KEBUDAYAAN BANGSA INDONESIA
BAB 1 PENDAHULUAN
A. NDONESIA MERUPAKAN SEBUAH BANGSA
a. Asal mula nama Indonesia
Nama “Indonesia” diciptakan oleh James Richardson Logan, yaitu seorang antropolog berkebangsaan Inggris. Saat itu Logan kesulitan dalam mengidentifikasi nama penduduk dan kebudayaan yang terbentang diantara benua Asia dan Australia. Akhirnya, nama Indonesia diusulkan Logan dalam catatan kaki dari karyanya yang berjudul “The Ethnology of Indian Archipelago” yang dimuat dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia yang terbit di Singapura tahun 1950. Nama Indonesia baru muncul pada tahun 1950 namun belum digunakan secara resmi, selanjutnya diperkenalkan sebagai judul buku, Indonesia, order die Insel des Malayischen Achipels, yang diterbutkan di Leipziq, tahun 1884 dan 1889 yang ditulis oleh antropologi Jerman, Adolf Bastian.
Jadi sebelum orang Indonesia menyadari dan mengenal nama Indonesia, para pakar ilmu pengetahuan Barat telah dahulu mengkaji bangsa-bangsa dan kebudayaa-kebudayaan yang ada di Nusantara. Nama Indonesia juga dipergunakan oleh para ahli hokum adat Belanda seperti Prof.Dr.C. Snouck Hurgronje dan Prof.Dr.C. Van Vollenhoven dan pakar Belanda di Indonesia, Prof.Dr.H.Kern. Bung Karno pun baru pertama kali mengenal Indonesia waktu beliau menjadi mahasiswa THS (ITB) pada tahun 1920.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun Negara bangsa (nation state) yaitu keaneragaman suku bangsa, bahasa, agama, budaya, dan nusa. Dalam hal tersebut menyebabkan penjajah dapat menjajah Indonesia begitu lama yaitu 3,5 abad lebih yang telah memberikan pengalaman bagi masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang dalam arti penderitaan dan ketidakberdayaan. Kesamaan penderitaan ini menjadi modal awal persatuan bangsa untuk mengusir penjajah.
b. Negara Indonesia
Negara Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan, yakni Indonesia memiliki tidak kurang dari 17.504 pulau besar dan kecil,, sekitar 6.000 diantarnya tidak berpenghuni. Negara Indonesia berada disekitar garis khatulisyiwa yang memberikan cuaca tropis. Secara gerografis Indonesia terletak diantar 2 samudra yakni Samudra Hindia dan Samudra Psifik, dan 2 Benua yakni Benua Asia dan Benua Australia. Secara Astonomis Negara Indonesia terletak antara 6˚LU-11˚LS dan 95˚BT-141˚BT.
Indonesia memiliki posisi yang strategis yang berpengaruh sangat besar terhadap bidang kebudayaan, social, politik, dan ekonomi bahkan ditingkat Internasional. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan luas 1,9 juta mil2.
Secara geologis pulau-pulau Indonesia terbentuk melalui beberapa zaman yaitu
1. Zaman Miocene (12 Juta tahun sebelum masehi)
2. Zaman Palaeocene (70 juta tahun sebelum masehi)
3. Zaman Oecene (30 juta tahun sebelum masehi)
4. Zaman Oligacene (25 juta tahun sebelum masehi)
Pulau-pulau di Indonesia terbentuk sepanjag garis yang berpengaruh kuat terhadap perubahan lempengan tektonik Australia dan Pasifik. Lempengan Australia berubah lambat naik ke dalam jalan kecil Lempeng Pasifik, yang bergerak ke Selatan, dan antara digaris-garis ini terbentang pulau-pulau Indonesia. Hal ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia.
Dilihat dari penduduknya Indonesia merupakan Negara berpenduduk terbesar no 4 di dunia. Secara garis besar penduduk Indoenesia dibagi menjadi 2 kelomppok yakni, dibagian barat penduduk Indonesia kebanyakan suku melayu, sedangkan bagian Timur adalah suku Papua. Agama yang dianut oleh penduduk Indonesia juga bervariasi namun sebagian besar Bergama Islam (85,2%), Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%) dan lain-lain (0,3%).
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbentuk Republik. Negara Indonesia menganut demokrasi Pancasila dan system politiknya didasari pada “Trias Politika” yaitu kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut undang-undang yang berlaku. Indonesia terdiri dari 33 Provinsi yang tiap provinsi memiliki cirri khas dan kebudayaan masing-masing.
Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya akan SDA dan SDM namun walaupun kaya akan sumber daya Indonesia tetap masih menghadapi masalah besar dalam hal kemiskinan karena kurang maksimal dalam mengelola sumber daya yang dimiliki.
B. TENTANG INDONESIA
Kata Indonesia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti India dan Nesos berarti Pulau. Jadi Indonesia juga berarti kepulauan India atau kepulauan yang berada diwilayah India.
Bendera kebanggan Indonesia yakni Sang Saka Merah Putih yang mengandung arti keberanian (merah) dan kesucian (putih). Lambang Negara Indonesia yaitu Burung Garuda. Di Burung garuda terdapat 5 buah simbol yakni : Bintang, Rantai, Pohon Beringin, Kepala banteng dan Padi & kapas.
Dibagian burung garuda terdapat :
a. Masing-masing bulu sayap berjumlah 17 buah.
b. Ekor 8 buah.
c. Bulu dibagian bawah peisai 19 buah
d. Bulu leher 45 buah.
Dari angka-anngka itu merupakan rangkaian tanggal hari Kemerdekaan Indonesia yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada bagian kaki Burung garuda terdapat pita yang bertuliskan “BHINEKA TUNGGAL IKA” yang merupakan motto utama bangsa Indonesia dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Berbeda-beda Tetapi tetap Satu Jua”. Motto tersebut digunakan bangsa Indonesia karena Indonesia adalah Negara kepulauan yang penduduknya tersebar dan tinggal diwilayah yang berbeda-beda dengan budaya yang berbeda-beda sesuai dengan wilayah yang ditempati. Tujuan dari motto tersebut yakni supaya bangsa Indonesia tetap bersatu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) walaupun memiliki budaya yang berbeda dan diwilayah yang berbeda.
C. IDENTITAS NASIONAL BANGSA INDONESIA
Identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang berarti ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang yang mmbedakan dengan orang lain. Identitas tidak terbatas pada individu semata, melainkan berlaku pula pada suatu kelompok.
Nasional merupakan identitas yang melekat pada keompok=kelompok yang lebih besarr yang diikat oleh kesaman-kesamaan baik fisik seperti budaya agama, bahas, maupun nonfisik seperti keinginajn, cita-cita, tujuan bersama, rasa senasib dan lain sebgainya. Himpunan kelompok ini yang melahirkan tindakan kelompok dalam bentuk organisasi yang diberi atribuut-atribut nasional.
Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang pluralistic / heterogen. Hetermogenitas itu merupakan gabungan dari unsur-unsuur pembentuk indentitas yakni sebagai berikut :
a. Suku Bangsa
Suku bangsa adalah golongan social khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat suku bangsa dengan tidak kurang 300 dialek bahasa. Mereka mendiami daerah-daerah tertentu sehingga mereka dapat dikenali dari mana asalnya.
b. Agama
Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang dinusantara adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Agama merupakan masalah yang sangat sensitive bagi masyarakat bangsa, karena agama merupakan identitas suci disbanding identitas social lainnya. Vitalitas suatu bangsa saangat erat hubunganya dengan keyakinan (agama) bahwa kehidupan bangsa itu ada makna dan arti.
c. Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebgai makhluk hidup social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pendukung pengetahuan secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yan dihadapi serta digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Intinya, kebudayaan merupakan patokan nilai-nilai etika dan morall, baik yang tergolong sebagai jideal yang seharusnya, maupun yang operasional dan actual didalam kehidupan sehari-hari.
Budaya nasional merupakan kolaborasi antara berbai kebudayaan suku atau etnis yang tersebar di bentangan nusantara. Bangunan budaya nasional berdasarkan pada budaya-budaya mmasing-masing daerah. Oleh karena itu kelunturan budaya daerah pada dasarnya juga menjadi awal kelunturan budaya nassional.
d. Bahasa
Bahasa dipahami sebagai system perlambangan yang secara arbiter dibentuk atas unsure-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebgai sarana interaksi antar manusia. Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dahulu dikenal dengan sebutan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung berbagai etnis yang mendiami nusantara dan juga sebagai bahasa transaksi perdagangan Internasional dikawasan kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan pedagang asing.
Bentuk identitas nasional Indonesia :
1. Bahsa nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2. Dasar filsafat Negara, Pancasila.
3. Lagu kebangsaan, Indonesia Raya.
4. Lambang Negara, Garuda Pancasila.
5. Semboyang Negara, Bhinneka Tunggal Ika.
6. Bendera Negara, sang Merah Putih.
7. Konstitusi Negara, UUD 1945 yang telah diamandemen.
8. Bentuk Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
9. Konsep, wawasan nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional pada dasarnya puncak dari kebudayaan daerah.
BAB 2 KEBUDAYAAN BANGSA INDONESIA
SOSIAL BUDAYA INDONESIA
Bangsa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan seni
dan budayanya. Setiap daerah atau etnis memiliki kebudayaan masing-masing
dengan cirri khas yang berbeda-beda yakni dari sabang sampai merauke. Misalnya,
kebudayaan daerah Jawa Timur dengan Bali memiliki perbedaan dengan menampilkan
cirri khas daerah tersebut.
Kebudayaan itu
tersusun dari unsure-unsur universal, yaitu system keagaman dan upacara
keagamaan, system organisasi masyarakat, system pengetahuan, bahasa, mata
pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dikatakan unsure universal, karena
unsure-unsur tersbut dapat ditemukan disemua kebudyaan, baik pada kebudayaan
masyarakat sederhana maupun masyarakat perkotaan yang kompleks.
Jenis kesenian di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
beberapa kebudayaan. Tari jawa dan Bali , misalnya berisi aspek krbudayaan dan
metologi Hindu. Selain itu yang cukup terkenal didunia adalah wayang kulit yang
menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis. Seni pantun, gurindam dan
sebagainya dari berbagai daerah seperti pantun melayu, dan pantun-pantun
lainnya sering kali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yakni perhelatan,
pentas seni dan lain-lain.
Dibidang busana, warisan budaya yang terkenal didunia
adalah batik. Beberapa daerah yang terkenal dengan produksi batik yakni
Pekalongan, Yogyakarta dan Solo.
Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang
berasal dari wilayah di Indonesia. Seni bela diri terkadang ditampilkan dengan
iringan musik tradisional. Semua musik,
baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari sabang sampai
merauke. Namun yang lebih banyak diminati oleh masyarakat Indonesia merupakan
jenis musik modern kemudian dangdut. Dangdut adalah salah satu musik Indonesia
yang sudah merakyat di wilayah nusantara, yang dipadu dari unsure music Melayu,
India, dan juga musik tradisional Indonesia. Dinamakan “Dangdut” karena suara
musiknya terdengar seperti suara ‘dang’ dan ‘dut’ juga music dangdut lebih
dikuasai oleh suara gendang dan suling. Ada beberapa corak musik dangdut,
antara lain musik dangdut melayu, dangdut modern ( dangdut masa kini yang
musiknya telah ditambah dengan alat music modern) dan dangdut pesisir (lagu
dangdut tradisional jawa, sunda dan lain-lain).
Berikut kebudayaan bangsa Indonesia :
1. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Daerah
provimsi NAD terletak di Pulau Sumatra. Daerah ini berbatasan dengan Teluk
Benggala di sebelah utara, samudra Hindia di sebelah barat, selat malaka di
sebelah timur, dan sumatra di sebelah tenggara dan selatan. Luas provinsi Aceh
55.380 km², terletak antara 95° BT sampai dengan 98° BT dan 2° LU sampai dengan
6° LU. 18 Kabupaten, 5 Kodya/Kota, 227 Kecamatan dan Kelurahan/desa 5.862, Suku
bangsa Aceh, Gayo, Alas, Aneuk jamee, Melayu tamiang, Kluet dan lain-lain
Daerah Istimewa
Aceh yang kini disebut dengan Nangroe Aceh Darussalaamberdiri pada tanggal 7 Desember 1959 terletak
di sebelah ujung Utara pulau Sumatera dan merupakan wilayah paling Barat negara
Republik Indonesia. Batasnya ialah: sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Malaka, sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan
sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Sumatra Utara.
Di tengah-tengah
Daerah Istimewa Aceh membujur Bukit Barisan, gunung-gunung yang berhutan lebat,
seakan-akan membagi wilayah ini menjadi dua bagian, sebelah Barat dan sebelah
Timur. Dari hutan-hutannya dapat diperoleh hasil hutan seperti damar, terpentin
dan lain-lain. Di bagian Timur lebih banyak tanaman perkebunan dan seperti
kopi, tembaku, buah-buahan dan sebagainya serta persawahan padi. Sedangkan
daerah Utara lebih dikenal dengan gas alam atau L.N.G. yang terdapat di Arun.
Penduduk Daerah
Istimewa Aceh terdiri atas suku bangsa asli yakni suku bangsa Aceh yang terbagi
dalam beberapa sub suku seperti : Gayo, Alas, Tamiang, Gayo Seumanah, Anek
Jamee, Singkel dan lain-lain. Suku pendatang terdiri dari Jawa, Minangkabau,
Palembang, Makasar, Sunda dan lain-lain, sedangkan bangsa asing pun banyak
antara lain Arab, India, China dan orang-orang Eropah. Menurut mereka suku
bangsa Aceh berasal dari Jazirah Arab, hal ini terlihat banyak suku bangsa Aceh
yang bergelar Said, Habib dan sebagainya. Diperkirakan mereka mulai menetap di
Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Sedangkan yang berasal dari
Gujarat (India), kebanyakan bermukim di pantai.
Pengaruh Islam
nampak dengan berdirinya kerajaan Islam di Peureula dan Pasai yang kemudian
corak kebudayaan Islam mewarnai kebudayaannya. Mata pencaharian pokok suku
bangsa Aceh adalah bertani, terutama bertani sawah. Sebagai tempat menyimpan
padi dibuat sebuah lumbung yang disebut keong pade atau keurandong. Pekerjaan
bertani yang terdiri dari tahap-tahap pekerjaan, biasanya dilakukan dengan
bergotong-royong yang disebut meuseuraya.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh
terutama pada masa lampau adat tumbuh dengan kuat sesuai dengan prinsip yang
hidup dalam masyarakat : Adat bak po teumerehnhorn, hukom bah syiah kuala,
Kaaun bak putroe Phang, rensam bak laksamana . Beberapa peristiwa dalam
kehidupan itu dipandang sakral atau suci, hingga perlu diperingati atau
dirayakan secara adat, yang aturannya tak boleh dilanggar. Misalnya peristiwa
kelahiran, peristiwa anak pertama kali turun tanah, cukur rambut, khitanan,
perkawinan dan sebagainya. Semuanya dilakukan dengan mengadakan upacara adat
setempat, dan upacara-upacara tersebut senantiasa menunjukan adanya unsur-unsur
agama Islam. Hal ini tidak mengherankan karena masyarakat Aceh adalah pemeluk
agama Islam yang taat dan hampir semua penduduk asli beragama Islam, sesuai
dengan sebutan bahwa daerah Aceh sebagai Serambi Mekah. Kehidupan keagamaan
terlihat adanya meunasah (sekolah) dan meusujid (mesjid) yang terdapat di
setiap kampung.
Kesenian yang
berkembang pada suku bangsa Aceh antara lain seni sastra, baik lisan mupun
tertulis berupa prosa dan pantun. Seni tari seperti tari Seudati yang sangat
terkenal, tari Saman, tari Guel, tari Bungung Rampoe dan sebagainya, sedang
seni suaranya, misalnya qasidah berzanji. Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan
manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian
seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada
tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Di daerah Aceh
seni bangunan tradisionalnya berupa rumah adat yang disebut Rumoh Aceh
. Menurut ukuran atau besarnya bangunan rumah Aceh ada beberapa macam yaitu
rumah Lhee Rueng, rumah Anjong, rumah Liwong Rueng atau rumah dua inang, dan
rumah lapan rueng. Selain berbeda besarnya jumlah ruangannya pun berbeda pula.
Di samping bangunan rumah untuk tempat tinggal, beberapa bangunan lain yang
terdapat di Aceh yaitu meunasah, meuseujid, Balai blang, Janmbo blang dan
pondok pesantren atau Jeda. Berikut kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam
yang lainnya.
a) SENI ARSITEKTUR
Rumoh Aceh
Rumah adat
provinsi NAD disebut Rumoh Aceh. Bentuknya seragam, yakni persegi empat
memanjang dari timur ke barat. Konon, letak yang memanjang itu dipilih untuk
memudahkan
penentuan arah kiblat. Dari segi ukir-ukiran, rumoh Aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda. Tampilan luar rumah biasanya berwarna hitam pekat diselingi ornament berwarna cerah khas Aceh. Komponen rumoh aceh :
penentuan arah kiblat. Dari segi ukir-ukiran, rumoh Aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda. Tampilan luar rumah biasanya berwarna hitam pekat diselingi ornament berwarna cerah khas Aceh. Komponen rumoh aceh :
·
Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang
berfungsi untuk menerima tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah.
