku Angkola: Tapanuli Selatan
·         Suku Pesisir Barat : Kota Sibolga, Tapanuli Tengah & Natal
·         Suku Nias: Kepulauan Nias
·         Suku Jawa-Deli: pesisir timur & wilayah Perkebunan Sawit/Karet
·         Suku Tionghoa: perkotaan di pesisir timur
Perlu dijelaskan bahwa apa yang dikatakan suku Melayu di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) awalnya bukanlah etnis, melainkan suatu budaya yang dipengaruhi oleh agama Islam. Itulah sebabnya Melayu di daerah ini bermarga. Untuk membuktikan kebenaran hal ini, adalah bahwa Melayu di Sumatera Timur adalah berasal dari suku Karo dan Simalungun yang memeluk agama Islam serta Toba di wilayah Tanjung Balai & Asahan yang beragama Islam, Berbahasa & beradat resam Melayu. Oleh karena itu, Melayu di daerah ini memiliki marga. Misalnya Datuk Sunggal merga Karo-karo Surbakti, Datuk Hamparan Perak (Sepuluh Dua Kuta) merga Sembiring Pelawi, dan Datuk Kejurun Senembah merga Karo-karo Barus, sementara itu Datuk Kejurun Tanjung Morawa merga Seragih.
Di wilayah Langkat, berdasarkan legenda suku Karo, bahwa Sultan Langkat merga Perangin-angin Kuta Buluh, demikian juga kejurun Bahorok merga Perangin-angin Kuta Buluh. Sultan Asahan adalah marga Marpaung dan Sultan Labuhan Batu merga Simargolang, Raja Tebing Tinggi marga Saragih Dasalak dan lainnya
i)        BAHASA DAERAH
Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah bahasa Indonesia. Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan bahasa Indonesia karena kedekatan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia. Pesisir timur Bedagai,Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, Tanjung Balai memakai Bahasa Melayu Dialek "O" begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Dilangkat & Masyarakat Melayu Deli dipinggiran masih menggunakan Bahasa Melayu Dialek "E" yang sering juga disebut Bahasa Maya-maya , masih banyak keturunan Jawa Kontrak ( Jadel - Jawa Deli )yang menuturkan bahasa Jawa yang sudah terdegradasi tentunya.
Di kawasan perkotaan, suku Tionghoa lazim menuturkan bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, suku Batak menuturkan bahasa Batak yang terbagi atas banyak logat.  Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias.
3. PROVINSI SUMATERA BARAT
Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Sumatera dengan Padang sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, wilayah provinsi ini menempati sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km² ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Sumatera Barat berpenduduk sebanyak 4.845.998 jiwa dengan sebagian besar beretnis Minangkabau yang seluruhnya beragama Islam, sedangkan sisanya tidak semuanya memeluk Islam. Provinsi ini terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota dengan pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di seluruh kabupaten (kecuali kabupaten Kepulauan Mentawai) dinamakan sebagai nagari—sebelumnya pada tahun 1979 diganti dengan desa, kemudian sejak 2001 dikembalikan ke nama semula.
Cikal bakal nama Provinsi Sumatera Barat dimulai pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), digunakan untuk sebutan wilayah administratifnya yakni Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatera mulai dari Barus sampai Inderapura.
Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.
Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust termasuk wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukan Tapanuli, dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Sementara wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie Riouw pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, serta juga membentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan.
Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar/ Bangkinang dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.[3]
Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Pada tahun 1949, Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah. Pada masa PRRI di Sumatera, Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau. Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini adalah masih tetap di Kota Bukittinggi. Namun berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 secara de facto menetapkan Kota Padang menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat.
Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera yang terdiri dari dataran rendah di pantai barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh Bukit Barisan. Provinsi ini memiliki daratan seluas 42.297,30 km² yang setara dengan 2,17% luas Indonesia. Dari luas tersebut, lebih dari 45,17% merupakan kawasan yang masih ditutupi hutan lindung. Garis pantai provinsi ini seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 2.420.357 km dengan luas perairan laut 186.580 km². Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini.
Seperti daerah lainnya di Indonesia, iklim Sumatera Barat secara umum bersifat tropis dengan suhu udara yang cukup tinggi, yaitu antara 22,6° C sampai 31,5° C. Garis khatulistiwa tepat melalui provinsi ini di kecamatan Bonjol, kabupaten Pasaman. Di provinsi ini berhulu sejumlah sungai besar yang bermuara di pantai timur Sumatera seperti Batang Hari, Siak, Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), dan Kampar. Sementara sungai-sungai yang bermuara di provinsi ini berjarak pendek, seperti Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan.
Terdapat 29 gunung yang tersebar di 7 kabupaten dan kota di Sumatera Barat dengan Gunung Talamau di kabupaten Pasaman Barat sebagai gunung tertinggi, yaitu 2.913 m. Gunung Marapi di kabupaten Agam merupakan gunung aktif yang tingginya 2.891 m, gunung aktif lainnya adalah Tandikat dan Talang. Selain gunung, Sumatera Barat juga memiliki banyak danau. Danau terluas adalah Singkarak di kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar, disusul Maninjau di kabupaten Agam. Dengan luas yang mencapai 130,1 km², Singkarak juga menjadi danau terluas kedua di Sumatera dan kesebelas di Indonesia. Danau lainnya terdapat di kabupaten Solok yaitu Danau Talang dan Danau Kembar (julukan dari Danau Diatas dan Danau Dibawah).
Berikut kebudayaan Sumatera Barat :
a)      SENI ARSITEKTUR
Rumah Gadang
Rumah adat Sumatera Barat khususnya dari etnis Minangkabau disebut Rumah Gadang. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun. Tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut namun belum menikah.
b)      PAKAIAN ADAT
Pakaian Tradisional Adat Sumatra Barat, keaneragaman budaya Indonesia tentunya berbeda-beda begitu pula dalam berpakaian dalam hal ini untuk pakaian Tradisional yang berada di Sumatra Barat juga berbeda yang memiliki makna dalam setiap atribut yang dikenakan oleh pria maupun wanita.
Sumatra Barat yang terkenal dengan suku Minangkabau dengan wilayah yang terdiri atas wilayah pegunungan dan dataran yang cantik yang sering dijadikan objek wisata yang cukup terkenal di Indonesia.  Pakaian Tradisional Adat Sumatra Barat utuk wanita disebut dengan Baju Kurung  sedang untuk Pakaian Tradisional Adat Sumatra Barat pada pria disebut dengan Pakaian adat Penghulu.
Pakaiaan adat khas sumatra barat sangatlah feminim bila dilihat dari sudut busananya. Pakaian Khas sumatra barat di bagi menjadi dua yaitu : Pakaian Tradisional dari Minangkabau dan Pakaian Bundo Kanduang. Produk yang kami iklankan ini merupakan bagian dari Pakaian Bundo Kanduang. Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang.Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.
c)      SENJATA TRADISIONAL
Keris
Senjata tradisional Sumatera Barat adalah Keris. Keris biasanya dipakai oleh kaum laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, dan umumnya dipakai oleh para penghulu terutama dalam setiap acara resmi ada terutama dalam acara malewa gala atau pengukuhan gelar, selain itu juga biasa dipakai oleh para mempelai pria dalam acara majlis perkawinan yang masyarakat setempat menyebutnya baralek. Berbagai jenis senjata juga pernah digunakan seperti tombak, pedang panjang, panah, sumpit dan sebagainya.
d)     KESENIAN
·         Tari Piring
Tari piring merupakan sebuah tarian yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani ketika bercocok tanam, sekaligus melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tari Piring merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring ditelapak tangan mereka, diringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Terkadang piring-piring itu akan dilempar ke udara atau dihempaskan ke tanah dan diinjak oleh para penari-penari tersebut.
Nuansa Minangkabau yang ada didalam setiap musik Sumatera Barat yang dicamppur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar dimasyarakat. Hal itu terjadi karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri atas instrumen alat musik tradisional saluang, bansi, talempong, rabab, dan gandang tabuik.
Musik Minangkabau yang berupa instrumen dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya berhubungan dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan, dan kecintaan kampung halaman yang rata-rata penduduknya memiliki kebiasaan merantau.
Tarian ini bisa dibawakan oleh kaum pria maupun wanita, mereka memiliki gerakan yang cepat dan mempunyai cirri khas, Ciri khas ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam. Oleh karena itu, keteraturan gerakan tradisi Minang selalu melambangkan unsur alam. Pengaruh agama Islam, kebiasaan merantau masyarakatnya juga member pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau.
·         Tari Randai
Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Kono kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang ketika masyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut.
Randai dalam masyarakat minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu. Dalam tarian Randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Demam, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Tarian Randai bertujuan untuk menghibur msyarakat biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.
Tarian Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini biasanya berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau bahkan lebih tergantung dengan cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memperankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan acara tersebut.
Tarian randai ini banyak di jumpai di daerah pesisir selatan, sebuah daerah di bagian selatan dari Sumatera Barat.
·         Lagu Daerah - Ayam Den Lapeh

Luruihlah jalan Payakumbuah
Babelok jalan kayujati
Dimahati indak karusuah
Awak takicuah
Ai ai ayam den lapeh
Mandaki jalan Pandai Sikek
Manurun jalan ka Biaro
Dima hati indak ka maupek
Ayam den lapeh
Ai ai ayam den lapeh
Sikua capang sikua capeh
Saikua tabang saikua lapeh
Lapehlah juo nan ka rimbo
Oi lah malang juo
Pagaruyuang Batusangka
Tampek bajalan urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Ayam den lapeh
Ai ai ayam den lapeh

·         Lagu Daerah – Sansaro
Usah dikanalah juo cinto kito nan lamo
Bia denai kok sansaro mandi si aia mato
Sadah kok dikana kini
Sadiah kasiahlah dipadu oi kanduang
Usah dikanalah juo dinto kito nan lamo
Sansei juo sansei juo oi iyo lah sansai
·         Lagu Daerah – Paku Gelang
Gelang si paku gelang
Gelang si rama rama
Mari pulang marilah pulang marilah pulang bersama-sama
Mari pulang marilah pulang marilah pulang bersama-sama
·         Lagu Daerah – Kampuang Nan Jauh Di Mato
Kampuang nan jauh di mato
Gunuang sansei baku liliang
Takana jo kawan, kawan nan lamo
Sangkek basu liang suliang
Panduduknya nan elok
Nan suko bagoto royong
Kook susah samo samo diraso
Den takana jo kampuang
Takana jo kampuang
Induk ayah adik sadonyo
Raso mangimbau ngimbau den pulang
Den takana jo kampuang
e)      ADAT ISTIADAT
·         Pernikahan
  Baju Adat Pernikahan
Dalam acara pernikahan adat Minangkabau yang biasa disebut baralek mempunyai beberapa tahapan yang biasa dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basanding (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan.
Pada kelompok-kelompok tertentu di Padang, setelah ijab Kabul di depan penghulu (tuan kadi). Pengantin pria akan diberi gelar baru untuk mengganti panggilan kecil mereka. Kalau di kawasan pesisir pantai biasanya dimulai dari sutan, bagindo, atau sidi. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah tidak berlaku untuk pemberian gelar.
·         Tabuik
Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam. Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota.Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.
f)       MAKANAN TRADISIONAL
·         Rendang