Ruangan ini juga sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu
laki-laki.
·
Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama
ruangan ini adalah untuk menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang
rumah. Seperti serambi depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat
tidur dan ruang makan tamu perempuan.
·
Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara
serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua
serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya
dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan
serambi belakang.
·
Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan
atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah
dibanding lantai serambi belakang.
·
Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling
depan. Teras menempel dengan serambi depan.
·
Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari
bangunan utama, tapi masih berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di
belakang, samping, atau bahkan di depan rumah.
·
Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri
umum karena yang menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh
masyarakat. Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.
·
Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama
rumah tradisional ini. Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm
setinggi 150-170 cm itu bisa berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan
tiang-tiang ini memudahkan proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.
Salah satu
bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga rumah
terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala
supaya terbuka dan bisa masuk.Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi
yang khas dari rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku.Untuk
mengaitkan balok kayu yang satu dengan yang lain cukup digunakan pasak atau
tali pengikat dari rotan atau ijuk.
Masjid Agung Baiturrahman
Masjid ini merupakan saksi bisu sejarah Aceh. Masjid ini
adalah pertahanan markas rakyat Aceh selama pertempuran dengan Belanda
(1.873-1.904). Pada saat terjadi perang di Aceh pada tahun 1873, masjid ini
dibakar oleh Belanda. Pada saat itu, Mayjen ter menembak Khohler dibunuh oleh
tentara di dahi di meter Masjid Baiturrahman Aceh Besar.
Untuk mengingat peristiwa, dan membangun sebuah monumen kecil
di depan sebelah kiri Masjid Agung, tepatnya di bawah pohon Ketapang. Enam
tahun kemudian, kemarahan teredam rakyat Aceh, Belanda melalui Gubernur
Jenderal Van Lansnerge membangun kembali Masjid Agung Baiturrahman dengan
peletakan batu pertama di 1879.Until tahun sekarang, Masjid Agung adalah lima
kali renovasi dan perluasan ( 1.879-1.993).
Sejarah saat ini adalah kejadian terakhir dari tsunami 24
Desember 2004. Ketinggian tsunami dan air derasnya hingga 2 meter hampir
tenggelam di Masjid Agung di dalam ruangan, menjadi saksi sejarah bagi
kebanyakan orang yang selamat Masjid Agung di tempat penampungan. Setelah air
tsunami surut, di Masjid Agung ribuan mayat tergeletak setelah tsunami.
Masjid Agung Baiturrahman merupakan
salah satu masjid yang paling megah di Asia Tenggara. Daerah Masjid yang
menempati lebih dari empat hektar ini berarsitektur indah dan unik, memiliki
tujuh kubah-, empat menara dan satu menara induk. Lantai marmer di ruang dibuat
di Italia, jangkauan luas 4760 m2, dan dapat menampung hingga 9000 jama'ah. Di
halaman depan masjid adalah kolam besar, rerumputan yang rapi dengan tanaman
hias dan pohon kelapa yang tumbuh di masjid it.This terletak di pusat kota
Banda Aceh berdekatan dengan pasar tradisional di Aceh, Nanggroe Aceh
Darussalam, Indonesia.
b) PAKAIAN ADAT
Penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan Provisni Nanggroe Aceh Darussalam ini termasuk baju adat daerahnya. Berikut ini akan dijelaskan Baju adat daerah Aceh
BAJU ADAT TRADISIONAL PRIA ACEH :
Pria memakai BAJE MEUKASAH atau baju
jas leher tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.Jas ini dilengkapi
celana panjang yang disebut CEKAK MUSANG.Kain sarung (IJA LAMGUGAP) dilipat di
pinggang berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang
disongket.Sebilah rencong atau SIWAH berkepala emas / perak dan berhiaskan permata
diselipkan di ikat pinggang.Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut
MAKUTUP.Tutup kepala ini dililit oleh TANGKULOK atau TOMPOK dari emas.
TANGKULOK ini terbuat dari kain tenunan. TOMPOK ialah hiasan bintang persegi 8,
bertingkat, dan terbuat dari logam mulia
BAJU ADAT WANITA ACEH :
Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga
sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas china.Celana
cekak musang dan sarung (IJA PINGGANG) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak
pada sarung ini bersulam emas.Perhiasan yang dipakai : kalung disebut KULA. Ada
pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat
pinggang (PENDING) berwarna emas.Bagian rembut ditarik ke atas membentuk
sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak.
Pakaian adat
Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa selalu
dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain :
Keureusang
Keureusang
adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan
dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas
bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi
dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan
sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan
barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai
perhiasan pakaian harian.
Phatam Dhoe
Phatam Dhoe
adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas/perak
yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Terbagi atas tiga bagian yang
satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran
kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan
Muhammad motif ini disebut Bungong Kalimah yang dilingkari ukiran bermotif
bulatan-bulatan kecil dan bunga.
Peuniti
Peuniti
ialah Seuntai Peun iti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan
motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin
dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat
motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif
Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal
sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita,
sekaligus sebagai penyemat baju.
Simplah
Simplah
merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas.
Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan.
Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah
di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai
rantai. Simplah mempunyai ukuran panjang dan lebar masing-masing 51 cm.
Subang Aceh
Subang Aceh
memiliki diameter dengan ukuran 6 cm. Subang terbuat dari emas dan permata.
Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing.
Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut
"Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.
Taloe Jeuem
Seuntai tali
jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin
kecil berbentuk rantai dengan hiasan bentuk ikan (dua buah) dan satu kunci.
Pada kedua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini
merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.
c) SENJATA TRADISIONAL
Rencong
Aceh
Tentara dan Senjata |
Rencong Mematikan - Senjata Tradisional Aceh | Rencong (Reuncong) adalah
senjata tradisional Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan,
merupakan simbol keberanian para pejuang dan rakyat Aceh dalam perjuangan.
Rencong eksistensi sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan rakyat Aceh
tampak bahwa hampir setiap Aceh tempur, membekali diri dengan rencong sebagai
alat pertahanan diri. Tapi sekarang, setelah tak lagi lazimdigunakan sebagai
alat pertahanan diri, rencong berubah menjadi suvenir yang dapat ditemukan di
hampir semua kerajinan Aceh toko khas.
Bismillah rencong kalimat bentuk
berbentuk, pegangan yang melengkung dan menebal pada siku adalah Ba tulisan
Arab, bujuran Sin menangani merupaka karakter, membentuk lancip menurun ke
bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan awal naskah, strip besi dari
pangkal gagang hingga dekat ujungnya adalah Lam script, ujungnya meruncing dan
dataran datar dari bagian atas dan bawah sedikit up adalah Ha script. String
karakter dari Ba, Sin, Lam, Ha dan menyadari bahwa itu apa Bismillah kalimat.
Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain besi maqrifat pintar
juga memiliki pengetahuan tinggi kaligrafi. Oleh karena itu, rencong tidak
digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk melakukan
setan, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh dan berperang di jalan Allah.
Rencong kuat biasanya terbuat dari besi-besi pilihan, yang koheren dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat beracun beracun, sehingga jika dalam pertempuran menghadapi lawan yang kebal terhadap iron man, orang tersebut akan mampu menembus Rencong.
Menangani berbentuk rencong lurus dan melengkung ke atas beberapa. Rencong pegangan melengkung ke atas disebut rencong Meucungkek, biasanya menangani terbuat dari gading dan tanduk pilihan. Bentuk Meucungkek dimaksudkan untuk menghindari terjadinya suatu penghormatan yang berlebihan bagi sesama manusia, karena bahaya intrinsik kehormatan milik Allah sendiri. Artinya, jika rencong meucungkek dimasukkan bagian pinggang atau bagian tengah, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan tubuh untuk memberi penghormatan kepada orang lain karena perutnya akan tertekan oleh meucungkek menanganinya.
The meucungkek menangani hal itu juga berarti bahwa, pada saat-saat penting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya runcing digunakan.
Rencong kuat biasanya terbuat dari besi-besi pilihan, yang koheren dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat beracun beracun, sehingga jika dalam pertempuran menghadapi lawan yang kebal terhadap iron man, orang tersebut akan mampu menembus Rencong.
Menangani berbentuk rencong lurus dan melengkung ke atas beberapa. Rencong pegangan melengkung ke atas disebut rencong Meucungkek, biasanya menangani terbuat dari gading dan tanduk pilihan. Bentuk Meucungkek dimaksudkan untuk menghindari terjadinya suatu penghormatan yang berlebihan bagi sesama manusia, karena bahaya intrinsik kehormatan milik Allah sendiri. Artinya, jika rencong meucungkek dimasukkan bagian pinggang atau bagian tengah, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan tubuh untuk memberi penghormatan kepada orang lain karena perutnya akan tertekan oleh meucungkek menanganinya.
The meucungkek menangani hal itu juga berarti bahwa, pada saat-saat penting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya runcing digunakan.
d) KESENIAN
·
Tari saman
Merupakan
tarian yang berasal dari daerah aceh yang merupakan suatu wujud ungkapan puji
syukur kepada Allah SWT. Tari ini biasa dibawakan pada saat penyambutan tamu.
Lagu irigan yang dibawakan berupa zikir-zikir keagamaan. Tarian ini berasal
dari dataran Tinggi Ganyo/ Sjyair saman menggunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh.
Pada masa lalu tari saman biasanya ditampilkan untuk merayakakkn
peristiwa-peristiwa penting dalam adat masyarakat Aceh. Selain itu tarian ini
biasanya ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada kenyataanya,
naman saman diperoleh dari salah saru ulama besar Aceh yang bernama Syekh
Saman.
Tari
saman biasa ditampilkan menggunakan iringan alat musik berupa gendang dan
menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang dikombinasikan
dengan memukul dada dan pangkal paha mereka. Tarian ini dipadu oeh seorang
pemimpin yang disebut syekh. Karena
keragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam tarian ini,
maka penari dituntut memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar
dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini dilakukan secara kelompok, sambil
bernyanyi dalam posisi duduk berbaris dan tanpa menggunakan alat musik
pengiring.
Karena
gerakannya yang teratur, tarian ini banyak ditarikan oleh kaum pria, namun
dengan seirinng perkembangan zaman sekarang sudah banyak ditarikan oleh kaum
wanita maupun campuran antara penari pria dengan wanita. Tarian ini dibawakan
oleh kurang lebih sepuluh orang penari, terdiri atas delapan penari dan dua
sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
·
Tari Seudati
Kata
Seudati berasal dari bahasa Arab, Syahadati
atau syahadatain artinya kesaksian atau pengakuan. Dalam bahasa Melayu
dialek Aceh, Syahadati diubah menjadi Seudati. Selain itu ada pula yang
mengatakan bahwa kata Seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Selanjutnya kata seudati
dijadikan salah satu istilah tarian yang dikenal dengan Tari Seudati. Tarian
ini berkembang di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Di Aceh Timur, Tari Seudati
dijadikan sebagai salah satu tarian tradisional.
Awalnya,
tarian Seudati diketahuan sebagai tarian orang pesisir yang disebut rontoh atau rontoih yang menceritakan,
diperagakan untuk mengawali permainan sambung ayam atau diperagakan untuk
beersuka ria ketika musim panen tiba pada bulan purnama. Dalam ratoh, dapat
diceritakan berbagai hal, dari sedih, gembira, nasihat, sampai pada kisah-kisah
yang membangkitkan semangat. Semua kisah tersebut disampaikan dengan
menggunakan bahasa Melayu dialek Aceh. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada
masa-masa awal, ratoh belum bernapaskan Islam karena kental menggunakan budaya
setempat. Namun, ketika ajaran Islam masuk ke daerah Aceh, terjadilah suatu
penyatuan dalam berbagai unsure social, budaya, ekonomi dan politik. Pada aspek
budaya, misalnya hal ini mengalami perubahan yang awalnya bernama Tarian Ratoh
akhirnya berubah nama menjadi Tarian Seudati yang dipengaruhi nilai-nilai
keislaman. Selain itu, syair-syair lagu pun mengandung unsure bahasa Arab dan
bahasa daerah dengan memuat pesan-pesan dakwah sehingga akhirnya tarian ini
dijadikan sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran Islam. Seiring
bertambahnya waktu dan semakin berkembangnya kehidupan, tarian ini bertambah
fungsinya, selain menjadi media dakwah namu juga sebagai media hiburan yang
menyimbulkan kekayaan budaya Aceh.
Tarian
sudati dibawakan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri
atas satu orang pemimpin yang disebuk syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua
orang pembantu disebelah kiri yang disebut apeetwie,
satu orang pembantu di belakan yang disebut apeet
bak dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi
sebagai pengiring tari yang disebut aneuk
syahi.
Jenis
tarian ini tidak menggunakan alat music, tetapi hanya menampilkan beberapa
gerakan, seperti tepukan tangan kedada dan pinggul, hentakkan kaki ke tanah dan
petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan.
Beberapa tersebut cukup dinamis dan llincah penuh semangat. Namun, ada beberapa
gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan kegagahan si
penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada
dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Kostum
para penari Seudati terdiri atas celana panjang dan kaus oblong lengan panjang
yang ketat, keduanya berwarna putih, kain songket yang dililitkan sebatas paha
dan pinggang, rencong yang disisipkan dipinggang, tangkulok (ikat kepala) yang
berwarna merah yang diikatkan dikepala dan sapu tangan. Kostum seragam ini
hanya untuk pemain utama, sedangkan aneuk
syahi tidak harus memakai kostum yang seragam.
Bagian-bagian
terpenting dalam tarian seudati terdiri atas likok (gaya tarian), saman
(melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menciratakan tentang kisah
kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Pada
umumnya tarian ini diperagakan diatas pentas dan dibagi menjadi beberapa babak,
antara lain :
Babak
pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang diucapkan oleh aneuk
syahi saja (assalamualaikum. Long tamong
lam seung. Lon jak bri saleum keu bang syekh teuku…). Fungsi aneuk syahi
adalah untuk mengiringi seluruh rangkaian tari. Salam pertama ini dibalas oleh
syeikh dengan langgam (nada) yang berbeda (kru
seumangat lon tamong lam seung. Lon jak bri saleum ke jamee teuku). Syair
tersebut diulangi oleh keddua apeetwie dan apeet bak. Pada babak perkenalan
ini, delapan penari hnya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, tepuk
dada serta jentikan delapan jari yang mengikuti gerak irama lagu. Gerakan
rancak baru terlihat ketika memasuki babak selanjutnya.
Apabila
pementasan bersifat pertandingan, setelah kelompok pertama menyelesaikan babak
pertama, akan dilanjutkan oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda pula.
Untuk babak keddua dimulai dengan bbak saman yaitu seluruh penari bediri dengan
membuat lingkaran di tengah-tengah pentas guna mencocokkan suara dan menentukan
likok apa saja yang akan dimainkan. Syeikh berada di tengah-tengah lingkaran
tersebut. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan masyarakat Aceh yang selalu
bermufakat (bermusyawarah) dala megambil segala keputusan. Mufakat itu jika
dikaitkan dengan tarian ini adalah bermusyawarah untuk menentukan saman atau
likok yang akan dimainkan. Didalam likok dipertunukkan keseragaman gerak,
kelincahan bermain, dan ketagkasan yang sesuai dengan lantunan lagu yang
dinyanyikan aneuk syahi. Lantunan likok tersebut diawali dengan :
Iiiiiii la lah alah ya ilalah…… (secara lambat dan cepat)
Seluruh
penari utama akan mengikuti lagu yang dinyanyikan secara cepat atau lambat
bergantung pada lantunan yang dinyanyikan oleh aneuk syahi tersebut. Kemudian
babak saman. Dalam babak ini beragam syair dan pantun saling disampaikan dan
terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua
penari. Ketika syeikh melontarkan ucapan walahuet
seuneut ape tee kataheee, hai syam, maka aneuk syahi menimpali dengan
jawaban lom ka dicong bak ibioh, aneuk
puyeh ngon cicem subang.
Untuk
menghilangkan rasa jenuh penonton, setiap babak ditutup dengan formasi lanie,
yaitu memperbaiki formasi yang sebelumnya sudah tidak beraturan.
Tari Pukat
Tari
pukata merupakan tari uyang berhubungan
dengan kehidupan rakyat Aceh yang berprofesi sebagai nelayan. Diceritakan
seorang nelayan menganyam pukat yang digunakan untuk menangkap ikan di laut.
Serune Kalee (Serunai)
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap
BangsiAlas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa, menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa, menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
Geundrang (Gendang)
Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat
pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan
sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat
komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan
masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.
Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
Taktok Trieng
Taktok Trieng juga
sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah
kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng
dikenal ada 2 jenis :
Yang dipergunakan di
Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain
yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup
terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai didaerah Aceh
Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh
mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan
Bereguh tergantung dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
Celempong
Celempong adalah alat kesenian
tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari
beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki
pemainnya.
Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.
Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.
Arbab
Instrumen ini terdiri dari 2 bagian
yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock)
dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung
kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai.