Rendang (bahasa Minang: Randang) adalah salah satu masakan tradisional Minangkabau yang menggunakan daging dan santan kelapa sebagai bahan utama dengan kandungan bumbu rempah-rempah yang kaya. Masakan dengan citarasa yang pedas ini digemari oleh seluruh kalangan masyarakat, dan dapat ditemukan di seluruh Rumah Makan Padang di Indonesia, Malaysia, ataupun di negara lainnya. Masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Rendang Padang, padahal rendang merupakan masakan khas Minang secara umum. Pada tahun 2011, rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.
g)      KERAJINAN
·         Kain Ulos Danau Toba
`
Kain Ulos khas Danau Toba merupakan salah satu kerajinan tradisional Batak yang sangat terkenal. Kain yang didominasi warna merah, hitam, dan putih ini biasanya ditenun dengan benang berwarna emas dan perak. Dahulu, kain ini hanya digunakan sebagai selendang dan sarung untuk pasangan kebaya, namun pada saat ini telah mengalami modifikasi sehingga lebih menarik dan bernilai ekonomis, misalnya dijadikan sebagai produk suvenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan kain gorden.
Kain yang diproduksi secara home industry ini cara pembuatan dan alatnya sama seperti pembuatan kain songket khas Palembang. Para pengrajin, sambil duduk dengan penuh kesabaran, menenun untaian benang berwarna emas dan perak untuk menghasilkan sebuah kain ulos yang indah dan artistik.
Bagi orang Batak, Kain Ulos tidak saja digunakan untuk pakaian sehari-hari, tetapi juga untuk upacara adat. Pemakaian kain ini secara garis besar ada tiga cara, yaitu dengan siabithononton (dipakai), sihadanghononton (dililit di kepala atau bisa juga ditenteng), sitalitalihononton (dililit di pinggang). Namun demikian, tidak semua jenis Kain Ulos dapat dipakai dalam aktivitas sehari-hari. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Bagi orang Batak, Kain Ulos tidak sekedar kain yang berfungsi melindungi tubuh dari hawa dingin, tetapi juga berfungsi simbolik, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat orang Batak. Kain Ulos dari jenis tertentu dipercaya mengandung kekuatan mistis dan dianggap keramat serta memiliki daya magis untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.
Kain Ulos juga menjadi bagian penting dalam upacara adat masyarakat Batak. Bilamana dalam suatu upacara adat Kain Ulos tidak digunakan atau diganti dengan kain yang lain, seperti dalam upacara kelahiran, kematian, pernikahan, memasuki rumah, atau upacara-upacara adat lainnya, maka pelaksanaan upacara adat menjadi tidak sah.
Kain ulos mempunyai beraneka macam jenis, di antaranya: bintang maratur, ragiidup, sibolang, ragihotang, mangiring, dan sadum. Aneka macam jenis Ulos tersebut mempuyai tingkat kerumitan, nilai, dan fungsi yang berbeda-beda. Semakin rumit pembuatan sebuah Ulos, maka nilainya semakin tinggi dan harganya juga semakin mahal.
Pengrajin Kain Ulos khas Danau Toba berada di Pulau Samosir, tepatnya di Desa Perbaba. Oleh karena berada di Pulau Samosir, maka wisatawan yang hendak menuju desa tersebut sekaligus dapat bertamasya dan menikmati indahnya Danau Toba, danau legendaris yang terluas di Asia Tenggara. Di samping itu, tidak jauh dari Desa Perbaba, ada sebuah museum adat Batak Huta Bolon Simanindo. Museum ini memamerkan berbagai peralatan peninggalan Raja Batak, yang salah satunya adalah koleksi Kain Ulos dengan motif-motif yang beragam.
h)      SUKU / ETNIS
Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di daerah Pasaman selain suku Minang berdiam pula suku Batak dan suku Mandailing. Suku Mentawai terdapat di Kepulauan Mentawai. Di beberapa kota di Sumatera Barat terutama kota Padang terdapat etnis Tionghoa, Tamil dan suku Nias dan di beberapa daerah transmigrasi seperti di (Sitiung, Lunang Silaut, Padang Gelugur dan lainnya) terdapat pula suku Jawa. Sebagian di antaranya adalah keturunan imigran berdarah Jawa dari Suriname yang memilih kembali ke Indonesia pada masa akhir tahun 1950-an. Oleh Presiden Soekarno saat itu diputuskan mereka ditempatkan di sekitar daerah Sitiung. Hal ini juga tidak lepas dari aspek politik pemerintah pusat pasca rekapitulasi PRRI di Provinsi Sumatera Barat yang juga baru dibentuk saat itu.
i)        BAHASA DAERAH
Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa daerah yaitu Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan, dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman dan Pasaman Barat yang berbatasan dengan Sumatera Utara, dituturkan juga Bahasa Batak dan Bahasa Melayu dialek Mandailing. Sementara itu di daerah kepulauan Mentawai digunakan Bahasa Mentawai.
4. PROVINSI RIAU
Secara etimologi kata Riau berasal dari bahasa Portugis, Rio berarti sungai. Pada tahun 1514 terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut. dan sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri setelah kejatuhan Malaka.
Pada awal abad ke-16, Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental mencatat bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatera antara Arcat (Aru dan Rokan) hingga Jambi merupakan pelabuhan raja-raja Minangkabau. Dimasa inipula banyak pengusaha Minangkabau yang mendirikan kampung-kampung pedagang di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru. Pada masa kejayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura yang didirikan oleh Raja Kecil, kawasan ini merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Siak. Sementara, Riau dirujuk hanya kepada wilayah Yang Dipertuan Muda (raja bawahan Johor) di Pulau Penyengat, kemudian menjadi wilayah Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang, dan Riouw, dieja oleh masyarakat setempat menjadi Riau.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Residentie Riouw dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Kemudian Provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dominannya etnis Minangkabau dalam pemerintahan Sumatera Tengah, menuntut masyarakat Riau untuk membentuk provinsi tersendiri. Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Residentie Riouw serta ditambah Bangkinang yang sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukan ke dalam wilayah Rhio Shu.
Kemudian berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-25, pada tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibu kota provinsi Riau menggantikan Tanjung Pinang. Namun pada tahun 2002, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002, Provinsi Riau kembali dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Riau dan Kepulauan Riau. Hal ini juga tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas rasa ketidakadilan dalam politik maupun ekonomi terutama yang berada pada kawasan kepulauan.
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka. Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari. Riau juga memiliki kekayaan budaya yang sangat menakjubkan, berikut kebudayaan Riau.
a)      SENI ARSITEKTUR
·         Rumah Melayu Selaso Jatuh Kembar
Balai salaso jatuh adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain : Balairung Sari, Balai Penobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain. Bangunan tersebut kini tidak ada lagi, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangklut keagamaan dilakukan di masjid. Ciri - ciri Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.
·         Rumah Lancang
1. Asal-Usul
Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang, Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.
Rumah Lancang merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
Dinding luar Rumah Lancang seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli masyarakat Kampar dan Minangkabau. Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.

·         Candi Muara Takus

 Candi Muara Takus
Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.[1][2]
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Deskripsi situs

Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Cina, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Candi Mahligai

Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.

Candi Tua

Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.

Candi Bungsu

Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.

Candi Palangka

Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.

Arsitektur

Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1.      Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
2.      Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
3.      Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain :
1.      Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2.      Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3.      Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4.      Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.
Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.

Latar belakang pendirian

Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin dimana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.

Beberapa aspek dalam pendirian candi

Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:
1.      Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat ”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain dimana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
2.      Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
3.      Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.
·         Benteng Tujuh Lapis
Benteng Tujuh Lapis terletak di daerah Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu. Benteng tanah ini dibuat oleh masyarakat Dalu-dalu pada masa Perang Paderi atas petuah Tuanku Tambusai. Bekas benteng tersebut ditinggalkan Tuanku Tambusai pada tanggal 28 Desember 1839. Disekitar daerah Dalu-dalu ini juga terdapat beberapa benteng yang disebut Kubu
·         Mesjid Raya Pekanbaru
Mesjid Raya dan Makan Marhum Bukit serta Makam Marhum Pekan. Mesjid Raya Pekanbaru terletak di Kecamatan Senapelan memiliki arsitektur tradisional yang amat menarik dan merupakan mesjid tertua di Kota Pekanbaru. Mesjid ini dibangun pada abad 18 dan sebagai bukti Kerajaan Siak pernah berdiri di kota ini pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah dan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai sultan keempat dan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura. Di areal Mesjid terdapat sumur mempunyai nilai magis untuk membayar zakat atau nazar yang dihajatkan sebelumnya. Masih dalam areal kompleks mesjid kita dapat mengunjungi makam Sultan Marhum Bukit dan Marhum Pekan sebagai pendiri kota Pekanbaru. Marhum Bukit adalah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4) memerintah tahun 1766 – 1780, sedangkan Marhum Bukit sekitar tahun 1775 memindahkan ibukota kerajaan dari Mempura Siak ke Senapelan dan beliau mangkat tahun 1780.
·         Istana Siak Sri Indrapura
Kerajaan Siak adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang terbesar di Riau. Mencapai masa kejayaannya pada abad ke-16 sampai abad ke-20. Dalam silsilah, sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 dengan 12 sultan yang pernah bertahta. Kini sebagai bukti sejarah atas kebesaran kerajaan Melayu Islam tersebut, dapat kita lihat peninggalan kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama Assirayatul Hasyimah, lengkap dengan peralatan kerajaan. Sekarang Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan benda-benda koleksi kerajaan antara lain : kursi singgasana kerajaan yang berbalut emas, duplikat mahkota Kerajaan, brankas Kerajaan, payung Kerajaan, tombak Kerajaan, komet sebagai barang langka dan menurut cerita hanya ada dua di dunia, serta barang-barang lain-lainnya. Di samping istana kerajaan terdapat pula istana peraduan.
b)      PAKAIAN ADAT
Pakaian Resmi
Pakaian resmi lelaki baju kurung cekak musang yang dilengkapi dengan kopiah. Kain samping yang terbuat dari kain tenun dari Siak, Indragiri, Daik, Terengganu, atau lainnya yang dibuat dan bermotifkan ciri khas budaya Melayu. Sedangkan untuk perempuan adalah baju kurung kebaya labuh dan baju kurung teluk belanga atau juga baju kurung cekak musang. Untuk kepala rambutnya disiput jonget, lintang, lipat pandan. Pada siput dihiasi dengan bunga melur, bunga cinga atau diberi permata. Kepala ditutup dengan selendang, dibelitkan keleher. Rambut tak tampak, dada tertutup.
Pakaian Melayu dalam Upacara Adat
Dalam hal pakaian adat , setiap wilayah kesatuan adat membakukan secara lengkap pakaian adat wilayah kesatuan adatnya, dengan lambing-lambang dan makna yang terkandung di dalamnya.
Pakaian adat ini dipakai dalam upacara adat yang pada masa lalu dipakai di  kerajaan-kerajaan di kawasan Bumi Melayu, seperti untuk: upacara penobatan raja, pelantikan menteri, orang besar kerajaan dan datuk-datuk, upacara menjunjung duli, penyambutan tamu-tamu agung dan tamu-tamu dihormati, upacara adat menerima anugerah dan penerimaan persembahan dari rakyat dan negeri-negeri sahabat.
Tata berpakaian secara adat dalam upacara adat dapat dibedakan sebagai berikut. Pakaian adat dalam acara nikah dan perkawinan, pakaian upacara adat, pakaian Melayu sebagai mempelai pengantin, pakaian ulama dan upacara keagamaan.
Pakaian dalam Upacara Perkawinan
Bentuk pakaian Melayu pesisir, kepulauan, dan daratan Riau tidaklah  berbeda terlalu jauh. Untuk upacara perkawinan ini pakaian yang dikenakan oleh pengantin lelaki dan perempuan daerah pesisir, kepulauan dan daratan ini ditentukan oleh prosesi pernikahan. Misalnya pakaian yang dikenakan untuk akad nikah berbeda dengan pakaian yang dikenakan padamalam berinai, pada hari besar, dan seterusnya.
Umumnya untuk pakaian mempelai lelaki bentuk bajunya adalah baju cekak musang atau baju kurung teluk belanga. Kecuali daerah Lima Koto Kampar baju pengantin lelakinya berbentuk jubah.
Sedangkan untuk perempuan, pada acara malam berinai memakai kebaya labuh atau memakai baju kurung teluk belanga dari bahan tenunan, sutra, saten, atau borkat. Sedangkan kain yang dipakai tenunan dari Siak, Indragiri, Daik, atau Trenggan
PakaiandalamUpacaraKeagamaan
Dalam upacara keagamaan bagi lelaki tua dan muda mengena kaian pakaian berbentuk cekak musang atau baju kurung teluk belanga, pakai songkok, kain samping dari kain pelekat atau kain tenunan. Sistem pemakaian baju ada dua macam, yaitu baju dagang dalam dan baju dagang luar.
c)      SENJATA TRADISIONAL