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Hikayat Prang
Sabi
Lirik
lagu ini merupakan lirik lau perjuangan melawan penjajah Belanda dari Daerah
NAD. Berikut lirik lagunya :
Khalikul bahri wallaili A`zawajallah
Ulon pujoe poe sidroe po syukur keu rabbi yaa ini
Keu Kamoe Neubri beu suci Aceh Mulia
Tajak prang musoh beuruntoeh dum sitre Nabi
Yeng meu ungki kei rabbi keu poe yang Esa
Meuso han tem prang cit
Malang ceulaka tubuh rugo roh
Syuruga tan roh rugo roh bala Neurka
Meusoe yang tem prang cit meunang meutuah tuboh
Syuruga lusoh yang that roh Geubri keu gata
Lindung gata seugala yang Mujahidiin Mursalin
Tip tip mukim iklim Aceh Sumatra
Yang Meubahgia seujahtra syahid dalam prang
Allah Neupulang Dendayang Budiadari
Hoka siwa sirawa syahid dalam prang dan meunang
Di peurab rijang bak Cutbang saleem Lee Neubri
Salam A`laikoma-2 Tgk Meutuah
Katroh Neulangkah ya Allah Keunoe bak Kamoe
Amanah Nabi lah Nabi hana Neu ubah-2
Syuruga indah ya Allah pahlawan Prang sabi
Ureung binoe lah binoe geumoe meu kiaam
Aneuk jak lam prang peutmang amanah Nabi
Meubek tatakoet tasuroet
Aneuk seunapan bangsawan
Aneuk meuriam ya Allah atra sipai
Ureung yang syahid lahsyahd bek ta kheun matee
Beuthat beu tanlee ya Allah nyawoeng lam badan
Ban saree keunong lahkeunong senjt kafe lahkafe
Keu nan teuka lee ya Allah peumud seudang
Budiadari meunanti di doing di pandang
Dipreeh Cut Abang jak meucang dalam prang sabi
Huka judoe rakn eoe syahid dalam prang dan seunang
Dipeurb rijang peutameeng syurga tinggi
Dimat kipah lahkipah saboh bak jaroe
Dipreh judoe woe ya Allah dalam prang sabi
Geucok disinan disinn geuba u-dalam u-dalam
Di peuduek sajan ya Allah ateuh kurusi
Ngon ija mirah lahmirah Geusampoh gaki
Rupa geuh puteeh lahputeeh sang sang buleeb trang di
awan
Watee tapandang ya Allah seunang lan hate
Darah yang hanyi lah hanyi gadoh di badan
Geu ubang lee Tuhan ya Allah dengan kasturi
Dikamoe Aceh lah Aceh darah peujuang peujuang
Neubri beurjanng ya Allah Aceh Merdeka
MERDEKA
Bungon Jeumpa
Bungon jeumpa bungon jeumpa megah di Aceh
Bungon telebeh, telebeh indah lagoina
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah that rupa
Lam sinar buleun lam sinar buleun angen peu ayon
Ru roh mesuson mesuson, nyang malamala
Mangat that mebe
e) ADAT ISTIADAT
·
Meugang
Makmeugang atau Makmuegang atau Meugang adalah salah satu tradisi yang
ada dalam masyarakat Aceh yang telah ada sejak berabad yang lalu yaitu acara
membeli daging, memasak daging dan menikmatinya bersama-sama baik dengan
keluarga bahkan ada yang mengundang anak yatim untuk menikmati kebersamaan hari
meugang ini.
Tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun :
1.
Menjelang bulan Puasa
atau bulan Ramadhan
2.
Menjelang Hari Raya
Idul Fitri
3.
Menjelang Hari Raya
Idul Adha
Hari Makmuegang telah ada sejak berabad yang lalu dan biasanya dilakukan sehari sebelum bulan puasa,hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, namun di zaman moderen ini bahkan hari makmeugang secara tidak langsung sudah menjadi 2 hari,ada meugang ubit (meugang kecil) pada hari pertama dan meugang rayeuk (meugang besar) pada hari kedua. Namun, tidak semua wilayah atau juga kabupaten di Aceh menerapkan hari meugangnya selama dua hari, ada juga hanya sehari saja.
Yang membedakan meugang kecil dan meugang besar, hanya jumlah daging yang dipasarkan atau dengan kata lain banyaknya penjual yang turun ke pasar. Jika pada hari kedua, yakni meugang besar sudah bisa dipastikan tempat yang dijadikan pasar dadakan akan sangat ramai sekali. Perputaran ekonomi masyarakat di hari meugang memang sangat luar biasa, banting harga, kualitas daging serta jenis daging juga mempengaruhi para pembeli yang notabennya juga warga setempat.
Makmuegang berasal dari kata :
1.
Makmue artinya makmur ( Semua elemen
masyarakat Aceh pada hari inilah dari segala elemen masyarakat dapat menikmati
daging tanpa kecuali , benar-benar satu hari yang benar-benar makmur yang
dinikamati dan dirasakan semua masyarakat Aceh baik pejabat maupun rakyat
jelata,baik yang kaya maupun yang miskin,Janda miskin maupun anak yatim, bahkan
di hari makmuegang ini anak yatim kalau mendapat undangan dari tuan rumah yang
ingin berbagi malah mendapat amplop yang berisi uang yang diberikan oleh yang
empunya rumah…inilah yang dinamakan makmue…semua elemen masyarakat menikmatinya
2.
Gang artinya Gang di dekat Pasar ( Kumpulan
para penjual daging yang berjualan di gang-gang pasar,biasanya satu gang ini
terapat puluhan bahkan ratusan lapak,tiap lapak para pedagang seluas ukuran
meja,di atas meja inilah daging sapi dipajang sementara diatasnya dipajang
bamboo tempat gantungan daging masi utuh dengan pahanya)
Tradisi hari makmuegang ini muncul bersamaan dengan penyebaran agam Islam di Aceh sekitar abad ke 14 Masehi, sesuai dengan ajaran Islam, datang hari-hari besar Islam yaitu bulan suci Ramadhan,Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha sebaiknya disambut secara meriah
Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari darat ,sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa hari makmuegang ini masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.
Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu. Dan tradisi masih juga dilakuakn oleh sebagian orang-orang kaya sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan paling tiding mengundang anak yatim kerumahnya.
Sebuah pepatah Aceh yang tidak dapat dipisahkan di hari makmuegang bahkan sudah berlaku berabad-abad yang lalu cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari makmuegang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting dan istimewa, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-samajuga sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu,
“ SI THOEN TAMITA, SI UROE TA PAJOH ”
Artinya : Setahun kita mencari rezeki/nafkah,sehari kita makan/nikmati
Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang seperti yang saya kutip dari Kompasiana memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging bisa melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo.
Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan bisa mencapai seratus lebih, sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma membutuhkan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa.
Memang meugang telah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya, kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membagi-bagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya.
Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahwa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo bisa dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual.
Tradisi hari makmuegang ini muncul bersamaan dengan penyebaran agam Islam di Aceh sekitar abad ke 14 Masehi, sesuai dengan ajaran Islam, datang hari-hari besar Islam yaitu bulan suci Ramadhan,Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha sebaiknya disambut secara meriah
Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari darat ,sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa hari makmuegang ini masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.
Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu. Dan tradisi masih juga dilakuakn oleh sebagian orang-orang kaya sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan paling tiding mengundang anak yatim kerumahnya.
Sebuah pepatah Aceh yang tidak dapat dipisahkan di hari makmuegang bahkan sudah berlaku berabad-abad yang lalu cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari makmuegang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting dan istimewa, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-samajuga sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu,
“ SI THOEN TAMITA, SI UROE TA PAJOH ”
Artinya : Setahun kita mencari rezeki/nafkah,sehari kita makan/nikmati
Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang seperti yang saya kutip dari Kompasiana memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging bisa melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo.
Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan bisa mencapai seratus lebih, sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma membutuhkan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa.
Memang meugang telah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya, kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membagi-bagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya.
Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahwa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo bisa dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual.
3.
Meugang memiliki
beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat
masyarakat Aceh:
Nilai Religius
Meugang
yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya
bulan Ramdhan yang penuh berkah.Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah
sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan
Ramadhan.Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih
karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Qurban.
Nilai Sedekah atau Nilai berbagi sesama
Sejak
zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen
berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada
masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap
dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya
hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon
wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang
Pemilu. Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan
Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di
pasar maupun pusat penjualan daging sapi. Para pengemis ini meminta sepotong
atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan
terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.
Nilai Kerbersamaan
Tradisi
Meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial
menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta,
serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih
memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk
berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi
penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara
saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.
Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.
Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.
Menghormati Orang Tua
Tradisi
yang telah kita diskusikan di atas tak hanya merepresentasikan kebersamaan
dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat
kepada mertuanya. Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan
dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan
mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi
nafkah keluarga serta menghormati mertuanya. Tak hanya para menantu, pada hari
Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan
mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan
dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai
penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak
mungkin untuk ditinggalkan. Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak
lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.
Pelaksanaan
tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh
mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam. Tradisi ini secara signifikan
juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga
secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai
kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara
bersama-sama. Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong
dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di
ranah pasar, yaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam.
·
Membuka
Lahan
Bagi masyarakat Aceh terdapat
sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat
Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500
meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada
daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter
dari tepi anak sungai (alue).
Selain itu, dalam adat Aceh
dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan
itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat
persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang,
jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau
tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang
digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan
akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô
tersebut.
Ada pula pantang daruet yang
maksudnya anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon,
mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam
suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun
(hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat
berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau
hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan
sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam
adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang
Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan
“hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah
larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar
durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang
dewasa dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain
semisal buah rambutan, durian, mangga, dll. walaupun tidak diketahui
pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi
cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
·
Turun tanah
Turun tanah adalah
salah satu upacara tradisional masyarakat Aceh. Upacara yang sangat erat
kaitannya dengan lingkaran hidup individu ini, jika dicermati secara seksama,
di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan, baik di dunia maupun akherat (alam baqa). Nilai-nilai itu, antara lain:
kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan.
Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan, nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: “Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”.
Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan, nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: “Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”.
·
Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat
sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam.
Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah
tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar,
dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi
menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan
itu dikenakan denda oleh keujruen blang.
·
Peusijuek
Pada
masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat telah memberikan tempat
yang istimewa dalam perilaku sosial dan agama. Hal ini dibuktikan dengan
ungkapan “Hukom ngon Adat Hanjeut cre Lagee zat Ngon Sifeut”. artinya
adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan (sudah menyatu) seperti
zat dengan sifatnya. Diumpamakan seperti kuku dengan daging, sehingga kaidah
Islam sudah merupakan bagian daripada adat.
Akan tetapi
adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam sebelumnya banyak terdapat pengaruh
Hindu. Hal ini terlukiskan pada zaman dahulu tatkala Aceh sebagai tempat
persinggahan lalu lintas pelayaran internasional, dalam rangka hubungan
perdagangan bahkan ada yang sampai menetap di Aceh.
\Masuknya
pengaruh Hindu ke dalam kebudayaan dan adat istadat Aceh, disebabkan karena
pernah terjadi suatu hubungan yang luas antara Aceh dan India pada masa lampau.
Sehingga ada beberapa kepercayaan dari masyarakat Aceh seperti peusijuek (tepung
tawari), upacara boh gaca, (memberi inai), kanduri blang (syukuran
ke sawah), upacara peutron aneuk (turun anak) dan lain-lain
dianggap bagian dari unsur budaya Hindu yang tidak pernah luntur dalam
kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Namun sejak masuknya Islam ke bumi Serambi
Mekkah, upacara / kepercayaan tersebut telah disesuaikan dengan nuansa
keIslaman. Segala sesuatu pekerjaan dimulai dengan bismillah dan doa selamat serta shalawat nabi.
Upacara Peusijuek disebut
juga tepung tawari. Pada masyarakat Aceh upacara ini dianggap upacara
tradisional simbolik dari permohonan keselamatan, ketentraman,
kebahagiaan, perestuan dan saling memaafkan. Hampir sebahagian adat Aceh adanya
prosesi upacara peusijuek. Seperti upacara perkawinan, sunat
rasul, peusijuek meulangga (perselisihan), peusijuek
pada bijeh (tanam padi),peusijuek rumah baroe (rumah
baru), peusijuek peudong rumoh (membangun rumah), peusijuek
keurubeuen (hari raya kurban), aqiqah anak, peusijuek
kenderaan (roda dua dan empat), peusijuek jak haji (naik
haji), peusijuek puduk batee jeurat (pemasangan batu nisan
bagi yang telah meninggal). Peusijuek Juga di lakukan tatkala
adanya pergantian seorang pemimpin dari perangkat desa sampai gubernur bahkan
setiap ada tamu kebesaran daerah juga adanya prosesi upacara peusijuek.
Biasanya
dalam pelaksanaan upacara peusijuek dihadirkan seorang Tengku (ulama)
atau atau orang yang dituakan (Majelis adat) sebagai pemimpin upacara. Hal ini
dilakukan karena dianggappeusijuek yang dilakukan salah satu unsur
tersebut memperoleh keberkatan dan setelah selesai upacara peusijuek adakalanya
diiringi dengan doa bersama yang dipimpin oleh Tengku untuk
mendapat berkah dan rahmat dari Allah SWT.
Macam-Macam
Upacara Peusijuek
1.
Peusijuk Meulangga Apabila
terjadi perselisihan di antara penduduk, misalnya antara A dan B ataupun antara
penduduk gampong (desa) A dengan penduduk gampong B serta
perselisihan ini mengakibatkan keluar darah, maka setelah diadakan perdamaian
dilakukan pula peusijuek. Peusijuek ini sering disebut dengan peusijuek
meulangga. Pada upacara itu juga sering diberikan uang, yang disebut sayam (uang
damai) yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perselisihan terjadi seperti
tersebut di atas, tetapi tidak mengeluarkan darah, misalnya perkelahian,
perdamaian dan upacara peusijuek dilakukan juga, tetapi tidak diberikan uang.
Pada peusijuek
Meulangga alat-alat yang dibutuhkan seperti dalong, bu leukat,
teumpo / u mirah, breueh pade, on sisijeuk, on manoe, naleueng sambo (ketiga-tiga
diikat menjadi satu), teupong taweue, glok / cuerana, sangee dan ija
puteh. (jika mengeluarkan darah). Biasanya apabila mencapai kesepakatan
damai antara kedua belah pihak, ikatan keluarga yang terjadi perselisihan akan
menjadi kuat bahkan telah dianggap sebagai sanak saudara.
2. Peusijuek Pade Bijeh
Acara peusijuek
pade bijeh ini dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan
benih (bibit) sebelum penyemaian di sawah. Tujuan daripada peusijuek ini
mengandung harapan agar bibit yang akan ditanam mendapat rakhmat Allah SWT,
subur dan berbuah banyak. Perangkat alat dan bahan yang digunakan dalam upacara
peusijuek ini adalah : on gaca, bak pineung, on kunyet, on nilam,
on birah, naleueng sambo, sira, saka, boh kuyuen dan minyeuk ata.
Peranannya adalah sebagai berikut : - On gaca (daun
pacar), sifatnya tahan panas dan tahan dari segala penyakit, sedangkan maknanya
adalah agar benih padi yang akan ditanami kuat dan tahan dari segala gangguan
hama, seperti halnya daun pacara tersebut. - Bak pineueng (pohon
pinang), sifat asalnya tumbuh tegak dan kuat. Maknanya ialah agar benih padi
tersebut akan tumbuh tegak dan kuat seperti halnya pohon pinang. - On
kunyet (daun kunyit), sifat asalnya tahan dari penyakit. Warnanya
kuning dan buahnya bersih, maknanya ialah agar benih padi tersebut tahan dari
segala serangan penyakit dan tumbuh subur seperti kunyit. - On nilam (daun
nilam), sifat asalnya apabila dibuat minyaknya harum sehingga orang banyak yang
senang. Maknanya ialah agar padi tersebut memiliki bentuk daun nilam, buah
padinya tumbuh subur. - On birah (daun keladi), daunnya yang
berwarna hijau dan tahan hujan, maknanya agar benih padi yang akan ditanam
menjadi seperti daun keladi tersebut dan tahan dari gangguan hama. - On
naleueng sambo (daun rumput panjang), sifatnya kokoh dan teguh,
akarnya kuat, sehingga tahan dari segala penyakit. Maknanya agar benih padi
tersebut memiliki daya tahan dari gangguan serangan penyakit. - Sira (garam).
Sifat sira adalah asin dan dapat menghancurkan bibit penyakit. Maknanya adalah
agar benih padi yang disemai memiliki sifat seperti garam, yaitu dapat menghancurkan
penyakit yang hinggap pada padi, sehingga tumbuh dengan subur. - Saka (gula).
Sifat saka adalah manis. Maknanya adalah agar padi yang akan disemai dapat
memberikan manfaat bagi orang yang menyemainya. - Boh kuyuen (jeruk
nipis) ; minyeuk ata (minyak wangi) dicampurkan dengan
air putih sehingga menjadi harum. Maknanya ialah benih padi itu diibaratkan
sebagai bayi yang baru lahir, memerlukan wangi-wangian. Orang-orang yang
menciumnya akan merasa senang dan segar. Demikian juga halnya dengan benih padi
yang diperlakukan seperti bayi, supaya tumbuh subur dan banyak orang yang
senang melihatnya. - Asap keumeunyan (kemenyan), dibakar
ketika padi menjelang direndam. Maknanya adalah agar padi dapat hidup dengan
leluasa dan sempurna serta cepat berbuah.