Lumbuk Lada



Tumbuk Lada ialah sejenis senjata Melayu tradisional dari daerah Riau dan Semenanjung Tanah Melayu. Bentuk bilah senjata ini seakan badik dari Sulawesi, tetapi bentuk sarungnya berbeza. Pada pangkal sarung Tumbuk Lada terdapat bonjolan bundar yang selalunya dihias dengan ukiran yang dipahat. Sarung senjata ini selalunya dilapis dengan kepingan perak yang diukir dengan pola-pola rumit.
Senjata ini tergolong dalam jenis senjata pendek engan mata pada sebelah bilah sahaja dan boleh diguna secara tunggal ataupun sepasang. Panjang bilah tumbuk lada sekitar 27 cm hingga 29 cm. Lebar bilahnya sekitar 3.5 cm hingga 4 cm. Dari tengah bilah sampai ke pangkalnya terdapat alur yang dalam. Selain keris, Tumbuk Lada pada zaman dulu juga menjadi salah satu kelengkapan pakaian adat di Kepulauan Riau, Deli, Siak dan Semenanjung Tanah Melayu.
Tumbuk Lada digunakan secara menikam, menghiris dan menjajah dalam pertempuran jarak dekat. Ia boleh dipegang dengan dua jenis genggaman iaitu dengan mata keatas ataupun mata ke bawah. Seorang yang ahli dalam permainan tumbuk lada akan menukar genggaman senjata ini bagi mengelirukan musuh
d)     KESENIAN
·         Tari Melemang
Tari Melemang konon telah ada sejak zaman Kerajaan Bentan. Ini artinya tarian tersebut sudah dikenal sejak abad ke-12. Konon pada waktu itu, Melemang bukan termasuk tarian konsumsi rakyat, tetapi tarian istana. Para penarinyapun bukan berasal dari rakyat biasa, tetapi para dayang yang berasal dari sekitar istana, termasuk daerah yang disebut Tanjung Pisau Penaga. Tarian ini dipersembahkan ketika sang raja sedang beristirahat.
Setiap pementasan para penari mempertunjukkan kecakapannya dengan mengambil suatu benda ( seperti sapu tangan, uang receh, dan lain sebagainya ) dengan cara melemang ( berdiri sambil membungkukkan badan kearah belakang ). Oleh karena itu, tarian ini disebut dengan melemang. 
Sesuai dengan tujuannya yang tidak lain untuk menghibur sang Raja, maka kesenian yang memadukan unsure tari, music dan nyanyi ini mengisahkan tentang kehidupan sang Raja di sebuah kerajaan. Oleh karena itu ada yang berperan sebagai Raja, Permaisuri, Puteri, dayang-dayang, dan lain sebagainya.
Kerajaan Bentan memang sudah lama runtuh, namun demikian tarian yang pernah hidup dizamannya bukan berarti terkubur bersamanya. Tarian tersebut kini tetap bertahan di daerah Tanjung pisau Penaga (Bintan) dan malahan menyebar ke Daik Lingga. Dengan kata lain, tarian yang pada mulanya hanya berada di lingkungan istana ini, dewasa ini telah menjadi milik rakyat kebanyakan, dengan durasi pementasan sekitar satu jam.
Sebuah pementasan yang lengkap sekurang-kurangnya melibatkan 14 orang, yakni : seorang yang berperan sebagai raja, seorang yang berperan sebagai permaisuri, seorang yang berperan sebagai putrid, empat orang pemusik, seorang penyanyi dan enam orang penari, keempat pemusik itu adalah pemain kodian (akordion), pemukul gong, pemain biola, dan penabuh tambour. Sedangkan kostum yang dipakai adalah teluk belangan dan baju kurung yang sesuai dengan perannya.
·         Tari Tanggai
Tari tanggai dibawakan untuk menyambut tamu-tamu resmi atau dalam acara pernikahan. Umumnya tari ini dibawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang, dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga. Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai dengan busana khas daerah. Tarian ini menggambarkan masyarakat Palembang yang ramah dan menghormati, menghargai serta menyayangi tamu yang berkunjung ke daerahnya.
·         Tari Gending Sriwijaya
Tari ini ditampilkan secara khusus untuk menyambut tamu-tamu agung seperti Kepala Negara, Duta Besar, dan sebagainya. Tari Gending Sriwijaya hampir sama dengan Tari Tanggai. Perbedaannya terletak pada penggunaan tari jumlah penari dan perlengkapan busana yang dipakai. Penari Gending Sriwijaya seluruhnya berjumlah 13 orang terdiri dari :
         Satu orang penari utama pembawa tepak (tepak, kapur, sirih)
         Dua orang penari pembawa peridon (perlengkapan tepak)
         Enam orang penari pendamping (tiga dikanan dan tiga kiri)
         Satu orang pembawa payung kebesaran (dibawa oleh pria)
         Satu orang penyanyi Gending Sriwijaya
         Dua orang pembawa tombak (pria)
·         Tari Madik (Nindai)
Salah satu tarian untuk memilih calon menantu khas Sumatera Selatan. asyarakat Palembang mempunyai kebiasaan apabila akan memilih calon menantu. Sang orangtua pria terlebih dahulu datang ke rumah seorang wanita dengan maksud melihat dan menilai (madik dan nindai) gadis yang dimaksud. Hal yang dinilai atau ditindai itu, antara lain kepribadiannya serta kehidupan keluarganya sehari-hari. Dengan penindaian itu diharapkan bahwa apabila si gadis dijadikan menantu dia tidak akan mengecewakan dan kehidupan mereka akan berjalan langgeng sesuai dengan harapan pihak keluarga mempelai pria.
·         Tari Mejeng Besuko
Salah satu tarian khas untuk muda-mudi Sumatera Selatan. Tari ini melukiskan kesukariaan para remaja dalam suatu pertemuan. Mereka bersenda gurau mengambil hati lawan jenisnya. Bahkan tidak jarang di antara mereka ada yang jatuh hati dan menemukan jodohnya melalui pertemuan seperti ini.
·         Tari Rodat Cempako
Tarian rakyat khas Sumatera Selatan. Tari ini merupakan tari rakyat bernafaskan Islam. Gerak dasar tari ini diambil dari Timur Tengah. Tari Rodat Cempako sangat dinamis dan lincah.
·         Tari Tenun Songket
Para penarinya umumnya adalah para wanita. Tari ini menggambarkan kegiatan remaja putri khususnya dan para ibu rumah tangga di Palembang pada umumya yang sedang memanfaatkan waktu luang dengan menenun songket.
·         Lagu Daerah - Soleram

Soleram
Soleram
Soleram
Anak yang manis
Anak manis janganlah dicium sayang
Kalau dicium merah lah pipinya
Satu dua Tiga dan empat
Lima enam Tujuh delapan
Kalau tuan dapat kawan baru sayang
Kawan lama ditinggalkan jangan

e)      ADAT ISTIADAT
·         Upacara Bakar Tongkang
Pada tanggal 16 bulan 5 penanggalan imlek, di Bagansiapiapi  setiap tahunnya dilaksanakan upacara tradisional masyarakat keturunan Tong Hoa yang disebut Go Ge Lak, atau yang lazim dikenal dikalangan masyarakat melayu dengan upacara Bakar Tongkang. Upacara bakar Tongkang ini adalah upacara pemujaan terhadap dewa laut atau dewa Kie Ong Ya yang menguasai lautan menurut kepercayaan orang Tiong Hoa.
·         Perayaan Imlek di Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti
Perayaan Hari Raya Imlek adalah tradisi pergantian tahun baru,Imlek tak ubahnya seperti tahun baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat islam. Imlek adalah Tahun Baru Cina. Namun bagi umat lain yang beraliran sama juga bisa merayakan Hari Raya Imlek.Acara Perayaan Imlek memang sudah menjadi bagian dari tradisi di Kota Selatpanjang. Hampir setiap tahun perayaan Imlek di kota ini dirayakan sangat meriah bahkan juga termasuk Perayaan Imlek yang paling meriah di kawasan Provinsi Riau. Apalagi pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti juga sudah menjadikan ivent perayaan Imlek sebagai salah satu asset wisata tahunan yang masuk kedalam Kalender Wisata Riau. Puluhan ribu orang baik dari dalam maupun luar Selatpanjang, bahkan wisatawan dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, China, Taiwan, Australia akan membanjiri Kota Selatpanjang untuk turut serta memeriahkan perayaan Imlek. Imlek bagi sejumlah warga Tionghoa Selatpanjang yang berada di luar daerah maupun di luar negeri, dijadikan ajang tradisi pulang kampung. Hal ini sudah berlangsung lama, bahkan mereka anggap sebagai momentum penting untuk mudik ke tanah kelahiran. Walaupun puncak acara Perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang berlangsung pada hari ke-6 bulan pertama Tahun Baru Imlek yang biasanya disebut Cue Lak (Bahasa Hokkian),tetapi kemeriahannya mulai terasa dihari H-7 yaitu seminggu sebelum jatuhnya perayaan Imlek.
Penyambutan tahun baru imlek di Selatpanjang di pusatkan di Vihara Sejahtera Sakti. Selain melakukan sembahyang, yang paling unik di daerah ini adalah warga yang merayakan juga berkeliling kota pada waktu sore hari dengan mengunakan Bentor (Becak Motor). Kegiatan ini biasanya berlansung selama 6 hari. Sebelum puncak acara Imlek, biasa diawali dengan Festival Kembang Api pada hari Ke-5. Durasi kembang api bisa berlangsung cukup lama, kurang lebih bisa mencapai 3 jam.
Pada puncak perayaan Imlek, bertepatan dengan dilangsungkannya upacara ulang tahun dewa Qing Shui Zu Shi. Pada momen ini, warga Tionghoa menyakini bahwa sang dewa sedang turun ke bumi dengan maksud untuk mengusir unsur-unsur kejahatan dan memberikan kemakmuran serta ketentraman bagi warga kota Selatpanjang. Untuk itu diadakan penyambutan khusus dengan menggotong tandu patung dewa dan diarak berkeliling kota melewati beberapa kelenteng lain disertai atraksi tarian liong (naga), dan barongsai (singa) yang diiringi seni budaya Jawa, Reog Ponorogo. Perayaan Cue Lak tersebut juga dihadiri oleh para tetua atau orang yang terpilih dan dirasuki oleh roh para dewa yang biasa disebut Thangkie, yaitu dimana raga atau tubuh orang tersebut dijadikan alat komunikasi atau perantara roh dewa. Budaya ini memiliki kesamaan dengan masyarakat Singkawang (Kalimantan Barat) yang biasa dikenal dengan Tatung.
Konon perayaan Imlek di Selatpanjang dapat juga diartikan sebagai sebuah rezeki bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah ini. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat yang non-etnis Tionghoa biasanya juga turut ikut meramaikan perayaan Imlek dengan iring-iringan Reog Ponorogo dan atraksi kesenian lain yang merupakan tradisi dari daerah setempat. Kota ini juga merupakan salah satu kota di kawasan Riau yang mempunyai Kelenteng cukup banyak, yakni sekitar 20-an.
·         Upa- upa secara bahasa adalah pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa- upa agar memperoleh kebaikan.[1]tradisi upa- upa sudah ada sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu turun- temurun hingga sampai kepada mereka sekarang. Dahulu upa- upa dilaksanakan pada saat pengangkatan raja untuk dijadikan pemimpin atau pengangkatan pemimpin- pemimpin di bawah raja dan pemberian gelar pada bangsawan, pemuka adat, pemuka agama maupun orang- orang yang dihormati.Upa-upa menurut suku Batak Rokan adalah semacam tradisi mendoakan untuk hal-hal yang baik, Saat ini tradisi dan budaya asli suku Batak Rokan, berada di antara budaya mayoritas Melayu dan Minangkabau, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi tradisi dan budaya asli suku Batak Rokan. Sebagian besar suku Batak Rokan menganut agama Islam. Dan pejuang muslim mereka yang terkenal adalah Tuanku Tambusai, yang bermarga Harahap. Mungkin saja beliau berasal dari Tapanuli Selatan, karena dilihat dari marganya saja marga mandailing.
Ada beberapa macam upa- upa:
1.      Upa- upa
Biasanya dilakukan pada waktu pelaksanaan hajatan secara umum.
2.      Mangupa
Mangupa/ Upah- upa Margondang dilakukan pada selamatan di saat seseorang anak laki- laki dari yang punya hajat mendapatkan suatu pekerjaan.
3.      Upa- upa Tondi
Upa- upa tondi biasanya dilaksanakan bila ada seseorang dari kalangan mereka mendapat kecelakaan, upa- upa yang dimaksud di sini guna menjemput kembali semangat orang tersebut yang pudar pasca kecelakaan. Pada umumnya orang yang kecelakaan itu sering jera dan kurang mempunyai semangat hidup.
Ada beberapa waktu pelaksanaan upa- upa:
1.      Pernikahan
2.      Naik haji
3.      Selamatan
4.      Wisuda
Praktik pelaksanaan upa- upa pernikahan
Walimahan pernikahan bagi kalangan suku mandailing di mulai dari tempat mempelai wanita. Pada hari H pernikahan, sekitar pagi sebelum kedua mempelai bersanding di pelaminan, mempelai pria beserta keluarga dianjurkan singgah ke topotan kahanggi mempelai wanita yakni rumah persinggahan sebelum ke pelaminan. Setelah itu barulah boleh kedua mempelai bersanding di pelaminan. Kemudian dari pelaminan sembari menunggu para undangan, setelah selesai, sekitar jam lima sore di adakanlah markobar yaitu pemberian nasihat oleh orang tua atau mewakili dari masing- masing mempelai. Selepas dari itu barulah beberapa waktu kemudian di musyawarahkan kapan dilaksanakan walimahannya di tempat mempelai pria.
Peralatan dan Bahan- bahan
Bahan yang digunakan untuk menyusun perangkat upa- upa beragam, tergantung pada factor daerah, adat dan orang yang menyusun dan menyampaikan hajat tersebut. Kadang- kadang upa- upa yang dilaksanakan yang sama dengan maksud dan pelaksanaan upa- upa yang sama, tapi bahan yang disajikan berbeda. (Effendi et, al, 2008). Hal itu pun tergantung juga pada kesanggupan yang punya hajat.
Adapun bahan- bahannya:
·         Ayam panggang
·         Hati ayam yang dipanggang
·         Telur ayam rebus yang sudah dikupas
·         Udang rebus atau goring
·         Nasi pulut kunyit
·         Sayur- mayur
·         Gulai kepala kambing
·         Bagian tubuh kambing yang dapat dimakan selain kepala
·         Gulai kepala kerbau
·         Bagian tubuh kerbau yang dapat dimakan selain kepala
Tata Laksana
1.      Semua hadirin umumnya duduk membentuk sebuah lingkaran, dan yang diupa- upakan duduk ditengah dengan keadaan bersila. Biasanya upa- upa diadakan di rumah atau balai- balai.
2.      Bahan upa- upa yang telah dipersiapkan diletakkan di depan orang yang akan di upa- upa.
3.      Pembukaan oleh protokol
4.      Berikutnya adalah acara inti, yang punya hajat mengupa- upakan orang yang di upa- upa dengan cara membacakan kalimat upa- upa, biasanya kalimat tersebut berupa do’a kebaikan dan keselamatan terhadap yang di upa- upakan, menghadapkan bahan upa- upa berupa makanan kepada orang yang di upa- upa.
  Aspek Nilai
1.      Nilai nasihat
2.      Nilai do’a
3.      Mempererat silaturrahim
4.      Memupuk rasa syukur
5.      Pengembalian dan elaborasi spirit

f)       MAKANAN TRADISIONAL
Gulai Belacan
Gulai Belacan salah satu masakan khas dari Riau, gulai ini dibuat dengan kuah campuran belacan atau terasi. Bahannya biasanya memakai udang atau ikan.
g)      KERAJINAN
·         Sewet Tajung
Sewet Tajung adalah salah satu kain khas daerah Sumatera Selatan. : Kain khas Sumatera Selatan yang bernama Sewet Tajung ini terdiri atas 2 macam, yaitu yang khusus dipakai oleh wanita, disebut Sewet Tajung Belongsong, sedangkan kain sewet tajung yang dipakai kaum pria disebut Sewet Tajung Gebeng. Selain itu ada lagi yang disebut dengan Tajung Rumpak atau Tajung Bumpak. Sewet Tajung dalam pembuatannya sebagian memakai benang emas.
Macam-macam Sewet Tajung adalah:
• Limar,
• Limar Patut,
• Petak-petak berwarna (merah, kuning, biru, abu-abu dan lain sebagainya),
• Gerbik,
• Belongsong (khusus wanita).
·         Sewet Songket
Sewet Songket adalah kain yang biasanya dililitkan/dipakai di bagian bawah pakaian wanita Palembang. Biasanya kain sewet ini berpasangan dengan kemben atau selendang. Sewet songket ini berbahan benang khas songket Palembang. Ciri khas songket Palembang terletak pada kehalusan dan keanggunannya sangat menonjol serta motifnya tidak sama dengan motif kain songket daerah lain. Karena halus dan sangat indah, harganya cukup mahal. Kain sewet ini biasanya dipakai pada waktu khusus saja, misalnya pada saat perayaan perkawinan. Pakaian songket lengkap yang dikenakan oleh pengantin, biasanya dengan Aesan Gede (Kebesaran) Aesan Pengganggon (Paksangko) Aesan. Selendang Mantri Aesan Gandek (Gandik), dan sebagainya.
Macam-macam Kain Songket:
• Songket benang mas Lepus dan warna-warni,
• Songket benang mas Lepus Biasa,
• Songket benang mas Lepus Jando Beraes (Hijau,merah dan Kuning),
• Songket benang Jando Penganten (Hijau dan Merah),
• Songket benang emas Bungo Inten,
• Songket benang emas Tretes Midar atau Bidar,
• Songket benang emas pulir Biru,
 • Songket emas Kembang Siku Hijau
• Songket benang emas Bungo Cino,
• Songket benang Pacik,
• Songket benang emas Cukitan.
·         Sewet Peradan
Salah satu jenis kain sewet khas Sumatera Selatan. Sewet Peradan disebut juga Sewet Prada adalah kain yang sudah jadi kemudian diberi motif dengan cat emas yang khusus untuk kain (disebut juga dengan istilah diprada). Biasanya kain yang diprada adalah kain yang bagus, baik bahan maupun motifnya.
·         Sewet Pelangi dan Jumputan
Merupakan salah satu jenis kain tradisional masyarakat Sumater Selatan.
Bahan kain ini dari benang sutera serta cat khusus yang tidak luntur. Pembuatannya tetap secara tradisional. Sewet pelangi permukaannya licin dan halus serta bisa dikepal dengan tangan. Sedangkan kain atau sewet Jumputan itu bermotif jumputan yang didapat pada saat proses pewarnaan kain.
h)      SUKU / ETNIS
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau (11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), dan Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak, Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan sebagian Inderagiri Hulu. Juga masyarakat Mandailing di Rokan Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai Minangkabau ataupun Batak.
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir khususnya Tembilahan. Di bukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu nasib di Riau. Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan Dumai. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan bermukim pada kawasan perkotaan, serta banyak juga terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Selain itu di provinsi ini masih terdapat sekumpulan masyarakat asli yang tinggal di pedalaman dan pinggir sungai, seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
i)        BAHASA DAERAH
Bahasa pengantar masyarakat provinsi Riau pada umumnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu umumnya digunakan di daerah-daerah pesisir seperti Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan di sekitar pulau-pulau. Bahasa Melayu dialek lokal secara luas juga digunakan oleh penduduk di provinsi ini, terutama oleh para oleh penduduk asli di daerah Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu yang berbudaya serumpun Minang serta para pendatang asal Sumatera Barat. Selain itu Bahasa Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Keturunan Tionghoa, terutama yang bermukim di daerah seperti Selatpanjang, Bengkalis, dan Bagansiapiapi[rujukan?]. Dalam skala yang cukup besar juga didapati penutur Bahasa Jawa yang digunakan oleh keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim di Riau sejak masa penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari Pulau Jawa pada masa setelah kemerdekaan. Di samping itu juga banyak penutur Bahasa Batak di kalangan pendatang dari Provinsi Sumatera Utara.
5. PROVINSI JAMBI
Jambi adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di pesisir timur di bagian tengah Pulau Sumatera. Jambi adalah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang ibukotanya bernama sama dengan nama provinsinya, selain Bengkulu dan Gorontalo. Jambi merupakan tempat berasalnya Bangsa Melayu yaitu dari Kerajaan Malayu di Batang Hari Jambi. Bahasa Melayu Jambi sama seperti Melayu Palembang dan Melayu Bengkulu, yaitu berdialek "o".
Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°-104,55° Bujur Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, sebelah Timur dengan Selat Berhala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini.
Luas Provinsi Jambi 53.435 km2 dengan jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2010 berjumlah 3.088.618 jiwa (Data BPS hasil sensus 2010) . Jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2006 berjumlah 2.683.289 jiwa (Data SUPAS Proyeksi dari BPS Provinsi Jambi. Jumlah Penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2005 sebesar 2.657.536 (data SUSENAS) atau dengan tingkat kepadatan 50,22 jiwa/km2. Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,96% dengan PDRB per kapita Rp9.523.752,00 (Angka sementara dari BPS Provinsi jambi. Untuk tahun 2005, PDRB per kapita sebesar Rp8.462.353). Sedangkan sebanyak 46,88% dari jumlah tenaga kerja Provinsi Jambi bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan; 21,58% pada sektor perdagangan dan 12,58% pada sektor jasa. Dengan kondisi ketenagakerjaan yang sebagian besar masyarakat di provinsi ini sangat tergantung pada hasil pertanian,perkebunan sehingga menjadikan upaya pemerintah daerah maupun pusat untuk mensejahterakan masyarakat adalah melalui pengembangan sektor pertanian
Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi, yakni Suku Melayu yang menjadi mayoritas di Provinsi Jambi. Selain itu juga ada Suku Kerinci di daerah Kerinci dan sekitarnya yang berbahasa dan berbudaya mirip Minangkabau. Secara sejarah dan budaya merupakan bagian dari varian Rumpun Minangkabau. Juga ada suku-suku asli pedalaman yang masih primitif yakni Suku Kubu dan Suku Anak Dalam. Adat dan budaya mereka dekat dengan budaya Minangkabau. Selain itu juga ada pendatang yang berasal dari Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Cina, India dan lain-lain.
Sebagian besar masyarakat Jambi memeluk agama Islam, yaitu sebesar 90%, sedangkan sisanya merupakan pemeluk agama Kristen, Buddha, Hindu dan Konghuchu.
a)      SENI ARSITEKTUR
Rumah Kajang Lako
Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.
Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.
Pada awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok asal yang membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana dibangun memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan. Di belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.
Pada umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di ladang maupun di sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan, mendulang emas, dan mencari ikan di sungai.
Bentuk Rumah
Rumah tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.
Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.
Bubungan/atap biasa juga disebut dengan 'gajah mabuk,' diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.
Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.
Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan. Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan. Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.
Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.
Susunan dan Fungsi Ruangan
Kajang Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.
Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan. Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.

Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita. Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.
Selanjutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung sebelah kanan bangunan menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap sebagai ruang utama. Ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruang balik melintang adalah 2x9 m, sama dengan ruang gaho.Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang disebut penteh. Ruangan ini berada di atas bangunan, dipergunakan untuk menyimpan barang. Selain ruang atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya.
Ragam Hias
Bangunan rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam hias yang berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora (tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatang). Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain adalah motif bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk. Motif bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk manggis juga di depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar rasuk (belandar) dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat berwarna.
Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk bangunan dan sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan. Adapun motif fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan. Ragam hias yang berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho serta balik melintang.
b)      PAKAIAN ADAT
Untuk pemakaian berbusana kesehariannya pada awalnya di Jambi ini cuma dikenal kain serta baju tanpa lengan. Tapi akibat adanya proses akulturasi darai berbagai macam kebudayaan, baju sehari-hari telah mengalami pekembangan menjadi baju kurung serta tambahan selendang untuk menutupi bagian kepala buat kaum wanita Jambi.
Sementara buat kaum pria Jambi akan memakai celana setengah ruas yang modelnya melebar di bagian betisnya dan biasanya pakaian ini berwarna hitam. Dengan model melebar pada bagian betis ini agar leluasa dalam begerak dan tak akan menggangu selama melakukan kegiatan sehari-hari. Pakaian sehari-hari untuk pria Jambi ini juga dilengkapi dengan memakai kopiah untuk menutupi kepala.
Jika suatu saat Anda berkunjung ke Jambi, Mungkin Anda akan lebih mengenal lebih dekat tentang budaya Jambi dalam hal berpakaian, dan tentu saja ini menjadi kekayaan adat dan budaya Indonesia bahwa ada beragam jenis Pakaian Tradisional Indonesia di setiap provinsi. Tidak cuma budayanya saja yang menarik, Tempat Wisata Di Jambi juga patut Anda kunjungi untuk agenda perjalanan liburan Anda. Berikut ini nama pakaian adat Jambi.
·         Pakaian Adat Pria Jambi
Untuk kaum Laki-laki yang berada di suku Melayu Jambi, dalam berpakaian adatnya kaum pria Jambi mengenakan lacak pada kepalanya. Lacak sebagai penutup kepala ini di buat dari bahan kain beludru yang warna merah pada bagian dalamnya diberi kertas tebal yang di maksudkan agar menjadikannya keras.
Baju Adat kau pria Jambi dinamakan baju kurung tanggung yang berlengan panjang. Alasan mengapa disebut tanggung, karena ukuran panjangnya cuma sedikit di bawah siku lengan dan tidak sampai pada pergelangan tangan. Maknanya adalah seseorang pria harus tangkas dan cekatan ketika mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan.
·         Pakaian Adat Wanita Jambi
Sedangkan untuk pakaian adat kaum perempuan yang ada di Jambi, berupa kain sarung songket dan selendang songket yang berwarna merah. Sementara nama baju adat untuk wanita Jambi ini di namakan dengan baju kurung tanggung bersulam benang emas. Baju tersebut bermotif hiasan bunga melati, kembang tagapo, dan pucuk rebung.
Sementara untuk penutup bagian kepalanya dinamakan dengan pesangkon dan terbuat dari bahan kain beludru berwarna merah dan pada bagian dalamnya diberi tambahan kertas karton agar keras. Kelengkapan pakaian adat Jambi untuk kaum perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan pakaian adat untuk kaum pria Jambi.
Kalau untuk kaum perempuan Jambi dikenakan anting-anting yang bermotif kupu-kupu atau gelang banjar. Juka ada perlengkapan lainya yaitu kalung. Kalung untuk kelengkapan pakaian adat kaum wanita Jambi terdiri dari tiga macam, yaitu kalung tapak, kalung jayo atau di sebut dengan kalung bertingkat serta kalung rantai sembilan.
c)      SENJATA TRADISIONAL
Keempat senjata masyarakat Jambi itu adalah:
1. Badik Tumbuk Lada
Tumbuk Lada
Senjata adat ini berbentuk menyerupai badik milik masyarakat bugis, namun memiliki gagang yang lurus, hampir juga menyerupai keris hanya tidak bergelombang. Selain untuk berburu senjata ini juga dipergunakan untuk berperang. Proses pembuatannya menyerupai keris atau badik
2. Sumpit
Sumpit suku kubu
 Selain badik tumbuk lada, masyarakat suku jambi juga menggunakan sumpit untuk berburu. Selain suku yang ada di Jambi, sumpit juga digunakan oleh masyarakat suku dayak, papua dan baduy dalam. Untuk mengetahui sumpit lebih dalam silahkan taut ke sini
3. Tombak
Tombak
Senjata adat ini hampir semua masyarakat suku di Indonesia memiliki alat ini, karena senjata ini lebih memudahkan perburuan, tinggal dilempar saja dan ujungnya yang dipasang semacam belati akan memberikan beban dan tombak pasti bergerak lurus. Selain untuk berburu senjata adat ini juga pernah dipakai untuk berperang.
4. Pedang
 Pedang
Bentuknya menyerupai mandau dan parang hanya saja pada kedua sisi pisau memiliki ketajaman yang sama dan ujungnya dibuat tajam. Pedang lebih sering digunakan untuk berperang dibanding untuk berburu