Peusijuk
menggunakan beberapa bahan yang memiliki makna tersendiri dalam adat peusijuk
tersebut, seperti :
• Campuran
air dan tepung tawar yang bertujuan agar sesuatu yang terkena percikan air
tersebut tetap dalam kesabaran dan ketenangan. Seperti air campuran tersebut
yang terus terasa dingin.
• Beras dan
padi yang bertujuan agar dapat subur, makmur, semangat. Seperti taburan beras
padi yang begitu semarak berjatuhan.
• Dedaunan
yang dipakai untuk peusijuk, yaitu on manek, manou dan naleung sambo yang bertujuan
melambangkan suatu ikatan yang terwujud dalam kesatuan hidup bermasyarakat.
Seperti beberapa jenis dedaunan yang berbeda yang bersatu dalam suatu ikatan.
• Ketan yang
bermakna sebagai lambang persaudaraan. Seperti halnya ketan yang selalu melekat
dengan bahan lainnya.
3. Peusijuk Tempat Tinggai
Setiap orang
yang mendiami rumah baru, kebiasaannya dilakukan upacara peusijuek.
Pelaksanaannya oleh beberapa orang terdiri dari tiga, lima orang dan seterusnya
dalam jumlah ganjil. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil berkah agar yang
tinggal di tempat ini mendapat ridha Allah mudah rezeki dan selalu dalam
keadaan sehat wal’afiat. Pada upacara ini alat-alat yang digunakan
adalah ; dalong, bu leukat, tumpo / u mirah, breueh pade, on
sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo (ketiga yang terakhir di ikat
menjadi satu), glok dan sangee.
4. Peusijuk Peudong Rumoh
Rumah adalah
salah satu kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, kegiatan membangun rumah
selalu dipilih pada hari baik. Demikian juga dalam memilih bahan-bahan rumah
yang dianggap baik. Selanjutnya, membangun rumah atau sering disebut peudong
rumoh diawali dengan upacara peusijuek. Yang di peusijuek biasanya adalah tameh
(tiang) raja, dan tameh putroe serta tukang yang mengerjakannya (utoh)
agar ia diberkati oleh Allah SWT. Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk
upacara peusijuek ini adalah : dalong, bu leukat, breueh pade,
teupong taweue, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, ija puteh dan ija
mirah, glok dan sangge.
4. Peusijuk Keurubeuen
Bagi orang Islam yang mampu, sering
memberikan kurban pada hari raya sesuai dengan hukum agama. Seekor hewan kecil
(kambing atau domba) cukup untuk korban bagi seorang, sedangkan tujuh orang
secara bersama-sama memberi korban seekor hewan besar (sapi). Perangkat yang
digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah sebagai berikut : dalong, boh
manok meuntah, teupong taweue, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe,
naleueng sambo, minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko,
gincu (lipstik), boh kayee (buah-buahan), tirai peunahan matahari, dan ija
puteh (kain putih). Semua bahan, termasuk alat-alat adalah untuk merapikan
tubuh domba oleh penyembelih (jagal) dipakai menurut kegunaannya masing-masing.
Menurut keyakinan masyarakat Aceh, bahan-bahan tambahan yang dipersiapkan untuk
peusijuek tersebut seperti minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen,
sugot, sikin cuko, gincu, boh kayee, tirai peunahan matahari, dan ija
puteh. Mempunyai makna dan fungsi di hari akhirat kelak. Di mana hewan yang
diperuntukkan untuk korban tadi nantinya akan menjadi kenderaan di hari akhirat
kelak dan fungsi dari bahan-bahan tersebut sebagai hiasan kenderaan.
6. Peusijuk Kendaraan Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan peusijuek. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan. Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang.
6. Peusijuk Kendaraan Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan peusijuek. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan. Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang.
Adapun
perlengkapan pada acara Peusijuek sebagai berikut :
1. Dalong
Pada masyarakat
Aceh, dalong mengandung makna bahwa mempelai yang dilepaskan akan tetap masih
bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkannya. Karena dalong merupakan
satu wadah yang diisi dengan bermacam-macam alat peusijuek sehingga dianggap
memiliki kebersamaan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan.
2. Bu Leukat
Warnanya
kuning ataupun putih. Makna dari ketan ini adalah mengandung zat perekat,
sehingga jiwa raga yang di peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga
atau kelompok masyarakatnya. Warna kuning dari ketan merupakan lambang kejayaan
dan kemakmuran, sedangkan warna putih melambangkan suci dan bersih. Maksudnya
supaya yang di peusijuek dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain
dan yang di peusijuek dalam ketentraman menuju jalan yang benar.
3. U mirah
Makna dari U
mirah adalah sebagai pelengkap dalam kehidupan dan memberikan perpaduan yang
manis.
4. Breueh pade
maknanya
adalah sifat padi itu semakin berisi makin merunduk, maka diharapkan bagi yang
di peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan dan peranan beras
ialah sebagai makanan pokok masyarakat.
5. Teupong Taweue ngon ie.
Makna dari
pada teupong taweue dan air adalah untuk mendinginkan dan membersihkan yang di
peusijuek supaya tidak akan terjadi hal-hal yang di larang oleh agama melainkan
mengikuti apa yang telah ditunjukkan yang benar oleh agama.
6. On sisikuek, manek manoe dan naleueng sambo
Ketiga jenis
perangkat ini di ikat dengan kokoh menjadi satu, yang peranannya sebagai alat
untuk memercikkan air tepung tawar. Makna tali pengikat dari semua perangkat
tersebut untuk mempersatukan yang di peusijuek sehingga dapat bersahabat dengan
siapapun dan selalu terjalin hubungan yang harmonis dan terbina. Sedangkan dari
masing-masing perangkat dedaunan merupakan obat penawar dalam menjalankan
bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan dengan bermusyawarah dan
berkepala dingin, bertanggung jawab dengan sepenuhnya dan dapat menjalin
hubungan yang erat dengan siapapun.
7. Glok
Peranannya
sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang sudah dicampur dengan air dan yang
satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi beras dan padi. Maknanya adalah jika
yang di peusijuek tersebut melakukan aktivitas sebaiknya hasil yang didapatkan
disimpan dengan sebaik-baiknya.
8. Sangee
Berperan
untuk menutup perlengkapan alat-alat tepung tawar. Maknanya untuk mengharap
perlindungan supaya yang di peusijuek mendapat lindungan dari Allah SWT.
f) MAKANAN TRADISIONAL
Mie Aceh
Mie Aceh adalah masakan mie pedas
khas Aceh di Indonesia. Mie kuning tebal dengan irisan daging sapi, daging
kambing atau makanan laut (udang dan cumi) disajikan dalam sup sejenis kari
yang gurih dan pedas. Mie Aceh tersedia dalam dua jenis, Mie Aceh Goreng
(digoreng dan kering) dan Mie Aceh Kuah (sup). Biasanya ditaburi bawang goreng
dan disajikan bersama emping, potongan bawang merah, mentimun, dan jeruk nipis.
saya sudah pernah makan nih, rasanya enak, banyak bumbunya.
Timphan
Timphan adalah kue/hidangan khas Aceh disaat
lebaran/hari raya baik hari raya Idul fitri maupun Idul Adha, Timphan ini
dibuat 1 atau 2 hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih
kurang seminngu,Timphan adalah menu hidangan utama buat tamu yang berkunjung
kerumah saat lebaran.
Bagi orang Aceh baik yang berada di Aceh sampai seluruh dunia tiada yang tidak mengenal ama kue/adonan yang satu ini,karena sudah menjadi tradisi turun temurun dan rahasia umum di Aceh bahwa yang namanya Timphan setiap ibu-ibu atau wanita di Aceh bisa membuatnya. Timphan yang merupakan makanan lembek berbalut daun pisang muda ini yang paling terkenal adalah Timphan rasa srikaya. Sebelum menjelang lebaran bisanya ibu-ibu sudah menyiapkan daun pisang muda baik memetik di kebun atau beli dipasar. Saking terkenalnya Timphan ini di Aceh, sehingga banyak ungkapan/pribahasa dengan kata Timphan diantaranya yaitu “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” ( Hari baik bulan baik Timphan ibu buat harus dapat kurasakan).
Bagi orang Aceh baik yang berada di Aceh sampai seluruh dunia tiada yang tidak mengenal ama kue/adonan yang satu ini,karena sudah menjadi tradisi turun temurun dan rahasia umum di Aceh bahwa yang namanya Timphan setiap ibu-ibu atau wanita di Aceh bisa membuatnya. Timphan yang merupakan makanan lembek berbalut daun pisang muda ini yang paling terkenal adalah Timphan rasa srikaya. Sebelum menjelang lebaran bisanya ibu-ibu sudah menyiapkan daun pisang muda baik memetik di kebun atau beli dipasar. Saking terkenalnya Timphan ini di Aceh, sehingga banyak ungkapan/pribahasa dengan kata Timphan diantaranya yaitu “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” ( Hari baik bulan baik Timphan ibu buat harus dapat kurasakan).
g) KERAJINAN
Anyaman
Ulos
Ulos kini
hanya digunakan pada upacara-upacara tertentu, meskipun demikian, semangat
untuk melestarikan Ulos tetap diupayakan agar Ulos tak menghilang begitu saja
ditelan perubahan jaman.
Salah
satunya adalah upaya untuk membuat Ulos lebih nyaman digunakan dengan
mengembangkan material yang digunakan untuk membuat Ulos. Dari benang katun
kasar, mulai diganti ke serat yang lebih halus sehingga makin nyaman untuk
digunakan.
Anyaman Pandan
Seukeu
(dalam bahasa Aceh) disebut juga dengan daun pandan adalah bahan baku yang
sering digunakan dalam membuat kerajinan anyaman. Dahulu, anyaman pandan ini
hanya digunakan untuk membuat tikar saja, namun kini berbagai macam barang
dapat dihasilkan dari anyaman pandan ini antara lain, aneka tas, sandal, sarung
bantal kursi dan lain sebagainya.
Nepa
Nepa adalah sejenis
gerabah yang dalam bahasa Gayo mempunyai arti meratakan tanah liat. Kerajinan
Nepa banyak ditemukan di kabupaten Aceh Tengah. Gerabah ini pada umumnya dalam
masyarakat Gayo digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti: periuk (Kuren)
untuk memasak nasi dengan tutupnya (Kiup), untuk memasak sayur (Belanga),
Piring (Capah), Cangkir (Cerek)
h) SUKU / ETNIS
·
Suku Aceh
Suku Aceh adalah nama
sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa
yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan
bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa
Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda. Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda. Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.
·
Suku Gayo
Suku Gayo adalah sebuah
suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh. Suku Gayo secara
mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3
kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang
Jernih.Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh
Tamiang dan Aceh Tenggara.Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat
dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
·
Suku Aneuk Jamee
Suku Aneuk Jamee adalah
sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh. Dari
segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau.
Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan
dari Suku Aneuk Jamee, terutama yang mendiami kawasan yang didominasi oleh Suku
Aceh, misalnya di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Bahasa Aneuk Jamee hanya
dituturkan di kalangan orang-orang tua saja dan saat ini umumnya mereka lebih
lazim menggunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan sehari-hari (lingua
franca). Adapun asal mula penyebutan "Aneuk Jamee" diduga kuat
dipopulerkan oleh Suku Aceh setempat, sebagai wujud dari sifat keterbukaan
Orang Aceh dalam memuliakan kelompok warga Minangkabau yang datang mengungsi
(eksodus) dari tanah leluhurnya yang ketika itu berada di bawah cengkraman
penjajah Belanda. Secara harfiah, istilah Aneuk Jamee berasal dari Bahasa Aceh
yang berarti "anak tamu".
·
Suku Singkil
Suku Singkil adalah
sebuah suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan dan kota
Subulussalam di propinsi Aceh. Kedudukan
suku Singkil sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah termasuk dalam suku
Pakpak suak Boang atau berdiri sebagai satu suku yang tersendiri terpisah dari
suku Pakpak.
·
Suku Tamiang
Penduduk utama
kabupaten Aceh Tamiang adalah suku Melayu atau lebih sering disebut Melayu
Tamiang.Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu
yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan
masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari
Aceh.Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir
timur Sumatera lainnya.
·
Suku Alas
Suku Alas merupakan
salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang
juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti
"tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang
membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas
dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
Sebagian besar suku Alas
tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas
merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun
karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu,
rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah
kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Kampung atau desa orang
Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan,
yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang
sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka
menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka
juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.
Suku Alas 100% adalah
penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan
misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan
latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil
baik atau terhindar dari hama.
·
Suku Kluet
Suku Kluet adalah
sebuah suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu
kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur.
·
Suku Devayan
Suku Devayan merupakan
suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami kecamatan
Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.
·
Suku Sigulai
Suku Sigulai merupakan
suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara. Suku ini terdapat
di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan Salang.
·
Suku Batak Pakpak
Suku Pakpak adalah
salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar
di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yaki di Kabupaten
Dairi,Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara),
Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Prov.Aceh.
Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan Istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari :
Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan Istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari :
1.Pakpak
Klasen(Kab. Humbang Hasundutan Sumut].
2.Pakpak
Simsim(Kab.Pakpak Bharat-sumut).
3.Pakpak
Boang (Kab.Singil dan kota Sabulusalam-Aceh).
4.Pakpak
Pegagan (Kab.Dairi-sumut).
5.Pakpak
Keppas (Kab.Dairi sumut).
Dalam administrasi
pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera
Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni: Kabupaten Dairi (ibu kota:
Sidikalang)
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak). Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang. Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan.
Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan). Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak). Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang. Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan.
Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan). Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
·
Suku Haloban
Suku Haloban merupakan
suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau
Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari 7
desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.
·
Suku Lekon
Suku Lekon adalah
sebuah suku bangsa yang terdapat di kecamatan Alafan, Simeulue di provinsi
Aceh. Suku ini terdapat di desa Lafakha dan dan Langi.
i)
BAHASA DAERAH
·
Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah
yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan
yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi
NAD (Daud, 1997:10, Daud and Durie, 1999:1). Penutur bahasa Aceh tersebar di
wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah
mereka yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Kota Madya Banda Aceh, Kabupaten
Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur,
Kabupaten Aceh Barat dan Kota Madya Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat
di beberapa wilayah dalam Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala
Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan
Bakongan. Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita
dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di
luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga
kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai
bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di
Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia
(Daud, 1997:30).
·
Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini
sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun
kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh.
Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten
Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di
kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini
mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
·
Bahasa Alas
Bahasa ini
kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis
Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, di
sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai
Singkil di Kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa
Alas. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah
mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lawe Sigala-gala,
Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar (Abdullah, dkk, 1987:2).
·
Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam
bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa
Melayu yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah
Kabupaten Aceh Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed ( yang merupakan
wilayah bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni
bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu
masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
·
Bahasa Aneuk
Jamee
Bahasa ini sering juga
disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa
Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk
yang mendiami wilayah-wilayah Susoh, Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan
Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan, menurut Wildan (2002:2), bahasa
ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Singkil
dan Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway 16 (Desa Peunaga Rayek, Rantau
Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Ranto Kleng), serta di Kecamatan Johan
Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa
yang lahir dari assimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke
wilayah pantai barat Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni
bahasa Aceh. Nama Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, thus
‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada bahasa ini adalah refleksi yang
tersirat dari makna masyarakat pendatang itu sendiri. Bahasa ini dapat disebut
sebagai variant dari bahasa Minang.
·
Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan
bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah Kecamatan Kluet Utara dan Kluet
Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama
kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh
secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui
tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet
dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam
bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah
mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran
bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi
·
Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa
Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk
penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi
sebagian masyarakat di Kabupaten Singkil. Saya katakana sebagian, karena kita
dapati ada sebagian lain masyarakat di Kabupaten Singkil yang menggunakan
bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada
juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya
di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu
masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa
Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai
bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain
bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistics, masyarakat Singkil
adalah satu-satunya kelompok masyarkat di provinsi NAD yang paling pluralistik
dalam hal penggunaan bahasa.
·
Bahasa Haloban
Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang
digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami
Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku (Wildan, 2002:2). Bahasa ini
kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat
di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika
uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera
dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan
kenangan para peneliti bahasa daerah.
·
Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah
salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di
pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian
Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, Asyik & Daud, dkk (2000:1) menemukan
bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian
bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa
di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue.
Padahal di Kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa
Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa
Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah
bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2000:2) misalnya, mengatakan bahwa di pulau
Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini
memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah Kecamatan
Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di Kecamatan Tepah Selatan, serta dialek
Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kecataman Simeulue Barat dan
Kecamatan Salang. Dari beberapa anggota masyarakat pulau simeulue yang kami
hubungi, kami peroleh informasi bahwa ketiga bahasa yang ada di pulau tersebut
merupakan bahasa yang berbeda dan terpisah.
2. PROVINSI SUMATERA UTARA
Sumatera
Utara adalah sebuah provinsi
yang terletak di Pulau Sumatera,
Indonesia dan beribukota di Medan.
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100°
Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 70.787 km².
Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas:
- Pesisir
Timur
- Pegunungan
Bukit Barisan
- Pesisir
Barat
- Kepulauan
Nias
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi
yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif
lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan
wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah
lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda,
wilayah ini termasuk residentie
Sumatra's Oostkust bersama provinsi Riau.
Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan
ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk.
Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir,
merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Pesisir barat merupakan wilayah yang cukup
sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak,
Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini
masuk ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau.