d)     KESENIAN
·         Tari Sekapur Sirih
Tari Sekapur Sirih, Merupakan tarian selamat datang kepada tamu-tamu besar di Provinsi Jambi. Tari ini menggambarkan ungkapan rasa putih hati masyarakat dalam menyambut para tamu.
Sekapur Sirih biasanya ditarikan oleh 9 orang penari perempuan, 3 orang penari laki-laki, 1 orang yang bertugas membawa payung serta 2 orang pengawal. Properti yang digunakan adalah cerano atau wadah yang berisikan lembaran daun sirih, payung, keris. Tarian ini memakai pakaian baju kurung atau adat Jambi serta diiringi musik langgam melayu dengan alat musik yang terdiri dari biola, gambus, akordion, rebana, gong dan gendang.
·         Tari Kipas Parentak
Tari Kipas Parentak merupakan salah satu jenis tari kipas yangberkembang di Jambi. Bentuk tari Kipas Parentak adalah tari kelompok putri. Penyajian tari Kipas Parentak dapat memberikan motivasi dan semangat kepada masyarakat. Tari Kipas Parentak juga berfungsi memberikan hiburan bagi kalangan anak muda.
Tari Kipas Parentak menggambarkan kegiatan bergotong royong dalam menanam padi. Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan cara memanen padi dan istirahat sebagai tarian pelepas lelah.
Pakaian yang dikeakan oleh penari Kipas Parentak adalah kain khas Jambi, baju beludru (warna merah, warna hitam atau warna ungu), dan rompi kain songket. Para penari Kipas Parentak menggunakan aksesoris berupa gelang berduri, subang ditelinga, dan ikat pinggang. Perlengkapan tari yang dipakai adalah kipas.
·         Tari Dana Sarah
Tari ini berasal dari pelayangan, yang sudah dimodifikasi yang berasal dari Seberang Kota Jambi. Penciptanya tidak dikenal dan ditata ulang oleh Abdul Aziz pada tahun 1984. Tari ini digunkan sebagai sarana dalam penyebaran agama islam, yang ditarikan oleh penari putra dan putri.
·         Tari Serengkuh Dayung
Tari ni penciptanya tidak diketahui, namun telah ditata ulang oleh Aini Rozak pada tahun 1990. tarian ini menggambarkan tentang perasaan searah setujuan, kebersamaan di dalam segala sesuatunya, dan ditarikan hanya oleh penari putri.
·           kelintang kayu
merupakan alat musik pukul khas Provinsi Jambi yang terbuat dari kayu. Dalam memainkannya beriringan dengan alat musik talempong, gendang dan akordion. Pada zaman jayanya alat musik ini dimainkan untuk kalangan bangsawan. Dalam pertunjukannya didendangkan syair lagu-lagu betuah dan tarian khas Jambi.
·         Hadrah
Merupakan jenis kesenian jambi yang bernuansa islami, kesenian ini mengunakan terbang atau rebana sebagai alat musiknya. Alat-alat tersebut ditabuh dan disertai nyanyian dalam bahasa Arab, hadrah sering digunakan untuk mengiringi pengantin pria, menyambut tamu dan acara-acara agama islam.
·         Dul muluk
Merupakan seni teater yang berkembang di kota Jambi dan Batanghari. Kesenian ini sudah jarang ditampilkan. Sumber cerita berasal dari sahibul hikayat, satu kekhasan dari pertunjukan ini adalah pada bagian tengah pangung ditempatkan satu meja.
Para pelakon beradegan setelah pelakon berdialog atau bernyanyi, mereka memukul meja dengan mengunakan sebatang tongkat seiring irama musik. Pada bagian tertentu ada tarian yang mengikutsertakan penonton sehinga membuat suasana semakin meriah.
·         Krinok
Adalah pepatah petitih yang isinya berupa pantun nasehat,agama, kasih sayang kepahlawanan dan lain-lain. Dibawakan oleh seseorang dengan cara bersenandung, sedangkan musiknya pada awalnya hanya mengunakan vocal yang dilakukan oleh si pengkrinok (orang yang bersenandung). Oleh masyarakat petani ladang/petani sawah yang umumnya berdomisili di daerah dataran rendah,kesenian rakyat (musik krinok) ini biasanya dilakukan setelah mereka usai menjalankan aktivitas pertaniannya. Dimaksudkan untuk mengatasi kejenuhan, pelepas lelah atau sebagai pelipur lara. Disamping itu sering juga dilaksanakan pada saat menunggu hasil panen, sambil menjaga tanaman mereka dari serangan burung, tikus, babi, dan lain-lain. Bila sudah tiba saatnya panen biasanya pada malam harinya mereka mengadakan pertemuan di suatu tempat yang telah ditentukan untuk melangsungkan acara krinok-an. Acara ini akan dihadiri oleh ibu-ibu dengan membawa anak gadisnya, juga dihadiri oleh sejumlah anak-anak bujang, selama acara berlangsung, bujang/gadis saling melempar pantun. Pantun-pantun tersebut diungkapkan secara bersenandung yang disebut krinok. Tradisi semacam ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyakat setempat, seperti yang penuh diamati di Dusun Rantau Pandan yang jaraknya lebih kurang 40 km dari pusat kota Muoro Bungo.
e)      ADAT ISTIADAT
·         Upacara Lingkaran Hidup Manusia: Upacara-upacara ini dilakukan sejak seseorang dilahirkan sampai meninggal, dengan artian untuk memperingati saat-saat seseorang individu memasuki suatu tingkatan sepanjang hidupnya. Penyelenggaran upacara ini terutama pada masa kehamilan, kelahiran, dewasa, perkawinan, dan kematian.
·         Upacara Kelahiran: Saat umur kandungan seorang wanita menginjak 7 bulan, keluarganya secara resmi memberitahukan hal ini paling tidak pada 2 orang dukun yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Upacara pemberitahuan ini disebut dengan istilah Menuak/Nuak, yang maksudnya agar dukun siap memberi pertolongan jika tiba saatnya melahirkan. Dalam upacara ini masing-masing dukun diberi hantaran berupa nasi kunyit beserta laukpauknya.
Ketika wanita hamilan tersebut menghadapi saat kelahiran, para dukun yang sudah dipesan segera datang memberi pertolongan. Dukun wanita bertugas menyambut kelahiran anak, sedangkan dukun laki-laki yang berada di balik pembatas ruangan tempat melahirkan membacakan mantra agar anak dapat lahir dengan lancar dan lengkap serta ibunya dalam keadaan selamat. Untuk menghindari pengaruh jahat saat melahirkan, disediakan benda-benda yang dianggap mengandung unsur-unsur magis seperti buah kundur, jimat yang terbuat dari untaian jeringo bangle, pisau kecil dan lain-lain.
Saat bayi berumur 7 hari, diadakan upacara mandi ke sungai (mandi kayik) dipimpin oleh dukun yang menolong melahirkan. Dalam upacara tersebut sekaligus diadakan prosesi pemberian nama kepada anak. Kemudian setelah bayi berumur 40 hari dilakukan upacara memoton rambut untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh para alim ulama dan Tua-tua tengganai. Selain itu diadakan pula upacara Basuh Tangan, acara tersebut diselenggarakan bersamaan saat sang ibu telah dalam keadaan bersih dan pulih kesehatannya pasca melahirkan. Tujuan dari upacara tersebut adalah sebagai permohonanan supaya sang anak dikaruniai sifat rajin, kuat, gemar bekerja, suka menolong, jujur, patuh, dan sifat-sifat baik lainnya.
·         Masa Dewasa: Setelah anak mencapai umur 6-10 tahun, khusus bagi anak laki-laki diadakan upacara khitanan (sunat), sedangkan bagi anak perempuan dilkukan upacara Batindik (melubangi telinga). Upacara pendewasaan tersebut biasanya dilakukan bersamaan dengan tradisi Khatam Quran sebagai bekal hidup dalam masa dewasa.
·         Upacara Perkawinan: Rangkaian upacara ini diawali dengan adat pergaulan anatara pemuda dan perempuan yang dikenal dengan itilah Berserambahan. Dalam acara ini mereka memperlihatkan keahlian berpantun yang disebut Seloka Muda, Setelah keduanya sepakat untuk menikah, maka berlaku tahap berikutnya:
1.      Berusik sirih bergurau pinang: Merupakan tahap menjajaki perasaan masing-masing pihak untuk mengetahui apakah hubungan dapat dilanjutkan dengan perkawinan.
2.      Duduk bertuik, tegak bertanyo: merupakan tahap untuk mengetahui keadaan gadis yang menyangkut silslah, budi pekerti, sopan santun pergaulan, serta kemungkinan persetujuan orangtuanya.
3.      Ikat buatan janji semayo: adalah musyawarah resmi keluarga kedua belah pihak untuk membicrakan waktu pertunangan dan perkawinan.
4.      Ulur antarserah terimo pusako: yaitu pihak laki-laki menepati janji dengan mengantarkan barang-barang ke rumah si gadis sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
5.      Sebagai inti dari suatu upacara pernikahan terjadi pada saat Sedekah Labuh, yang mana pada aat itu perkawinan diresmikan dengan akad nikah dan akad Kabul di hadapan seorang pemuka agama.
·         Upacara Kematian: Saat menghadapi masa kritis, manusia perlu melakukan suatu perbuatan untuk memperteguh iman dan menguatkan dirinya. Dalam hal ini, menurut kepercayaan setempat perlu diadakan upacara pengucapan mantra-mantra secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang dukun. Atau menurut agama Islam diwujudkan dalam bentuk pembacaan Bardah dan Surat Yasin oleh seorang pemuka agama. Begitu orang yang bersangkutan wafat, kembali dibacakan ayat-ayat suci oleh salah seorang keluarganya.
Keluarga yang terkena musibah wajib memberitahukan berita dukacita itu kepada kepala kaum kerabatnya (tua tengganai) dan Imam Masjid. Setelah itu jenazah dimandikan, dibalut kain kafan, dan disholatkan. Setelah itu jenazah bisa disemayamkan dan dipasang batu nian serta ditutup dengan pembacaan doa. Pada malam harinya diselenggarakan pengajian dan tahlil selama 3-7 malam oleh kerabat dan tetangga dekat orang yang meninggal. Pada hari ke-7 setelah kematian diadakan upacara Naik Tanah yaitu memperbaiki tanah perkuburan. Rangkaian upacara tersebut diakhiri dengan makan bersama (sedekah selamatan) untuk memperingati orang yang meninggal.
f)       MAKANAN TRADISIONAL
Gulai Ikan Patin
Gulai Ikan Patin adalah masakan yang populer di masyarakat Jambi.Gulai ini dimasak dengan menggunakan tempoyak yaitu daging buah durian yang telah difermentasi. Tetapi ada sebagian orang yang memilih untuk mengganti tempoyak dengan santan kelapa untuk menghindari bau dan rasa tempoyak yang cukup menyengat. Selain tempoyak bumbu lain yang digunakan dalam pembuatan Gulai Ikan Patin ini adalah cabe merah, lengkuas, serai, kunyit, bawang merah dan bawang putih
g)      KERAJINAN
·         Anyaman
anyaman yang berkembang dalam bentuk aneka ragam. Kerajinan anyaman di buat dari daun pandan, daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan, daun kelapa, daun nipah, dan daun rumbia. Hasil anyaman ini bermacam–macam, mulai dari bakul, sumpit, ambung, katang–katang, tikar, kajang, atap, ketupat, tudung saji, tudung kepala dan alat penangkap ikan yang disebut Sempirai, Pangilo, lukah dan sebagainya.
·         Tenun dan batik motif flora
Tenun dntenun yang sangat terkenal, yaitu tenunan dan batik motif flora. Batik biasa kita tau kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Namun sesungguhnya seni batik itu tak hanya berada di pulau Jawa saja, beberapa daerah di Sumatera pun juga memiliki seni batik tersendiri. Ini terbukti banyaknya hasil batik yang di hasilkan dari Jambi, baik buatan pabrik maupun produksi rumah tangga. Produk batik dapat berkembang hingga sampai pada suatu tingkatan yang membanggakan baik desain maupun prosesnya. Begitu pula dengan batik yang ada tumbuh dan berkembang di daerah Jambi.
Pada zaman dahulu batik Jambi hanya dipakai sebagai pakaian adat bagi kaum bangsawan/raja Melayu Jambi. Hal ini berawal pada tahun 1875, Haji Muhibat beserta keluarga datang dari Jawa Tengah untuk menetap di Jambi dan memperkenalkan pengolahan batik. Motif batik yang diterapkan pada waktu itu berupa motif – motif ragam hias seperti terlihat pada ukiran rumah adat Jambi dan pada pakaian pengantin, motif ini masih dalam jumlah yang terbatas. Penggunaan motif batik Jambi, pada dasarnya sejak dahulu tidak dikaitkan dengan pembagian kasta menurut adat, namun sebagai produk yang masih eksklusif pemakaiannya dan masih terbatas di lingkungan istana.
Dengan berkembangnya waktu, motif yang dipakai oleh para raja dan keluarganya saat ini tidak dilarang digunakan oleh rakyat biasa. Keadaan ini menambah pesatnya permintaan akan kain batik sehingga berkembanglah industri kecil rumah tangga yang mengelola batik secara sederhana.
Perkembangan batik sempat terputus beberapa tahun, dan pertengahan tahun 70-an ditemukan beberapa lembar batik kuno yang dimiliki oleh salah seorang pengusaha wanita “Ibu Ratu Mas Hadijah” dan dari sanalah batik Jambi mulai digalakkan kembali pengembangannya. Salah seorang ibu yang turut juga membantu perkembangan pembatikan di Jambi adalah Ibu Zainab dan Ibu Asmah yang mempunyai keterampilan membatik di Seberang Kota.
Pada mulanya pewarnaan batik Jambi masih menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan daerah Jambi, seperti :
1.      Kayu Sepang menghasilkan warna kuning kemerahan.
2.      Kayu Ramelang menghasilkan warna merah kecokelatan.
3.      Kayu Lambato menghasilkan warna kuning.
4.      Kayu Nilo menghasilkan warna biru.
Warna-warna tersebut merupakan warna tradisional batik Jambi, yang mempunyai daya pesona khas yang berbeda dari pewarna kimia.****
·         Ukir kayu betung
Merupakan kerajinan ukir kayu yang terdapat di Desa Betung. Kabupaten Batanghari. Para pengrajin memanfaatkan produk kayu hutan yang banyak terdapat di Jambi. Jenis kayu yang banyak dipakai sebagai bahan baku adalah rengas, meranti dan jelutung. Sebagian besar produknya untuk perabot rumah tangga seperti meja, kursi dan tempat tidur.
h)      SUKU / ETNIS