Sumatera
Utara merupakan provinsi yang kaya akan kebudayaan, berikut kebudayaan provinsi
Sumatera Utara :
a) SENI ARSITEKTUR
Bolon Batak Toba
Rumah adat Karo memunyai ciri-ciri serta bentuk yang khusus. Rumah ini
sangat besar dan didalammya terdapat ruangan yang luas , tidak mempunyai
kamar-kamar. Namun mempunyai bagian-bagian yang ditempati oleh keluarga batih
atau jabu tertentu. Rumah adat berdiri di atas tiang-tiang besar serupa rumah
panggung yang tingginya kira-kira dua merter lebih dari tanah. Lantai dan
dinding dari papan yang tebal dan letak dinding rumah agak miring keluar,
mempunyai dua buah pintu menghadap ke sebelah barat satu lagi ke sebelah Timur.
Tangga masuk ke rumah juga ada dua sesuai dengan letak pintu dan terbuat
dari bambu bulat. Menurut kepercayaan mereka, jumlah anak tangga harus ganjil.
Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat,
besar dan kuat disebut Ture. Ture ini digunakan untuk anak gadis bertenun.
Sedang pada malam hari Ture atau seambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki
atau tempat perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu kasih.
Sesuai dengan atapnya, rumah adat karo terdiri dari dua macam, yaitu
rumah adat biasa dan rumah anjung-anjung. Pada rumah adat biasa mempunyai dua
ayo-ayo dan dua tanduk kepala kerbau. Sedangkan pada rumah anjung-anjung
terdapat paling sedikit ayo-ayo dan tanduk kepala kerbau.
Teknologi tradisional lainnya yang masih ada adalah Sapo Page yang artinya lumbung padi. Bentuk Sapo Page adalah seperti rumah adat. Letaknya di halaman depan rumah adat. Tiap-ttiap Sapo Page milik dari beberapa jambu atas rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang . Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristerahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas mempunyai dinding untuk menyimpan padi.
a)
PAKAIAN ADAT
Pakaian tradisional Sumatera Utara biasa
disebut dengan Ulos. Pakaian adat Ulos dianggap oleh masyarakat suku Batak Karo
sebagai ajimat yang mempunyai daya magis tertentu.
Sumatera
Utara yang beribukota di Medan adalah provinsi multietnis dimana ada beberapa
etnis yang mendominasi yaitu dengan suku Batak, Nias serta etnis Melayu sebagai
penduduk asli yang ada wilayah Sumatra Utara. Wilayah pesisir bagian timur
provinsi Sumatera Utara, sebagian besar dihuni oleh masyarakat Melayu. Wilayah
pantai barat mulai dari Barus sampai Natal, banyak di huni oleh orang
Minangkabau. Sedangkan untuk wilayah tengah sekitar daerah Danau Toba, banyak
didiami oleh Suku Batak. Sedangkan Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat.
Berikut ini adalah Pakaian Adat Indonesia yang berasal dari provinsi
SumatraUtara.
Pakaian Tradisional Sumatera Utara juga
beragam, Semua etnis yang ada di Sumatera Utara memiliki nilai budaya
sendiri-sendiri dan semuanya itu menjadi keunikan budaya sumatera utara,
seperti adat istiadat, tarian daerah, Makan, pakaian adat serta bahasa daerah
masing-masing. Dari beragam Budaya Sumatera Utara ini tentunya sangat mendukung
sekali untuk promosi tempat wisata Sumatera Utara.
Dengan
melihat gambar pakaian adat tradisional daerah sumatera utara ini, moga
menambah wasasan kita tentang Budaya Indonesia, bahwa negara kita memiliki
keunikan budaya yang pantas di benggakan. Pakaian adat tradisional Sumatera
Utara tentu semakin menambah kekayaan Pakaian Tradisional Indonesia
b)
SENJATA TRADISIONAL
Piso Gaja Dompak
Piso,
artinya pisau. Runcing dan tajam, mengarit dan memotong. Ada juga
yang mengartikan berbeda, piso dapat juga disebutkan untuk wajah yang
agak runcing, mata yang tajam.
yang mengartikan berbeda, piso dapat juga disebutkan untuk wajah yang
agak runcing, mata yang tajam.
Runcing
adalah benda yang dengan mudah untuk melakukan tusukan. Dalam
bahasa Batak disebut rantos. Rantos adalah ketajamannya. Dalam masyarakat
Rantos adalah ketajaman berpikir, kecerdasan intelektual hingga
kejeniusan seseorang diartikan sebagai ketajaman melihat sesuatu
permasalahan, peluang dan kecerdasan mengambi kesimpulan dan tindakan.
bahasa Batak disebut rantos. Rantos adalah ketajamannya. Dalam masyarakat
Rantos adalah ketajaman berpikir, kecerdasan intelektual hingga
kejeniusan seseorang diartikan sebagai ketajaman melihat sesuatu
permasalahan, peluang dan kecerdasan mengambi kesimpulan dan tindakan.
Pemimpin
Batak diharapkan memiliki kecerdasan intelektual untuk handal
melakukan tindakan bermanfaat untuk semua kalangan. Dalam berstruktur,
kecerdasan berpikir individu dapat dihimpun dengan kesepakatan akhir.
Kesepakatan yang menjadi keputusan itu disebut tampakna. Marnatampak
artinya duduk bersama, bermusyawarah. Hasil keputusan bersama adalah
hasil ketajaman pikiran, kecerdasan dan itelektual orang Batak. Hasil
keputusan ini diandalkan mampu melakukan penetrasi saat operasional.
Inilah yang disebut tampakna do rantosna, rim ni tahi do gogona. Hasil
kesepakatan adalah keputusan intelektual yang handal dan dengan
bersama-sama menjadi kekuatan operasionalnya.
melakukan tindakan bermanfaat untuk semua kalangan. Dalam berstruktur,
kecerdasan berpikir individu dapat dihimpun dengan kesepakatan akhir.
Kesepakatan yang menjadi keputusan itu disebut tampakna. Marnatampak
artinya duduk bersama, bermusyawarah. Hasil keputusan bersama adalah
hasil ketajaman pikiran, kecerdasan dan itelektual orang Batak. Hasil
keputusan ini diandalkan mampu melakukan penetrasi saat operasional.
Inilah yang disebut tampakna do rantosna, rim ni tahi do gogona. Hasil
kesepakatan adalah keputusan intelektual yang handal dan dengan
bersama-sama menjadi kekuatan operasionalnya.
Gaja Dompak
adalah sebutan untuk bentuk ukiran yang berpenampang gajah.
Pisao Gaja Dompak adalah pisau yang mempunyai ukiran pada tangkai. Ukiran
tersebut Gaja Dompak
Pisao Gaja Dompak adalah pisau yang mempunyai ukiran pada tangkai. Ukiran
tersebut Gaja Dompak
c)
KESENIAN
·
Tari Tor-Tor
Tor-Tor berasal
dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari
bergerak dengan iringan Gondang.
Sejarah dan
Makna
Menurut Togarma Naibaho, pendiri
Sanggar budaya Batak, Gorga, kata Tor-tor berasal dari suara
entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan
iringan Gondang yang juga berirama mengentak. \\\"Tujuan tarian ini dulu
untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini
memiliki proses ritual yang harus dilalui,\\\" (Mengupas Sejarah dan Makna
Tari Tor-Tor, National Geographic Indonesia, 14/6/2012).
Dalam Tari Tor-Tor ada tiga pesan ritual yang utama. Pertama-tama, takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur, imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Dalam Tari Tor-Tor ada tiga pesan ritual yang utama. Pertama-tama, takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur, imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi
di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai
di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi
tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.
Memang belum ada buku yang
mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun,
ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada
pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.Meski
demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami
pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya
bisa tercatat hingga ke Babilonia.
Gondang
Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan
dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang
Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.
Jumlah gendang ini merupakan yang
terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti
Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah,
dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.
Gendang ini juga punya ciri khas
lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari
kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat.
Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara,
imbuh Togarma.
Gerakan dan
Jenis Tari Tor-Tor
Gerakan tarian ini seirama dengan
iringan musik (magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik
tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain.
Menurut sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan \\\"masuk\\\" ke patung-patung batu (merupakan simbol leluhur).Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.Jenis tari tor tor beragam. Ada yang dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya. Selanjutnya ada tari tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja.
Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Terakhir, ada tor tor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah.
Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah. Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia.
Menurut sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan \\\"masuk\\\" ke patung-patung batu (merupakan simbol leluhur).Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.Jenis tari tor tor beragam. Ada yang dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya. Selanjutnya ada tari tor tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja.
Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Terakhir, ada tor tor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah.
Tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah. Dahulu, tarian ini juga dilakukan untuk acara seremoni ketika orangtua atau anggota keluarganya meninggal dunia.
Ragam
Tor-tor
Jenis tarian tor-tor banyak
ragamnya, yakni:
1. Tor tor
Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar.
Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu dibersihkan
dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya.
2. Tor tor
Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan
seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi di sebuah
telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu
sasarung (Pisau tujuh sarung).
3. Tor tor
Tunggal Panaluan . Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah. Tunggal
panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk
mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan
kesaktian Debata Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah.
Tor-Tor pada jaman sekarang untuk
orang Batak tidak lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi menjadi
sebuah seni karena Tor-Tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat
orang Batak.
Tor-tor
adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang. Tor-tor bukan
semata-mata sei tari seperti yang lainnya, melainkan lebih bersifat ibadat dan
sacral. Menurut sejarahnya, tari tor-tor digunakan dalam acara ritual yang
berhubungan dengan rroh. Roh tersebut dipanggil dan masuk kepatung-patung batu
(merupakan symbol dari leluhur). Kemudian, patung tersebut bergerak seperti
menari, tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki
(jinjit-jinjit) dan gerakan tangan. Bagi orang BatakTor tor pada zaman sekarang
tidak lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi sebuah seni karena Tor
tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Gerakan
pada tarian Tor-tor dilakukan seirama dengan iringan music (Margondang) yang
dimainkan dengan alat-alat music tradisional, seperti gondang, suling, terompet
batak, dan lain-lain. Tor-tor umumnya dilakukan secara bersama-sama. Semua
penarinya menggunakan ulos. Kadang-kadang tarian ini diselingi dengan gerakan
perorangan yang silih berganti. Gerakannya juga lebih menjunjung dalihan natolu, dimana beberapa pihak
saling menjunjung, saling menghormati, serta lebih anggun dan berwibawa.
Terdapat
beberapa jenis Tor-tor yakni
1. Tor-tor Panguarson (tari pembersihan)
Tari
ini biasanya digelar pada saat pesta besar. Tujuannya untuk membersihkan tempat
pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk
purut.
2. Tor-tor Sipitu Cawan (Tari Tujuh Cawan)
Tari
ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tarian ini mengisahkan
tujuh putrid kahyangan yang mandi disebuah telaga dipuncak gunung Pusuk Buhit
bersamaan dengan datangnya piso sipitu
sasarung (pisau tujuh sarung).
3. Tor-tor Tunggal Panaluan
Tari
ini merupakan suatu budaya ritual yang biasanya digelar apabila suatu desa
dilanda musibah. Tanggal penaluan ditarikan oleh para dukun untuk mencari
petunjuk dalam mengatasi masalah tersebut. Sebab tongkat tanggal penaluan adalah perpaduan kesaktian
Debata Notolu yaitu Banua Gijjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah), dan
Banua Toru (dunia bawah).
Tari Tor-tor biasanya dilakukan apabila ada upacara
penting dalam kehidupan orang Batak. Diantaranya pada saat melaksanakan horja
seperti menikahkan anak, martutuaek (memandikan
atau memberi nama anak), memasuki rumah baru, pesta saring-saring (upacara
mamungkal holi), pesta bius (mangase taon), dan pesta endangedang. Dalam
perkemabngannya, makna tari Tor-tor disesuaikan dengan tema acara adat yang
sedang dilakukan. Biasanya untuk lebih memeriahkan tari Tor-tor sebagian
audensi memberikan saweran kepada penari Tor-tor.
·
Tari Serampang
Dua Belas
ASAL-USUL
TARI
Tari Serampang Duabelas merupakan
tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Tarian
ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan diubah ulang oleh penciptannya
antara tahun 1950-1960. sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama
Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu
lagu Pulau Sari.
Tarian ini merupakan jenis tari
tradisional yang dimainkan sebagai tari pergaulan. Sedikitnya ada dua alasan
mengapa nama Tari Pulau Sari diganti Serampang Duabelas. pertama, nama
Pulau Sari kurang tepat karena tarian ini bertempo cepat (quick step).
Menurut Tengku Mira Sinar, nama tarian yang diawali kata ’’pulau’’ biasanya
bertempo rumba, seperti Tari Pulau Kampai dan Tari Pulau Putri. Sedangkan Tari
Serampang Duabelas memiliki gerakan bertempo cepat seperti Tari Serampang Laut.
Berdasarkan hal tersebut, Tari Pulau Sari lebih tepat disebut Tari Serampang
Duabelas. Nama duabelas sendiri berarti tarian dengan gerakan tercepat diantara
lagu yang bernama Serampang. Kedua, penamaan Tari Serampang Duabelas
merujuk pada ragam gerak tarianya yang berjumlah 12, yaitu :
Pertemuan
pertama
Cinta
meresap
Memendam
cinta
Menggila
mabuk kepayang
Isyarat
tanda cinta
Balasan
isyarat
Menduga
Masi belum
percaya
Jawaban
Pinang-meminang
Mengantar
pengantin
Pertemuan
kasih
Menurut
Tengku Mira Sinar, Tarian ini merupakan hasil perpaduan gerak antara tarian
Portugis dan Melayu Serdang. Pengaruh Portugis dapat dilihat pada keindahan
gerak tarinya dan kedinamisan irama musik pengiringnya. Tari Serampang Duabelas
berkisah tentang cinta suci anak manusia yang muncul sejak pandangan dan
diakhiri dengan pernihkahan yang direstui ole kedua orang tua sang dara dan
teruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati, maka tarian ini
biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan.
Namun,
PERKEMBANG
TARI
Pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh
laki-laki karena kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan tampil di
depan umum, apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya. Diperbolehkannya
perempuan memainkan Tari Serampang Duabelas tidak hanya berkembang dan dikenal
oleh masyarakat di wilayag kesultanan Serdang, tetapi juga menyebar ke berbagai
daerah di Indonesia, seperti Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai
ke Maluku. Selain dikenal dan dimainkan diseluruh tanah ai, Tari Serampang
Duableas juga terkenal dan sering dibawakan di beberapa Negara tentangga
seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Hongkong. Keberadaan Tari Serampang
Duabelas karya Sauti ini, mendapat sambutan yang luar biasa di seluruh
tanah air dan Negara tetangga. Seiring dengan perkembangan ini, Pemerintah
daerah Kabupaten Serdang Bedagai inisiatif untuk melindungi hak cipta
Tari Serampang Duabelas. Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan kembali pada
masyarakat banyak tentang asal muasal dari tari ini, sehingga generasi muda
tahu dan mengerti. Selain itu, diadakan juga berbagai pagelaran lomba Tari
Serampang Dua Belas terutama untuk kalangan masyarakat yang berada di kawasan
Kabupaten Serdang Bedagai.
TOKOH PEMBINA
Tarian ini diciptakan oleh Sauti
pada era 1940-an dan diubah ulang antara tahun 1950-1960. Sauti lahir tahun
1903 di Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai ketika menciptakan Tari
Serampang Duabelas sedang bertugas di Dinas PP dan K Provinsi Sumatera Utara.
Atas inisiatif dari Dinas yang menaunginya, Sauti diperbantukan menjadi guru
diperwakilan Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara di Medan. Pada masa itulah Sauti
juga berhasil menggubah beberapa tari lain, yaitu jenis Tiga Serangkai yang
terdiri dari Tari Senandung dengan lagu Kuala Deli, Tari Mak Inang dengan
lagu Pulau Kampai, dan Tari lagu Dua dengan lagu Tanjung Katung.
FUNGSI TARI
Fungsi tai ini
adalah sebagai tari pergaulan dikalangan muda mudi melayu. Selain itu, diadakan
juga berbagai pagelaran lomba Tari Serampang Duabelas terutama untuk kalangan
masyarakat yang berada dikawasan Kabupaten Serdang Bedagai.
MUSIK PENGIRING
TARI
Pada awalnya
musik pengiring tari masih menggunakan peralatan musik tradisional. Namun
seiring perkembangan zaman peralatan musik yang digunakan semakin beragam.
BUSANA TARI
Biasanya tarian
ini menggunakan pakaian adat melayu di pesisir timur pulau sumatera walaupun
bukan peralatan yang utama, keberadaan pakaian ini sangat penting. Ada
dua alasan yaitu pertama warna pakaian yang berwarna warni dan kedua
penggunaan pakaian adat menunjukkan asal Tarian Serampang Duabelas
PENARI
Pada awal
perkembanganya Tari Serampang Duabelas ditarikan oleh laki-laki secara
berpasangan sedangkan kaum perempuan belum boleh ikut menari karena menari
berarti akan memperlihatkan lekuk tubuh merekn dan itu dilarang, namun pada
zaman sekarang tarian ini ditarikan oleh laki-laki maupu perempuan secara
berpasangan.