·      Suku Kubu

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan. Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam

·         Suku Batin

Suku Batin adalah suku Melayu di provinsi Jambi di bagian pedalaman pulau Sumatra, Indonesia.Ada sekitar 72.000 orang Batin yang tinggal di pedalaman Sumatra tengah bagian selatan. Mereka menuturkan bahasa Melayu dengan dialek Jambi.Suku Batin kebanyakan beragama Muslim, tetapi menganut sistem matrilineal.
i)        BAHASA DAERAH
Jambi adalah salah satu pemakai asli Bahasa Melayu. Hal ini dapat dihilat dari hasil penelitian kepurbakalaan dan sejarah, telah diketemukan piagam-piagam atau prasasti-prasasti yang diketemukan seperti prasasti karang birahi menggunakan pola struktur bahasa melayu yang lazim disebut Melayu Kuno.
Bahasa Jambi dalam arti kata bahasa-bahasa yang ada di Jambi, selain Bahasa Indonesia, pada dasarnya juga berasal dari bahasa Melayu yang telah mengalami perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan sesuai dengan pengaruh yang diterimanya dari bahasa-bahasa lain. Di lain pihak bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga berasal dari bahasa Melayu yang telah pula mengalami proses perkembangan dan perubahan sebab akibat dari masuknya anasir-anasir bahasa lain. Dengan demikian bahasa Jambi dan Bahasa Indonesia mempunyai dasar yang sama, ialah bahasa Melayu. Oleh karena itu tidaklah banyak perbedaan antara bahasa Jambi dengan bahasa Indonesia. Adapun perbedaan yang tampak jelas antara bahsa Jambi dengan bahasa Indonesia, pada umumnya merupakan pertukaran dan perbedaan bunyi yang manifestasinya tampak pada keragaman dialek yang ada dalam bahasa daerah Jambi.
Adapun bahasa yang dipergunakan sehari-hari di Propinsi Jambi dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Dalam Kabupaten Kerinci, dipergunakan bahasa Kerinci.
b.      Dalam Kabupaten Batanghari dipergunakan bahasa Melayu Jambi.
c.       Dalam Kabupaten Tanjung Jabung dipergunakan bahasa melayu Jambi, bahasa Bugis, dan bahasa Bajau.
d.      Dalam Kabupaten Sarolangun dipergunakan bahasa Melayu Jambi.
e.       Dalam Kabupaten Bungo Tebo dipergunkan bahasa Melayu Jambi.
f.       Dalam Kota madya Jambi dipergunakan bahasa Melayu Jambi, Bahasa Minangkabau dan Bahasa Palembang.
Dialek-dialek yang ada suatu aspek pemakain bahasa oleh setiap kelompok persukuan dalam sautu daerah, seringkali menunjukkan adanya perbedaan yang besar secara horizontal. Dalam bahasa Jawa misalnya, jelas ada perbedaa-perbedaan antara bahasa Jawa yang diucapkan di Purwokerto, dan Tegal, dan Kebumen, di Surakarta atau Surabaya. Begitu pula dengan bahasa Jambi yang diucapkan di Lingkungan daerah Kerinci berbeda dengan bahasa Jambi diucapkan di daerah Suku Anak Dalam (Kubu), atau di Lingkungan daerah Melayu Jambi dan sebagainya. Bahasa yang berbeda secara horizontal itulah yang kita sebut dengan istilah dialek.
Dialek-dialek yang dikenal di daerah Jambi dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam, yaitu: dialek Suku Anak Dalam, dialek Melayu Jambi, dialek Kerinci, dialek orang Batin, dialek Suku Pindah, Dialek orang-orang Penghulu, dan dialek Bajau.
Suku Anak Dalam, dalam berbahasa, Melayu Tua, mereka mengenal dan paseh menggunakan bunyi sengau atau ucapan ke pangkal lidah dan hidung.
Contoh:    Rumah =ghumah
Parang =Paghang
Kemari =Kemaii (diucapkan agak Paniang)
Dalam pembicaraan sehari-hari pada umumnya ucapan huruf dalam suatu kata atau perkataan berubah, misalnya huruf kedua (a) berubah menjadi (e)dan huruf terakhir kedua dari akhir (a) berubah menjadi (0).
Contoh :   Batang =Betong
Makan =Mekon
Berjalan =Bejelon
Kemana =Kemeno
Bapak =Bepok
Karena suku Anak Dalam tidak dapat menyebut huruf “r’ (er) maka huru ‘y’ (er) diganti dengan ‘gh’ atau ‘ik’ (yik) atau berubah sama sekali.
Contoh:    Air =Ayik
Sendiri =Dewek
Rokok =Ngudut
Di daerah Kotamadya Jambi, Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tanjung Jabung dipergunakan bahasa Melayu yang lazim disebut bahasa Melayu Jambi dengan dialeknya yang disebut dialek Melayu Jambi. Kata-kata yang berakhiran vocal “a’ dalam bahasa Indonesia menjadi “o” dalam bahasa Melayu Jambi.
Contoh :   Mata =Mato
Saya =Sayo
Lada =Lado
Rimba =Rimbo
Kita =Kito
Berapa =Berapo
Apa =Apo
Disamping itu ada beberapa kata yang tidak berubah dan merupakan pengecualian:
Contoh :   Sepeda =Sepeda (bukan Sepedo)
Bola =Bal (bukan Bolo)
Dialek Melayu Jambi dengan perubahan atau pertukaran bunyi seperti di atas tadi dipakai di daerah-daerah Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari dan di Muaro Tebo Kabupaten Bungo Tebo. Dialek Melayu itu hampir sama dengn Melayu Palembang. Oleh karena mungkin sekali dialek Melayu-Jambi mempengaruhi dialek Palembang.

Didaerah kabupten Tanjung Jabung, kata-kata yang berakhiran Vokal “a” berubah menjadi “e” dan dalam beberapa hal kata a berubah menjadi i.
Contoh:    Siapa =Siape
Apa =Ape
Ditilik dari segi bunyi dialek Melayu Jambi di Kabupaten Tanjung Jabung itu mirip benar dengan bahasa Malayu Riau atau Semenanjung Malaya/Malaysia.
Orang-orang Kerinci yang mendiami daerah Kabupaten Kerinci menggunakan bahasa Kerinci. Dalam bahasa Kerinci banyak sekali dialek-dialeknya. Setiap dusun atau Kampung mempunyai dialek tersendiri yang berbeda dengan dialek dusun atau kampung lain. Secara umum perubahan bunyi dalam bahasa Kerinci terletak pada suku akhir.
Contoh:    Tebu =Tebeu
Timun =Timaung
Jadi di dalam suku kata biasanya konsonsn “t” pada akhir kata berubah menjadi “K”.
Contoh:    Lalat =Lalak
Huruf “i” pad akhir suku kata berubah menjadi “oi”
Contoh:    Besi =Besoi
Padi =Padoi
Lagi =Agoi
Disamping itu kita jumpai juga perubahan huruf “u” pada akhri kata selalu diawali huruf “a” atau berubah menjadi “au”
Contoh:    Kutu =Kutau
Aku =Akau
Pada umumnya keragaman dialek orang Batin ditandai oleh adanya perubahan pada akhir suku kata (at) menjadi (ek).
Contoh :   Membuat =Mbuek
Darat =Darek
Tempat =Tempek
Dilain pihak dijumpai juga perubahan akhir suku kata, “as” menjadi “eh”.

Contoh:        Lepas =Lepeh
Lekas =Lekeh
Pedas =Pedeh
Panas =Paneh
Deras =Dereh
Dari contoh-contoh dialek orang Batin itu dapat disimpulkan bahwa dialek orang Batin agaknya menjadi pengaruh anasir dialek Mingkabau. Hal ini dapat dipahami karena daerah orang Batin sangat dengan daerah Minagkabau.
Sesuai dengan asal usul mereka, dialek suku Pindah adalah banyak dipengaruhi dialek suku Rawa, di mana kesamaannya nampak pada penggantian huruf vocal “a” pada akhir suku kata menjadi “e”.
Contoh:    Ada =Ade
Apa =Ape
Kemana =Kemane
Begitu pula beberapa dialek yang spesifik Rawas Juga merupakan dialek suku Pindah.
contoh:     Ini =Ikak
Air =Aya
Karena Faktor asa usul orang penghulu yang diperkirakan berhubungan erat dengan Minangkabau, maka dialek orang-orang Penghulu adalah kebanyakan memakai dialek Minangkabau yang bercampur dengan dialek Melayu Jambi.
6. PROVINSI SUMATERA SELATAN
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kep. Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam dan lain-lain. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut memengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes dan tempoyak.
Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China.
Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya.
a)      SENI ARSITEKTUR