KEISTIMEWAAN
Nama Tari Serampang Dua Belas
sebetulnya diambil dari dua belas ragam gerakan tari yang bercerita tentang
tahapan-tahapan proses pencarian jodoh hingga memasuki tahap perkawinan.
Ragam I adalah
permulaan tari dengan gerakan berputar sembari melompat-lompat kecil yang
menggambarkan pertemuan pertama antara seorang laki-laki dan perempuan. Gerakan
ini bertutur tentang pertemuan sepasang anak muda yang diselingi sikap penuh
tanda tanya dan malu-malu.
Ragam II adalah
gerakan tari yang dilakukan sambil berjalan kecil, lalu berputar dan berbalik
ke posisi semula sebagai simbol mulai tumbuh benih-benih cinta antara kedua
insan. Ragam II ini bercerita tentang mulai tumbuhnya rasa suka di antara dua
hati, akan tetapi mereka belum berani untuk mengutarakannya.
Ragam III memperlihatkan
gerakan berputar (tari Pusing) sebagai simbol sedang memendam cinta. Dalam
tarian ini nampak pemuda dan pemudi semakin sering bertemu, sehingga membuat
cinta makin lama makin bersemi. Namun, keduanya masih memendamnya tanpa dapat
mengutarakannya. Gerakan dalam tarian ini menggambarkan kegundahan dua insan
yang memendam rasa.
Ragam IV dilakukan
dengan gerakan tarian seperti orang mabuk sebagai simbol dari dua pasang
kekasih yang sedang dimabuk kepayang. Gerak tari yang dimainkan dengan
melenggak-lenggok dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Pada ragam ini
(Tahap IV) proses pertemuan jiwa sudah mulai mendalam dan tarian ini
menggambarkan kondisi kedua insan yang sedang dimabuk kepayang karena menahan
rasa yang tak kunjung padam.
Ragam V dilakukan
dengan cara berjalan melenggak-lenggok sebagai simbol memberi isyarat. Pada
ragam ini, perempuan berusaha mengutarakan rasa suka dan cinta dengan memberi
isyarat terhadap laki-laki, yaitu dengan gerakan mengikuti pasangan secara
teratur. Gerakan tari pada Ragam V ini sering juga disebut dengan ragam gila.
Ragam VI merupakan
gerakan tari dengan sikap goncet-goncet sebagai simbol membalas isyarat
dari kedua insan yang sedang dilanda cinta. Pada ragam ini, digambarkan pihak
laki-laki yang mencoba menangkap isyarat yang diberikan oleh perempuan dengan
menggerakkan sebelah tangan. Si pemuda dan pemudi kemudian melakukan tarian
dengan langkah yang seirama antara pemuda dan pemudi.
Gerakan Tari Serampang Dua Belas.
Ragam VII dimulai
dengan menggerakkan sebelah kaki kiri/kanan sebagai simbol menduga. Hal ini
menggambarkan terjadinya kesepahaman antara dua pasang kekasih dalam menangkap
isyarat yang saling diberikan. Dari isyarat ini mereka telah yakin untuk
melanjutkan kisah yang telah mereka rajut hingga memasuki jenjang perkawinan.
Setelah janji diucapkan, maka sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara
tersebut pulang untuk bersiap-siap melanjutkan cerita indah selanjutnya.
Ragam VIII dilakukan
dengan gerakan melonjak maju-mundur simbol proses meyakinkan diri. Gerakan ini
dilakukan dengan melompat sebanyak tiga kali yang dilakukan sembari
maju-mundur. Muda-mudi yang telah berjanji, mecoba kembali meresapi dan mencoba
meyakinkan diri untuk memasuki tahap kehidupan selanjutnya. Gerakan tari
dilakukan dengan gerak bersuka ria yang menunjukkan sepasang kekasih sedang
asik bersenda-gurau sebelum memasuki jenjang pengenalan dengan kedua keluarga
besar.
Ragam IX adalah
gerakan tari yang dilakukan dengan melonjak sebagai simbol menunggu jawaban.
Gerakan tari menggambarkan upaya dari muda-mudi untuk meminta restu kepada
orang tua agar menerima pasangan yang mereka pilih. Kedua muda-mudi tersebut
berdebar-debar menunggu jawaban dan restu orang tua mereka.
Ragam X menggambarkan
gerakan saling mendatangi sebagai simbol dari proses peminangan dari pihak
laki-laki terhadap perempuan. Setelah ada jawaban kepastian dan restu dari
kedua orang tua masing-masing, maka pihak pemuda mengambil inisiatif untuk
melakukan peminangan terhadap pihak perempuan. Hal ini dilakukan agar cinta
yang sudah lama bersemi dapat bersatu dalam sebuah ikatan suci, yaitu
perkawinan.
Ragam XI memperlihatkan
gerakan jalan beraneka cara sebagai simbol dari proses mengantar pengantin ke
pelaminan. Setelah lamaran yang diajukan oleh pemuda diterima, maka kedua
keluarga akan melangsungkan perkawinan. Gerakan tari biasanya dilakukan dengan
nuansa ceria sebagai ungkapan rasa syukur menyatunya dua kekasih yang yang
sudah lama dimabuk asmara menuju pelaminan dengan hati yang berbahagia.
Memadukan sapu tangan, pertanda menyatunya dua hati
Ragam XII atau ragam
yang terakhir dimainkan dengan menggunanan sapu tangan sebagai sebagai simbol
telah menyatuya dua hati yang saling mencintai dalam ikatan perkawinan. Pada
ragam ini, gerakan tari dilakukan dengan sapu tangan yang menyatu yang
manggabarkan dua anak muda sudah siap mengarungi biduk rumah tangga, tanpa
dapat dipisahkan baik dalam keadaan senang maupun susah.
Ragam tarian yang dimainkan dalam
Tari serampang Dua Belas bertambah indah dan menarik dengan komposisi pakaian
warna-warni yang dipakai para penarinya. Lenggak-lenggok para penari begitu
anggun dengan berbalut kain satin yang menjadi ciri khas pakaian adat dari
masyarakat Melayu di pesisir pantai timur Pulau Sumatra. Sapu tangan melengkapi
perpaduan pakaian tersebut yang kemudian dipergunakan sebagai media tari pada
gerakan penutup Tari Serampang Dua Belas.
·
Tari Baluse
Tari baluse adalah tarian khas yang berasal dari suku Nias yang
melambangkan kegagahan saat di medan perang.
·
Tari Manduda
Tari Manduda merupakan tarian yang berasal daru Sumatera utara. Tarian ini
melambangkan suka cita saat sedang panen raya.
·
Lagu Daerah - Anju Ahu
Anju ahu sai anju ahu ale
anggi
Dina muruk manang marsak
rohangki
Nang so hupa boa arsak nadi
roha
Holongni rohangku sai hot doi
Anju ahu sai anju ahu ale
anggi
Engkelmi mambahen pa sonang
rohangkai
Tung saleleng ahu dilambung mi
Anju ahu sai anju ahu ale
anggi
·
Lagu Daerah - Piso Surit
Piso surit… piso surit…
Terdilo dilo… terpingko pngko…
Lalap la jumpa raas atena
ngena
Ija kel kena tengahna gundari
Siangna menda turag antenna
wari
Entabeh nari nge mata kena
tertuduh
Kami nimaisa turang tangis
teriluh
Engo engo me dagena
Mulih me gelah kena
Bage me nindu rupa agi kakana
Tengah kesain keri lengetna
Remang mekapal turang seh kel
bergehna
Tekuak manuk ibabo geligar
Enggo me selpat kirang
kite-kite ku leper
Piso surit… piso surit…
Tardilo dilo… terpingko
pingko…
Lalap la jumpa ras atena ngena
Engo engo me dagena
Mulih me gelah kena
Bage me nindu rupa agi kakana
·
Lagu Daerah - Sitara Tillo
Au sijara jiri nasohea maridi
sa hali
Au maidi dapot au pirami
Bibi hei bibi hei bibi hei
bibi hei
Tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Au sijara jiri nasohea maridi
sahali
Au maridi dapot au pirami bihi
Tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Au sitangkal tabu nasohea
maridi sahali
Madabu tuabingan nina marbaju
Hei baju hei baju hei baju hei
Tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
Stara tillo tillo
La la la la la la la la la la
la la
La la la la la la la la la la
la la
La la la la la la la la la la
la la
Laaaaaaaaaaa laaaaaaaaaaa
d) ADAT
ISTIADAT
·
Tradisi Lompat Batu
Tradisi Lompat Batu atau Fahombo
yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat
setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2
(dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja.
Konon ajang tersebut diciptakan
sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia
dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan
bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90
centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus
melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti
saat mendarat.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Lompat Batu sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata
yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat
ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang
menjepit pedangnya dengan gigi. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum
menyaksikan atraksi ini. Itu juga makanya, para pemuda desa di daerah tujuan
wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial
·
Upacara Mangongkal Holi
Upacara
Mangongkal Holi adalah sebuah upacara yang dilakukan mayoritas oleh masyarakat
suku bangsa Batak Toba. Upacara ini biasanya dilakukan oleh sekelompok marga
yaitu untuk mendirikan sebuah monument (kuburan nenek moyang), dengan menggali
kuburan dari para nenek moyang mereka dan mengangkat tulang-tulangnya untuk
dimakamkan di monumen tersebut.
f) MAKANAN
TRADISIONAL
Bika Ambon
g) KERAJINAN
·
Kain
Ulos
Munculnya
pandangan orang-orang Batak bahwa kain Ulos merupakan sumber panas terkait
dengan suhu tempat di mana orang-orang Batak membangun tempat tinggalnya.
Secara geografis, tempat tinggal orang Batak berada di kawasan pegunungan yang
beriklim sejuk. Kondisi alam ini, menyebabkan panas yang dipancarkan oleh
matahari tidak cukup memberikan kehangatan, terutama ketika malam hari. Oleh
karenanya, orang Batak kemudian menciptakan sesuatu yang mampu memberikan
kehangatan yang melepaskan mereka dari cengkraman hawa dingin. Dalam konteks
inilah kain Ulos menjadi sumber panas yang memberikan kehangatan, baik
kehangatan secara fisik maupun non fisik kepada orang Batak. Kehangatan kain
Ulos tidak saja melindungi tubuh orang Batak dari udara dingin, tetapi juga mampu
membentuk kaum lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan
kepahlawanan, dan perempuannya mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna
kemandulan.
Kain
Ulos lahir dari pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan
yang dingin. Seiring berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, Ulos
berkembang menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol
sistem sosial masyarakat Batak . Bahkan, kain ini dipercaya mengandung kekuatan
yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa
untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.
Berbagai
jenis dan motif kain Ulos menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat,
keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa,
dan dalam upacara adat yang bagaimana. Bahkan, berbagai upacara adat seperti
pernikahan, kelahiran, kematian, dan ritual lainnya tak pernah terlaksana tanpa
Ulos . Melihat peran sentral kain ulos tersebut, nampaknya tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa kain ulos merupakan bagian dari kehidupan orang Batak.
Bila
kain ini dipakai oleh laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan
bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali,
bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Namun terkait dengan nilai-nilai sakral
yang melingkupi kain Ulos, maka tidak semua Ulos dapat dipakai dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya Ulos Jugia, Sadum, Ragi Hotang, Ragidup, dan Runjat,
hanya dapat dipakai pada waktu-waktu dan upacara tertentu. Dalam keseharian,
laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan
baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Bila
Ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, untuk
penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai sebagai selendang disebut
ampe-ampe. Apabila digunakan sebagai penutup kepala disebut saong, dan untuk
menggendong anak disebut parompa. Dalam kesehariannya, perempuan Batak memakai
kain blacu hitam dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta
tutup kepala yang disebut saong.
Secara
garis besar, ada tiga cara pemakaian Ulos, yaitu: pertama, siabithononton
(dipakai). Ulos yang dipakai di antaranya: ragidup, sibolang, runjat, djobit,
simarindjamisi, dan ragi pangko. Kedua, sihadanghononton (dililitkan di kepala
atau bisa juga di jinjing). Ulos yang penggunaannya dililit di kepala atau bisa
juga ditengteng di antaranya: sirara, sumbat, bolean, mangiring, surisuri, dan
sadum. Ketiga, sitalitalihononton (dililit di pinggang). Ulos yang dililitkan
di pinggang di antaranya: tumtuman, mangiring, dan padangrusa. Ketiga aturan
pemakaian tersebut membawa pesan bahwa menempatkan Ulos pada posisi yang tepat
merupakan hal yang sangat penting, tidak saja terkait dengan keserasian dalam
berpakaian tetapi juga terkait dengan makna-makna filosofis yang dikandungnya.
Dengan kata lain, Ulos tidak hanya berfungsi sebagai penghangat dan lambang
kasih sayang, melainkan juga sebagai simbol status sosial, alat komunikasi, dan
lambang solidaritas.
Terkait
Ulos sebagai ekspresi kasih-sayang, maka dikenal ungkapan mangulosi. Dalam adat
Batak, mangulosi (memberikan Ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih
sayang kepada penerima Ulos. Dalam hal mangulosi, ada aturan umum yang harus
dipatuhi, yaitu mangulosi hanya boleh dilakukan kepada orang yang mempunyai
status kekerabatan atau sosial lebih rendah, misalnya orang tua boleh mangulosi
anaknya, tetapi sang anak tidak boleh mangulosi orang tuanya.
Demikian
juga dengan Ulos yang hendak digunakan untuk mangulosi harus mempertimbangkan
tujuan dari pemberian Ulos tersebut. Misalnya hendak mangulosi Boru yang akan
melahirkan anak sulungnya, maka Ulos yang diberikan adalah Ulos Ragidup
Sinagok. Demikian juga jika hendak mangulosi pembesar atau tamu kehormatan yang
dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi), maka Ulos yang digunakan adalah
Ulos Ragidup Silingo.
Melihat
begitu pentingnya fungsi Ulos dalam masyarakat Batak, maka upaya-upaya
pelestarian harus segera dilakukan. Pelestarian tentunya tidak hanya
dimaksudkan agar keberadaan kain tersebut tidak punah, tetapi juga
merevitalisasinya sehingga memberikan manfaat (baca: kesejahteraan) bagi
orang-orang Batak yang melestarikannya. Namun demikian, revitalisasi harus
dilakukan secara hati-hati sehingga tidak melunturkan nilai-nilai yang
dikandung oleh kain Ulos. Jangan sampai muncul gugatan, “Kami merasa sangat
ngilu. Melihat Ulos diguntingi dan dipotong-potong. Dijadikan taplak meja,
bahkan alas jok kursi untuk dihunduli. Itu pelecehan dan sangat tidak
menghargai nilai budaya bangso Batak” . Pelestarian dan revitalisasi tidak
boleh hanya berorientasi pada nilai ekonomi saja, tetapi juga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, sehingga orang Batak tidak mengalami alienasi dan
tercerabut dari akar lokalitasnya.
h)
SUKU / ETNIS
Sumatera Utara adalah provinsi multietnis dengan suku Melayu, Batak dan
Nias sebagai penduduk asli daerah ini. Provinsi ini karena merupakan daerah
perkebunan tembakau sejak zaman Hindia Belanda karenanya merupakan tujuan
pendatang luar untuk mencari pekerjaan. Pendatang-pendatang terutama datang
dari Pulau Jawa yang datang karena kontrak kuli dengan pemerintah Hindia
Belanda. Ada pula pendatang Tionghoa yang datang merantau mengadu nasib untuk
kemudian menetap di sini.
Penyebaran suku-suku di Sumatra Utara:
·
Suku Melayu:
Pesisir Timur. terdiri dari Melayu Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan,
Kualuh, Panai serta Bilah
Perlu dijelaskan bahwa apa yang dikatakan suku Melayu di Sumatera Timur
(sekarang Sumatera Utara) awalnya bukanlah etnis, melainkan suatu budaya yang
dipengaruhi oleh agama Islam. Itulah sebabnya Melayu di daerah ini bermarga.
Untuk membuktikan kebenaran hal ini, adalah bahwa Melayu di Sumatera Timur
adalah berasal dari suku Karo dan Simalungun yang memeluk agama Islam serta
Toba di wilayah Tanjung Balai & Asahan yang beragama Islam, Berbahasa &
beradat resam Melayu. Oleh karena itu, Melayu di daerah ini memiliki marga.
Misalnya Datuk Sunggal merga Karo-karo Surbakti, Datuk Hamparan Perak
(Sepuluh Dua Kuta) merga Sembiring Pelawi, dan Datuk Kejurun
Senembah merga Karo-karo Barus, sementara itu Datuk Kejurun Tanjung
Morawa merga Seragih.
Di wilayah Langkat, berdasarkan legenda suku Karo, bahwa Sultan Langkat
merga Perangin-angin Kuta Buluh, demikian juga kejurun Bahorok merga
Perangin-angin Kuta Buluh. Sultan Asahan adalah marga Marpaung dan Sultan
Labuhan Batu merga Simargolang, Raja Tebing Tinggi marga Saragih Dasalak dan
lainnya
i)
BAHASA DAERAH
Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah bahasa Indonesia. Suku
Melayu Deli mayoritas menuturkan bahasa Indonesia karena kedekatan bahasa Melayu dengan
bahasa Indonesia. Pesisir timur Bedagai,Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan,
Tanjung Balai memakai Bahasa Melayu Dialek "O" begitu juga di Labuhan
Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Dilangkat & Masyarakat Melayu Deli
dipinggiran masih menggunakan Bahasa Melayu Dialek "E" yang sering
juga disebut Bahasa Maya-maya , masih banyak keturunan Jawa Kontrak ( Jadel -
Jawa Deli )yang menuturkan bahasa Jawa yang sudah
terdegradasi tentunya.