Rumah Limas

Rumah Limas merupakan prototype rumah tradisional Palembang, selain ditandai denagn atapnya yang berbentuk limas, rumah limas ini memiliki ciri-ciri; - Atapnya berbentuk Limas - Badan rumah berdinding papan, dengan pembagian ruangan yang telah ditetapkan (standard) bertingkat-tingkat.(Kijing) - Keseluruhan atap dan dinding serta lantai rumah bertopang di atas tiang-tiang yang tertanam di tanah - Mempunyai ornamen dan ukiran yang menampilkan kharisma dan identitas rumah tersebut Kebanyakan rumah Limas luasnya mencapai 400 sampai 1.000 meter persegi atau lebih, yang didirikan di atas tiang-tiang kayu Onglen dan untuk rangka digunakan kayu tembesu Pengaruh Islam nampak pada ornamen maupun ukiran yang terdapat pada rumah limas. Simbas (Platy Cerium Coronarium) menjadi symbol utama dalam ukiran tersebut. Filosofi tempat tertinggi adalah suci dan terhormat terdapat pada arsitektur rumah limas.
Ruang utama dianggap terhormat adalh ruang gajah (bahasa kawi= balairung) terletak ditingkat teratas dan tepat di bawah atap limas yang di topang oleh Alang Sunan dan Sako Sunan.
Diruang gajah terdapat Amben (Balai/tempat Musyawarah) yang terletak tinggi dari ruang gajah (+/- 75 cm). Ruangan ini merupakan pusat dari Rumah Limas baik untuk adat, kehidupan serta dekorasi. sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang dihiasi sehingga show/etlege dari kekayaan pemiliki rumah.
Pangkeng (bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik dikanan maupun dikiri. Untuk memasuki bilik atau Pangkeng ini, kita harus melalui dampar (kotak) yang terletak di pintu yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Pada ruang belakang dari segala terdapat pawon (dapur) yang lantainya sama tingkat dengan lantai Gegajah tetapi tidak lagi dibawah naungan atap pisang sesisir.
Dengan bentuk ruangan dan lantai berkijing-kijing tersebut, maka rumah Limas adalah rumah secara alami mengatur keprotokolan yang rapi, tempat duduk para tamu disaat sedekah sudah ditentukan berdasarkan status tersebut di masyarakat.

b)      PAKAIAN ADAT
Pakaian tradisional masyarakat Sumatera Selatan biasa disebut dengan nama Aaesan Gede. Baju adat ini terinspirasi dari zaman kerajaan Sriwijaya yang dulunya berjaya di daerah Sumatera Selatan.
Busana adat Palembang ini sebenarnya sudah berasal sejak dari jaman kesultanan Palembang pada abad ke 16 hingga pertengahan abad yang ke 19, dan waktu itu dikenakan oleh golongan dari keturunan raja-raja yang disebut dengan Priyai. Berupa Pakaian kebesaran yang di kenakan untuk laki-laki dan dilengkapi dengan nama tanjak atau tutup kepala, dan pakaian ini terbuat dari bahan kain batik atau dari kain tenunan. Pakaian Tanjak ini dibedakan ada tanjak kepudang, tanjak meler serta tanjak bela mumbang. Semuanya busana ini terbuat dari kain songket yaitu kain tenunan tradisional dari Palembang.
Sementara untuk baju yang dikenakan disebut dengan Kebaya pendek, atau dapat pula memakai kebaya landoong atau kelemkari yaitu sejenis kebaya yang ukuran panjangnya hingga di bawah lutut. Busana ini terbuat dari bahan kain yang ditenun dan disulam dengan menggunakan benang emas ataupun dengan benang biasa yang berwarna, atau bisa pula dengan dicap pakai cairan emas perada. Untuk yang bagian dalam dikenakan penutup dada yang biasa disebut dengan kutang, dan terbuat dari bahan kain yang ditenun atau disulam. Sedangkamn untuk penutup dada biasanya diberi dengan hiasan permata.
Untuk busana pada bagian yang bawah berupa Celana Panjang yang disebut dengan celano belabas, celana ini terbuat dari bahan kain yang ditenun. Mulai pada bagian bawah lutut hingga ke arah bagian mata kaki di buat dengan cara disulam dengan menggunakan benang emas. Ada juga yang disulam mulai dari bagian pinggul hingga ke bagian mata kaki dengan motif lajur. Untuk jenis celana yang lain biasanya disebut dengan celano lok cuan yaitu celana yang panjangnya hingga sebatas lutut.
Jenis celana ini cara membuatnya tidak dengan cara disulam dengan benang emas, dan untuk ukuran celananya juga lebih lebar. Untuk pelengkap Busananya adalah keris. Sarung keris atau pendok yang terbuat dari emas, ataupun perak dengan tatahan yang bermotif bunga. Tapi ada juga yang diberi batu permata, hal ini tergantung pada tingkat ekonomi pemakainya.
c)      SENJATA TRADISIONAL
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di daerah ini terdapat suatu senjata tradisional yang disebut sebagai siwar. Siwar atau sering juga disebut tumbak lado adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya menyerupai golok panjang dengan tajaman di salah satu sisi bilahnya. Senjata ini mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai alat untuk mempertahankan diri, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan magis).
·     Struktur Siwar
Siwar adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya umumnya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada umumnya siwar berukuran antara 15-30 cm (skin rambai ayam) dengan lebar badan hingga ke matanya antara 1½-2 cm. Sedangkan, sarung dan gagang siwar terbuat dari kayu yang keras tetapi ringan agar dapat dibawa atau digunakan dengan mudah. Gagang siwar yang biasanya berornamen bunga atau tumbuhan bentuknya mirip dengan senjata reuncong namun membesar di bagian ujungnya.
·     Nilai Budaya
Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam yang indah dan sarat makna.
d)     KESENIAN
·         Tari Gending Sriwijaya
Gendig Sriwijaya merupakan tarian tradisional masyarakat Palembang yang digelar untuk menyambut tamu istimewa yang berkunjung kedaerah tersebut. Untuk menyambut para tamu agung tersebut, digelar suatu tarian yang salah satunya adalah Gending Sriwijaya. Tarian ini berasal dari masa kerajaan Sriwijaya dikota Palembang yang mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira, bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu istimewa tersebut.
Tarian Gending Sriwijaya ini dibawakan oleh Sembilan penari wanita yang berbusana adat bernama aesan gede, selendang mantra, paksangkong, dodot dan tanggai. Mereka merupakan penari inti yang dikawal oleh dua penari lainnya membawa paying dan tombak, sedangkan dibagian belakan terdapat penyanyi Gending Sriwijaya. Namun, saat ini peran penyanyi dan musik pengiring sudah banyak digantikan dengan tape recorder atau suara rekaman. Dalam bentuk aslinya, musik pengiring ini terdiri atas gamelan dan gong, sedangkan para pengawal terkadang ditiadakan, terutama apabila penari tarian itu dipertunjukkan dalam gedung atau panggung tertutup. Penari paling depan membawa tepak sebagai sekapur sirih atau pembuka untuk dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang membawa pridot dari kuningan. Persembahan sekapur sirih ini menurut aslinya dilakukan oleh putri raja, sultan atau bangsawan. Pembawaw pridon adalah sahabat akrab atau inang asuh sang putrid, demikian pula penari-penari lainnya.
·         Lagu Daerah – Pinang Muda
Pinang muda pinang muda di belah dua
Pinang muda pinang muda di belah dua
Manik-manik sekepal digenggam berkilau bersinar merembah
Sekepal
Manik-manik sekepal digenggam berkilau bersinar merembah
Dari muda ke tua petuah jangan diubah
Dari muda ke tua petuah jangan diubah
·         Lagu Daerah – Dek sangke
Dek sangke aku dek sangke
Awak tunak ngaku juare
Alamat badan kan sare
Akhirnya masuk penjare
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Ujiku bujang batanye tua bangke
Anaknya lah gadis gale
Dek sangke gadis tegile
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Ujiku gadis tak batanye jande mude
Anaknye la hade tige
Dak sangke bujang tegile
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
e)      ADAT ISTIADAT
·         Tradisi Penegak Jurai Adat Rambang
Sebuah tradisi akan senantiasa dijaga dan dilestarikan jika memiliki nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Begitupun dengan tradisi penegak jurai adat Rambang ini. Sebuah tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi, hal ini menunjukan bahwa Tradisi Penegak Jurai adat Rambang menyimpan dan memiliki sebuah makna yang mendalam bagi masyarakat kelurahan Tanjung Raman. Penggunaan simbol merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam Tradisi Penegak Jurai Adat Rambang ini. Hal ini dikarena simbol menyimpan daya magis lewat kekuatan abstraknya untuk membentuk dunia melalui pancaran makna. Tradisi Penegak Jurai adat Rambang ini merupakan sebuah simbol yang sangat bermakna karena merupakan falsafah hidup yang selalu menjadi pegangan masyarakan Tanjung Raman di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat di lihat dari sesajen dan perangkat lainya yang digunakan dalam upacara Tradisi Penegak Jurai adat Rambang yang selalu diperingati setiap tahunnya. Banyaknya makna yang terkandung dalam berbagai perangkat yang digunakan pada prosesi tradisi ini, misalnya : Sirih, Pinang, Ayam, Beras kunyit, dan lain sebagainya. Benda benda ini memberikan pemahaman makna kehidupan yang terkandung didalamnya. 
f)       MAKANAN TRADISIONAL
Pempek
Pempek atau Empek-empek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa pempek pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.
Penyajian pempek ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, udang ebi dan cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Bagi masyarakat asli Palembang, cuko dari dulu dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Namun seiring masuknya pendatang dari luar pulau Sumatera maka saat ini banyak ditemukan cuko dengan rasa manis bagi yang tidak menyukai pedas. Cuko dapat melindungi gigi dari karies (kerusakan lapisan email dan dentin). Karena dalam satu liter larutan kuah pempek biasanya terdapat 9-13 ppm fluor. satu pelengkap dalam menyantap makanan berasa khas ini adalah irisan dadu timun segar dan mie kuning.
g)      KERAJINAN
·         Kain Songket
Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu dan Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai. Istilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’. Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu.  Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket. Beberapa kain songket tradisional Sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga dinamai dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan penganan kegemaran raja.

Sejarah

Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab.Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu sekitar tahun 1500-an. Industri kecil rumahan tenun songket kini masih bertahan di pinggiran Kota Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu,  justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11).

Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai asal-usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli.
Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1849.

Motif

Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau. Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lain.
Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Di masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung.
Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat.  Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.
h)      SUKU / ETNIS

·      Suku Kubu

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam  merupakan orang Maalau Sesat, yang  lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan. Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam
i)        BAHASA DAERAH
Bahasa daerah masyarakat Sumatera Selatan yaitu Bahasa Palembang. Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan, yaitu baso Pelembang alus atau bebaso dan baso Pelembang sehari-hari. Baso Pelembang alus dipergunakan dalam percakapan dengan pemuka masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara adat. Bahasa ini berakar pada bahasa Jawa karena raja-raja Palembang berasal dari Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, dan Kerajaan Pajang. Itulah sebabnya perbendaharaan kata Baso Pelembang Alus banyak persamaannya dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Jawa.
Sementara itu, baso sehari-hari dipergunakan oleh wong Palembang dan berakar pada bahasa Melayu. Dalam praktiknya sehari-hari, orang Palembang biasanya mencampurkan bahasa ini dan bahasa Indonesia (pemilihan kata berdasarkan kondisi dan koherensi) sehingga penggunaan bahasa Palembang menjadi suatu seni tersendiri.
Bahasa Palembang memiliki kemiripan dengan bahasa daerah di provinsi sekitarnya, seperti Jambi, Bengkulu bahkan provinsi di Jawa (dengan intonasi berbeda). Di Jambi dan Bengkulu, akhiran 'a' pada kosakata bahasa Indonesia biasanya diubah menjadi 'o'.
7. PROVINSI BENGKULU