Di kawasan perkotaan, suku Tionghoa lazim menuturkan bahasa Hokkian selain
bahasa Indonesia. Di pegunungan, suku Batak menuturkan bahasa Batak yang terbagi
atas banyak logat. Bahasa Nias dituturkan di
Kepulauan Nias oleh suku Nias.
3. PROVINSI SUMATERA BARAT
Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia
yang terletak di pulau Sumatera dengan Padang
sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, wilayah provinsi ini menempati
sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah dan sejumlah pulau di lepas
pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan,
provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km² ini berbatasan dengan empat
provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Sumatera Barat berpenduduk sebanyak 4.845.998
jiwa dengan sebagian besar beretnis Minangkabau
yang seluruhnya beragama Islam, sedangkan sisanya tidak semuanya memeluk Islam. Provinsi
ini terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota dengan pembagian wilayah
administratif sesudah kecamatan di seluruh kabupaten (kecuali kabupaten Kepulauan Mentawai)
dinamakan sebagai nagari—sebelumnya
pada tahun 1979
diganti dengan desa,
kemudian sejak 2001
dikembalikan ke nama semula.
Cikal bakal nama Provinsi Sumatera Barat dimulai
pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC), digunakan untuk sebutan wilayah administratifnya yakni Hoofdcomptoir
van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik
dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup
kawasan pantai barat Sumatera mulai dari Barus sampai Inderapura.
Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang
Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau
sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam
pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie
Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.
Selanjutnya dalam perkembangan administrasi
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement
Sumatra's Westkust termasuk wilayah Residentie Bengkulu yang baru
diserahkan Inggris
kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukan Tapanuli, dan Singkil. Namun
pada tahun 1905,
wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli,
sedangkan wilayah Singkil
diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement
Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's
Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera
Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga
digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Sementara wilayah Rokan Hulu
dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie
Riouw pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, serta juga
membentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan.
Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie
Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas
dasar geostrategis militer, daerah Kampar/ Bangkinang dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu
dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.[3]
Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,
wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang
berpusat di Bukittinggi. Pada tahun 1949, Provinsi Sumatera
kemudian dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera
Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera
Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera
Tengah. Pada masa PRRI
di Sumatera, Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-undang
darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera
Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Riau, dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang
sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan
Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi
Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu,
dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah
Provinsi
Riau. Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini adalah
masih tetap di Kota Bukittinggi. Namun berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 secara
de facto menetapkan Kota Padang menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat.
Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian
tengah pulau Sumatera yang terdiri dari dataran rendah di
pantai barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh Bukit
Barisan. Provinsi ini memiliki daratan seluas 42.297,30 km² yang setara
dengan 2,17% luas Indonesia. Dari luas tersebut, lebih dari 45,17% merupakan
kawasan yang masih ditutupi hutan lindung. Garis pantai provinsi ini seluruhnya
bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 2.420.357 km dengan luas
perairan laut 186.580 km². Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera
Hindia termasuk dalam provinsi ini.
Seperti daerah lainnya di Indonesia, iklim
Sumatera Barat secara umum bersifat tropis dengan suhu
udara yang cukup tinggi, yaitu antara 22,6° C sampai 31,5° C. Garis khatulistiwa tepat melalui provinsi ini di
kecamatan
Bonjol, kabupaten Pasaman. Di provinsi ini berhulu
sejumlah sungai
besar yang bermuara di pantai timur Sumatera seperti Batang Hari,
Siak,
Inderagiri (disebut sebagai Batang
Kuantan di bagian hulunya), dan Kampar.
Sementara sungai-sungai yang bermuara di provinsi ini berjarak pendek, seperti Batang Anai,
Batang
Arau, dan Batang Tarusan.
Terdapat 29 gunung yang
tersebar di 7 kabupaten dan kota di Sumatera Barat dengan Gunung
Talamau di kabupaten Pasaman Barat sebagai gunung
tertinggi, yaitu 2.913 m. Gunung Marapi di kabupaten
Agam merupakan gunung aktif yang tingginya 2.891 m, gunung aktif lainnya
adalah Tandikat dan Talang.
Selain gunung, Sumatera Barat juga memiliki banyak danau. Danau terluas adalah Singkarak
di kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar, disusul Maninjau
di kabupaten
Agam. Dengan luas yang mencapai 130,1 km², Singkarak juga menjadi danau
terluas kedua di Sumatera dan kesebelas di Indonesia. Danau lainnya terdapat di
kabupaten Solok yaitu Danau Talang dan Danau Kembar (julukan dari Danau
Diatas dan Danau Dibawah).
Berikut
kebudayaan Sumatera Barat :
a)
SENI ARSITEKTUR
Rumah Gadang
Rumah adat
Sumatera Barat khususnya dari etnis Minangkabau disebut Rumah Gadang. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang
tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun. Tidak
jauh dari komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan
tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut namun belum menikah.
b) PAKAIAN ADAT
Pakaian Tradisional Adat Sumatra Barat, keaneragaman
budaya Indonesia tentunya berbeda-beda begitu pula dalam berpakaian dalam hal
ini untuk pakaian Tradisional yang berada di Sumatra Barat juga berbeda yang
memiliki makna dalam setiap atribut yang dikenakan oleh pria maupun wanita.
Sumatra
Barat yang terkenal dengan suku Minangkabau dengan wilayah yang terdiri
atas wilayah pegunungan dan dataran yang cantik yang sering dijadikan objek
wisata yang cukup terkenal di Indonesia. Pakaian Tradisional Adat
Sumatra Barat utuk wanita disebut dengan Baju Kurung sedang untuk Pakaian
Tradisional Adat Sumatra Barat pada pria disebut dengan Pakaian adat Penghulu.
Pakaiaan
adat khas sumatra barat sangatlah feminim bila dilihat dari sudut busananya.
Pakaian Khas sumatra barat di bagi menjadi dua yaitu : Pakaian Tradisional dari
Minangkabau dan Pakaian Bundo Kanduang. Produk yang kami iklankan ini merupakan
bagian dari Pakaian Bundo Kanduang. Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk
tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain
balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau
dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian
tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang.Seorang
wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang
peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo
kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi
tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak ,
artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki
pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian
penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya
masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari
tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan
anting-anting serta kalung.
c)
SENJATA
TRADISIONAL
Keris
Senjata
tradisional Sumatera Barat adalah Keris. Keris biasanya dipakai oleh kaum
laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, dan umumnya dipakai oleh para
penghulu terutama dalam setiap acara resmi ada terutama dalam acara malewa
gala atau pengukuhan gelar, selain itu juga biasa dipakai oleh para mempelai
pria dalam acara majlis perkawinan yang masyarakat setempat menyebutnya baralek.
Berbagai jenis senjata juga pernah digunakan seperti tombak, pedang
panjang, panah, sumpit dan sebagainya.
d)
KESENIAN
·
Tari Piring
Tari piring merupakan sebuah tarian yang berasal dari
Minangkabau, Sumatera Barat. Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai
gerakan para petani ketika bercocok tanam, sekaligus melambangkan rasa gembira
dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tari Piring merupakan tarian gerak
cepat dengan para penari memegang piring ditelapak tangan mereka, diringi
dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Terkadang piring-piring
itu akan dilempar ke udara atau dihempaskan ke tanah dan diinjak oleh para
penari-penari tersebut.
Nuansa Minangkabau yang ada didalam setiap musik
Sumatera Barat yang dicamppur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan
terlihat dari setiap karya lagu yang beredar dimasyarakat. Hal itu terjadi
karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak
didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri
atas instrumen alat musik tradisional saluang, bansi, talempong, rabab, dan
gandang tabuik.
Musik Minangkabau yang berupa instrumen dan lagu-lagu
dari daerah ini pada umumnya berhubungan dengan struktur masyarakatnya yang
memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan, dan kecintaan kampung
halaman yang rata-rata penduduknya memiliki kebiasaan merantau.
Tarian ini bisa dibawakan oleh kaum pria maupun
wanita, mereka memiliki gerakan yang cepat dan mempunyai cirri khas, Ciri khas
ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam. Oleh
karena itu, keteraturan gerakan tradisi Minang selalu melambangkan unsur alam.
Pengaruh agama Islam, kebiasaan merantau masyarakatnya juga member pengaruh
besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau.
·
Tari Randai
Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang
lumayan panjang. Kono kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan
Padang Panjang ketika masyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar
dari laut.
Randai dalam masyarakat minangkabau adalah suatu
kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau
beregu. Dalam tarian Randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita
Cindua Mato, Malin Demam, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Tarian
Randai bertujuan untuk menghibur msyarakat biasanya diadakan pada saat pesta
rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.
Tarian Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang
akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini biasanya berjumlah satu
orang, dua orang, tiga orang atau bahkan lebih tergantung dengan cerita yang
dibawakan, dan dalam membawakan atau memperankannya pemeran utama dilingkari
oleh anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan acara tersebut.
Tarian randai ini banyak di jumpai di daerah pesisir
selatan, sebuah daerah di bagian selatan dari Sumatera Barat.
·
Lagu Daerah - Ayam
Den Lapeh
Luruihlah
jalan Payakumbuah
Babelok
jalan kayujati
Dimahati
indak karusuah
Awak
takicuah
Ai ai ayam
den lapeh
Mandaki
jalan Pandai Sikek
Manurun
jalan ka Biaro
Dima hati
indak ka maupek
Ayam den
lapeh
Ai ai ayam
den lapeh
Sikua capang
sikua capeh
Saikua
tabang saikua lapeh
Lapehlah juo
nan ka rimbo
Oi lah
malang juo
Pagaruyuang
Batusangka
Tampek
bajalan urang Baso
Duduak
tamanuang tiok sabanta
Ayam den lapeh
Ai ai ayam
den lapeh
·
Lagu Daerah
– Sansaro
Usah dikanalah juo cinto kito nan
lamo
Bia denai kok sansaro mandi si aia
mato
Sadah kok dikana kini
Sadiah kasiahlah dipadu oi kanduang
Usah dikanalah juo dinto kito nan
lamo
Sansei juo sansei juo oi iyo lah
sansai
·
Lagu Daerah
– Paku Gelang
Gelang si paku gelang
Gelang si rama rama
Mari pulang marilah pulang marilah
pulang bersama-sama
Mari pulang marilah pulang marilah
pulang bersama-sama
·
Lagu Daerah
– Kampuang Nan Jauh Di Mato
Kampuang nan jauh di mato
Gunuang sansei baku liliang
Takana jo kawan, kawan nan lamo
Sangkek basu liang suliang
Panduduknya nan elok
Nan suko bagoto royong
Kook susah samo samo diraso
Den takana jo kampuang
Takana jo kampuang
Induk ayah adik sadonyo
Raso mangimbau ngimbau den pulang
Den takana jo kampuang
e) ADAT ISTIADAT
·
Pernikahan
Dalam
acara pernikahan adat Minangkabau yang biasa disebut baralek mempunyai beberapa
tahapan yang biasa dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai
(menjemput pengantin pria), sampai basanding (bersanding di pelaminan). Setelah
maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan),
maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan
di Mesjid sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan.
Pada
kelompok-kelompok tertentu di Padang, setelah ijab Kabul di depan penghulu
(tuan kadi). Pengantin pria akan diberi gelar baru untuk mengganti panggilan
kecil mereka. Kalau di kawasan pesisir pantai biasanya dimulai dari sutan,
bagindo, atau sidi. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah tidak berlaku untuk
pemberian gelar.
·
Tabuik
Berasal dari
kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan
sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan
secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal
10 Muharram, dalam kalender Islam. Pada hari yang telah ditentukan, sejak
pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun
kota.Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling
kolosal di Sumatera Barat ini.
Satu Tabuik
diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang
Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi
berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan
puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi
tetabuhan.
Saat
matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan
selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa
dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini
juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala
jenis arakannya.
f) MAKANAN TRADISIONAL
·
Rendang
Rendang (bahasa Minang: Randang)
adalah salah satu masakan tradisional Minangkabau yang menggunakan daging dan
santan kelapa sebagai bahan utama dengan kandungan bumbu rempah-rempah yang
kaya. Masakan dengan citarasa yang pedas ini digemari oleh seluruh kalangan
masyarakat, dan dapat ditemukan di seluruh Rumah Makan Padang di Indonesia,
Malaysia, ataupun di negara lainnya. Masakan ini kadang lebih dikenal dengan
nama Rendang Padang, padahal rendang merupakan masakan khas Minang secara umum. Pada tahun 2011, rendang dinobatkan
sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods
(50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.
g)
KERAJINAN
·
Kain Ulos Danau Toba
Kain Ulos khas Danau Toba merupakan salah satu kerajinan tradisional Batak
yang sangat terkenal. Kain yang didominasi warna merah, hitam, dan putih ini
biasanya ditenun dengan benang berwarna emas dan perak. Dahulu, kain ini hanya
digunakan sebagai selendang dan sarung untuk pasangan kebaya, namun pada saat
ini telah mengalami modifikasi sehingga lebih menarik dan bernilai ekonomis,
misalnya dijadikan sebagai produk suvenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas,
pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan kain gorden.
Kain yang diproduksi secara home industry ini cara pembuatan dan
alatnya sama seperti pembuatan kain songket khas Palembang. Para pengrajin,
sambil duduk dengan penuh kesabaran, menenun untaian benang berwarna emas dan
perak untuk menghasilkan sebuah kain ulos yang indah dan artistik.
Bagi orang Batak, Kain Ulos tidak saja digunakan untuk pakaian sehari-hari,
tetapi juga untuk upacara adat. Pemakaian kain ini secara garis besar ada tiga
cara, yaitu dengan siabithononton (dipakai), sihadanghononton
(dililit di kepala atau bisa juga ditenteng), sitalitalihononton
(dililit di pinggang). Namun demikian, tidak semua jenis Kain Ulos dapat
dipakai dalam aktivitas sehari-hari. Dalam keseharian, laki-laki Batak
menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju
berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Bagi orang Batak, Kain Ulos tidak
sekedar kain yang berfungsi melindungi tubuh dari hawa dingin, tetapi juga
berfungsi simbolik, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat orang Batak.
Kain Ulos dari jenis tertentu dipercaya mengandung kekuatan mistis dan dianggap
keramat serta memiliki daya magis untuk memberikan perlindungan kepada
pemakainya.
Kain Ulos juga menjadi bagian penting dalam upacara adat masyarakat Batak.
Bilamana dalam suatu upacara adat Kain Ulos tidak digunakan atau diganti dengan
kain yang lain, seperti dalam upacara kelahiran, kematian, pernikahan, memasuki
rumah, atau upacara-upacara adat lainnya, maka pelaksanaan upacara adat menjadi
tidak sah.
Kain ulos mempunyai beraneka macam jenis, di antaranya: bintang maratur,
ragiidup, sibolang, ragihotang, mangiring, dan sadum. Aneka macam
jenis Ulos tersebut mempuyai tingkat kerumitan, nilai, dan fungsi yang
berbeda-beda. Semakin rumit pembuatan sebuah Ulos, maka nilainya semakin tinggi
dan harganya juga semakin mahal.
Pengrajin Kain
Ulos khas Danau Toba berada di Pulau Samosir, tepatnya di Desa Perbaba. Oleh
karena berada di Pulau Samosir, maka wisatawan yang hendak menuju desa tersebut
sekaligus dapat bertamasya dan menikmati indahnya Danau
Toba,
danau legendaris yang terluas di Asia Tenggara. Di samping itu, tidak jauh dari
Desa Perbaba, ada sebuah museum adat Batak Huta Bolon Simanindo. Museum
ini memamerkan berbagai peralatan peninggalan Raja Batak, yang salah satunya
adalah koleksi Kain Ulos dengan motif-motif yang beragam.
h) SUKU / ETNIS
Mayoritas penduduk Sumatera Barat
merupakan suku Minangkabau. Di
daerah Pasaman selain suku Minang berdiam pula suku Batak dan suku
Mandailing. Suku Mentawai
terdapat di Kepulauan Mentawai. Di beberapa kota di Sumatera Barat terutama
kota Padang
terdapat etnis Tionghoa, Tamil dan suku Nias dan di
beberapa daerah transmigrasi seperti
di (Sitiung, Lunang Silaut, Padang
Gelugur dan lainnya) terdapat pula suku Jawa.
Sebagian di antaranya adalah keturunan imigran berdarah Jawa dari Suriname yang
memilih kembali ke Indonesia pada masa akhir tahun 1950-an. Oleh Presiden
Soekarno saat itu diputuskan mereka ditempatkan di sekitar
daerah Sitiung. Hal ini juga tidak lepas dari aspek politik pemerintah pusat
pasca rekapitulasi PRRI di Provinsi
Sumatera Barat yang juga baru dibentuk saat itu.
i)
BAHASA
DAERAH
Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah
bahasa daerah yaitu Bahasa
Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan, dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman dan Pasaman Barat yang berbatasan dengan Sumatera Utara, dituturkan juga Bahasa Batak dan Bahasa Melayu dialek Mandailing. Sementara itu di daerah kepulauan
Mentawai digunakan Bahasa Mentawai.
4. PROVINSI RIAU
Secara
etimologi kata Riau berasal dari bahasa Portugis, Rio berarti sungai. Pada
tahun 1514 terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis menelusuri Sungai Siak,
dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada
kawasan tersebut. dan sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang
melarikan diri setelah kejatuhan Malaka.
Pada
awal abad ke-16, Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental mencatat bahwa
kota-kota di pesisir timur Sumatera antara Arcat (Aru dan Rokan) hingga Jambi
merupakan pelabuhan raja-raja Minangkabau. Dimasa inipula banyak pengusaha
Minangkabau yang mendirikan kampung-kampung pedagang di sepanjang Sungai Siak,
Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal
adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi Pekanbaru. Pada masa kejayaan
Kesultanan Siak Sri Inderapura yang didirikan oleh Raja Kecil, kawasan ini
merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Siak. Sementara, Riau dirujuk hanya
kepada wilayah Yang Dipertuan Muda (raja bawahan Johor) di Pulau Penyengat,
kemudian menjadi wilayah Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang
berkedudukan di Tanjung Pinang, dan Riouw, dieja oleh masyarakat setempat
menjadi Riau.
Pada
awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura dan
Residentie Riouw dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di
Bukittinggi. Kemudian Provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni
Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dominannya etnis
Minangkabau dalam pemerintahan Sumatera Tengah, menuntut masyarakat Riau untuk
membentuk provinsi tersendiri. Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan
Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dimekarkan
menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian yang
menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah
Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Residentie Riouw serta ditambah Bangkinang
yang sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukan ke dalam wilayah
Rhio Shu.
Kemudian
berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-25, pada tanggal 20 Januari
1959, Pekanbaru resmi menjadi ibu kota provinsi Riau menggantikan Tanjung
Pinang. Namun pada tahun 2002, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002,
Provinsi Riau kembali dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Riau dan Kepulauan
Riau. Hal ini juga tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas rasa
ketidakadilan dalam politik maupun ekonomi terutama yang berada pada kawasan
kepulauan.
Luas
wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang dari lereng Bukit
Barisan hingga Selat Malaka. Riau memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata
curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata
hujan per tahun sekitar 160 hari. Riau juga memiliki kekayaan budaya yang
sangat menakjubkan, berikut kebudayaan Riau.
a) SENI ARSITEKTUR
·
Rumah Melayu
Selaso Jatuh Kembar
Balai salaso jatuh
adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal
melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya
bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain : Balairung Sari, Balai
Penobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain. Bangunan tersebut kini tidak ada
lagi, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang
menyangklut keagamaan dilakukan di masjid. Ciri - ciri Balai Salaso Jatuh
mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah,
karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai
adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.
·
Rumah
Lancang
1. Asal-Usul
Rumah Lancang merupakan Rumah
panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan
binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat
untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan
perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai
persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk
panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai
anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan
masyarakat.
Dinding luar Rumah Lancang
seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok
tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan
ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok
tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan.
Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung
diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan
ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang
menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya,
merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli masyarakat Kampar dan
Minangkabau. Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan
ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan
ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena
daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju
wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup
Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena
Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi
merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi
tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan
arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.
·
Candi Muara Takus
Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang
terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia.
Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota
Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus
dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih
dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah
berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai
Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang
disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa
dan Palangka.
Para pakar purbakala belum
dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang
mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan
bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan
Sriwijaya,
sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat
pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.[1][2]
Pada tahun 2009 Candi Muara
Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Deskripsi
situs
Candi Muara Takus adalah
situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah
yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti
bahwa agama Buddha
pernah berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu
pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat dari
batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus,
khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai,
terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama
Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Cina,
Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat
bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi
Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh
genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa
Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat
berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks
ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar
terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs
Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua,
Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam
komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat
pembakaran tulang
manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas)
yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Candi Mahligai
Candi Mahligai atau Stupa
Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini
terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki
pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki
28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan.
Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda,
dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi
berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini
berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat
sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu
andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak
menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya.
Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada
kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki
bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
Candi Tua
Candi Tua atau Candi Sulung
merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi
Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan
atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan
yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan
sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m
dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran
dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini
adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi
bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang
kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan
bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut
bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah
kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas
kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak
telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat
dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk
profilnya berbeda.
Candi Bungsu
Candi Bungsu bentuknya tidak
jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi
empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20
meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga
yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan
sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian
yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di
dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping
potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores
dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan
sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf.
Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan.
Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan
separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian
tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini
menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai
dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
Candi Palangka
Bangunan candi ini terletak
di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan
tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu
masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga
digunakan sebagai altar.
Arsitektur
Candi Muara Takus merupakan
salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan
bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk
stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan
yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi
puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah
bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya.
Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Stupa
yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
2. Stupa
yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan
lengkap.
3. Stupa
yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas
dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi
yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi
masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa
Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain
di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di
Vietnam, Sri Lanka
atau stupa kuno di India
pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen
sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di
kompleks Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri secara
filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat
mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek
‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya
dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang
Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh
sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di
seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa
dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara
lain :
1. Udyatā: singa
yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik
dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jāgrata: singa
yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk
dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3. Udyatā: singa
yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya
ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa
yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki
depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini
disebut simha kunjara.
Di kompleks Candi Muara Takus
sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan
Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di
tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat
sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal
dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh
jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M.
Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya
merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.
Latar
belakang pendirian
Candi merupakan bangunan suci
yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan
bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal
dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci
sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang
air suci.
Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya
digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan
untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam
pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri.
Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk
dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam
usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan
potensi kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap terjaga dan
terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar
titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat
titik mata angin dimana dewa Lokapala (penjaga mata
angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai
Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan
berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat
berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk
menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan
suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan
atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan
India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para
dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui
bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat
air.
Keadaan geografis wilayah Sumatera yang
memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari kebudayaan India
tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat
untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga
dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di
Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada
awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena
menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah
tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan
didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral
atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup
bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di
suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi
untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku
ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan
dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam
pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu
wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu
kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Beberapa
aspek dalam pendirian candi
Dari suatu bangunan candi
kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara Takus ini
aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:
1. Aspek
teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai
membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14
sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata
pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa
sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar
tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat
”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata
kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod
merupakan sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain
dimana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat
ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur dan
masih dapat ditemukan di daerah Bali.
Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata
akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
2. Aspek
sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan
oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan
status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
3. Aspek
religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang
menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya
aliran Mahayana.
·
Benteng Tujuh Lapis
Benteng Tujuh Lapis
terletak di daerah Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu. Benteng
tanah ini dibuat oleh masyarakat Dalu-dalu pada masa Perang Paderi atas petuah
Tuanku Tambusai. Bekas benteng tersebut ditinggalkan Tuanku Tambusai pada
tanggal 28 Desember 1839. Disekitar daerah Dalu-dalu ini juga terdapat beberapa
benteng yang disebut Kubu
·
Mesjid Raya Pekanbaru
Mesjid
Raya dan Makan Marhum Bukit serta Makam Marhum Pekan. Mesjid Raya Pekanbaru
terletak di Kecamatan Senapelan memiliki arsitektur tradisional yang amat
menarik dan merupakan mesjid tertua di Kota Pekanbaru. Mesjid ini dibangun pada
abad 18 dan sebagai bukti Kerajaan Siak pernah berdiri di kota ini pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah dan Sultan Muhammad Ali Abdul
Jalil Muazzam Syah sebagai sultan keempat dan kelima dari Kerajaan Siak Sri
Indrapura. Di areal Mesjid terdapat sumur mempunyai nilai magis untuk membayar
zakat atau nazar yang dihajatkan sebelumnya. Masih dalam areal kompleks mesjid
kita dapat mengunjungi makam Sultan Marhum Bukit dan Marhum Pekan sebagai
pendiri kota Pekanbaru. Marhum Bukit adalah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
(Sultan Siak ke-4) memerintah tahun 1766 – 1780, sedangkan Marhum Bukit sekitar
tahun 1775 memindahkan ibukota kerajaan dari Mempura Siak ke Senapelan dan
beliau mangkat tahun 1780.
·
Istana Siak Sri
Indrapura
Kerajaan
Siak adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang terbesar di Riau. Mencapai masa
kejayaannya pada abad ke-16 sampai abad ke-20. Dalam silsilah, sultan Kerajaan
Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 dengan 12 sultan yang pernah
bertahta. Kini sebagai bukti sejarah atas kebesaran kerajaan Melayu Islam tersebut,
dapat kita lihat peninggalan kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang
dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun
1889 dengan nama Assirayatul Hasyimah, lengkap dengan peralatan kerajaan.
Sekarang Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan
benda-benda koleksi kerajaan antara lain : kursi singgasana kerajaan yang
berbalut emas, duplikat mahkota Kerajaan, brankas Kerajaan, payung Kerajaan,
tombak Kerajaan, komet sebagai barang langka dan menurut cerita hanya ada dua
di dunia, serta barang-barang lain-lainnya. Di samping istana kerajaan terdapat
pula istana peraduan.
b)
PAKAIAN ADAT
Pakaian Resmi
Pakaian
resmi lelaki baju kurung cekak musang yang dilengkapi dengan kopiah. Kain
samping yang terbuat dari kain tenun dari Siak, Indragiri, Daik, Terengganu,
atau lainnya yang dibuat dan bermotifkan ciri khas budaya Melayu. Sedangkan
untuk perempuan adalah baju kurung kebaya labuh dan baju kurung teluk belanga
atau juga baju kurung cekak musang. Untuk kepala rambutnya disiput jonget,
lintang, lipat pandan. Pada siput dihiasi dengan bunga melur, bunga cinga atau
diberi permata. Kepala ditutup dengan selendang, dibelitkan keleher. Rambut tak
tampak, dada tertutup.
Pakaian Melayu dalam Upacara Adat
Dalam hal
pakaian adat , setiap wilayah kesatuan adat membakukan secara lengkap pakaian
adat wilayah kesatuan adatnya, dengan lambing-lambang dan makna yang terkandung
di dalamnya.
Pakaian adat
ini dipakai dalam upacara adat yang pada masa lalu dipakai di kerajaan-kerajaan
di kawasan Bumi Melayu, seperti untuk: upacara penobatan raja, pelantikan
menteri, orang besar kerajaan dan datuk-datuk, upacara menjunjung duli,
penyambutan tamu-tamu agung dan tamu-tamu dihormati, upacara adat menerima
anugerah dan penerimaan persembahan dari rakyat dan negeri-negeri sahabat.
Tata
berpakaian secara adat dalam upacara adat dapat dibedakan sebagai berikut.
Pakaian adat dalam acara nikah dan perkawinan, pakaian upacara adat, pakaian
Melayu sebagai mempelai pengantin, pakaian ulama dan upacara keagamaan.
Pakaian dalam Upacara Perkawinan
Bentuk
pakaian Melayu pesisir, kepulauan, dan daratan Riau tidaklah berbeda
terlalu jauh. Untuk upacara perkawinan ini pakaian yang dikenakan oleh
pengantin lelaki dan perempuan daerah pesisir, kepulauan dan daratan ini
ditentukan oleh prosesi pernikahan. Misalnya pakaian yang dikenakan untuk akad
nikah berbeda dengan pakaian yang dikenakan padamalam berinai, pada hari besar,
dan seterusnya.
Umumnya
untuk pakaian mempelai lelaki bentuk bajunya adalah baju cekak musang atau baju
kurung teluk belanga. Kecuali daerah Lima Koto Kampar baju pengantin lelakinya
berbentuk jubah.
Sedangkan
untuk perempuan, pada acara malam berinai memakai kebaya labuh atau memakai
baju kurung teluk belanga dari bahan tenunan, sutra, saten, atau borkat.
Sedangkan kain yang dipakai tenunan dari Siak, Indragiri, Daik, atau Trenggan
PakaiandalamUpacaraKeagamaan
Dalam
upacara keagamaan bagi lelaki tua dan muda mengena kaian pakaian berbentuk
cekak musang atau baju kurung teluk belanga, pakai songkok, kain samping dari
kain pelekat atau kain tenunan. Sistem pemakaian baju ada dua macam, yaitu baju
dagang dalam dan baju dagang luar.
c)
SENJATA
TRADISIONAL
Lumbuk Lada
Tumbuk Lada ialah sejenis senjata Melayu tradisional dari daerah Riau dan Semenanjung Tanah Melayu. Bentuk bilah senjata ini seakan badik dari Sulawesi, tetapi bentuk sarungnya berbeza. Pada pangkal sarung Tumbuk Lada terdapat bonjolan bundar yang selalunya dihias dengan ukiran yang dipahat. Sarung senjata ini selalunya dilapis dengan kepingan perak yang diukir dengan pola-pola rumit.
Senjata ini tergolong dalam jenis senjata pendek
engan mata pada sebelah bilah sahaja dan boleh diguna secara tunggal ataupun
sepasang. Panjang bilah tumbuk lada sekitar 27 cm hingga 29 cm. Lebar bilahnya
sekitar 3.5 cm hingga 4 cm. Dari tengah bilah sampai ke pangkalnya terdapat
alur yang dalam. Selain keris, Tumbuk Lada pada zaman dulu juga menjadi salah
satu kelengkapan pakaian adat di Kepulauan Riau, Deli, Siak dan Semenanjung Tanah
Melayu.
Tumbuk Lada digunakan secara menikam, menghiris dan
menjajah dalam pertempuran jarak dekat. Ia boleh dipegang dengan dua jenis
genggaman iaitu dengan mata keatas ataupun mata ke bawah. Seorang yang ahli
dalam permainan tumbuk lada akan menukar genggaman senjata ini bagi
mengelirukan musuh
d)
KESENIAN
·
Tari
Melemang
Tari Melemang konon telah ada sejak zaman
Kerajaan Bentan. Ini artinya tarian tersebut sudah dikenal sejak abad ke-12.
Konon pada waktu itu, Melemang bukan termasuk tarian konsumsi rakyat, tetapi
tarian istana. Para penarinyapun bukan berasal dari rakyat biasa, tetapi para
dayang yang berasal dari sekitar istana, termasuk daerah yang disebut Tanjung
Pisau Penaga. Tarian ini dipersembahkan ketika sang raja sedang beristirahat.
Setiap pementasan para penari mempertunjukkan
kecakapannya dengan mengambil suatu benda ( seperti sapu tangan, uang receh,
dan lain sebagainya ) dengan cara melemang ( berdiri sambil membungkukkan badan
kearah belakang ). Oleh karena itu, tarian ini disebut dengan melemang.
Sesuai dengan tujuannya yang tidak lain untuk
menghibur sang Raja, maka kesenian yang memadukan unsure tari, music dan nyanyi
ini mengisahkan tentang kehidupan sang Raja di sebuah kerajaan. Oleh karena itu
ada yang berperan sebagai Raja, Permaisuri, Puteri, dayang-dayang, dan lain
sebagainya.
Kerajaan Bentan memang sudah lama runtuh, namun
demikian tarian yang pernah hidup dizamannya bukan berarti terkubur bersamanya.
Tarian tersebut kini tetap bertahan di daerah Tanjung pisau Penaga (Bintan) dan
malahan menyebar ke Daik Lingga. Dengan kata lain, tarian yang pada mulanya
hanya berada di lingkungan istana ini, dewasa ini telah menjadi milik rakyat
kebanyakan, dengan durasi pementasan sekitar satu jam.
Sebuah pementasan yang lengkap sekurang-kurangnya
melibatkan 14 orang, yakni : seorang yang berperan sebagai raja, seorang yang
berperan sebagai permaisuri, seorang yang berperan sebagai putrid, empat orang
pemusik, seorang penyanyi dan enam orang penari, keempat pemusik itu adalah
pemain kodian (akordion), pemukul gong, pemain biola, dan penabuh tambour.
Sedangkan kostum yang dipakai adalah teluk belangan dan baju kurung yang sesuai
dengan perannya.
·
Tari Tanggai
Tari tanggai dibawakan untuk menyambut tamu-tamu resmi atau dalam acara
pernikahan. Umumnya tari ini dibawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian
khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang,
kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang, dan tanggai yang
berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga. Tari ini merupakan perpaduan
antara gerak yang gemulai dengan busana khas daerah. Tarian ini menggambarkan
masyarakat Palembang yang ramah dan menghormati, menghargai serta menyayangi
tamu yang berkunjung ke daerahnya.
·
Tari Gending Sriwijaya
Tari ini ditampilkan secara khusus untuk menyambut tamu-tamu agung seperti
Kepala Negara, Duta Besar, dan sebagainya. Tari Gending Sriwijaya hampir sama
dengan Tari Tanggai. Perbedaannya terletak pada penggunaan tari jumlah penari
dan perlengkapan busana yang dipakai. Penari Gending Sriwijaya seluruhnya
berjumlah 13 orang terdiri dari :
•
Satu orang penari utama
pembawa tepak (tepak, kapur, sirih)
•
Dua orang penari pembawa
peridon (perlengkapan tepak)
•
Enam orang penari
pendamping (tiga dikanan dan tiga kiri)
•
Satu orang pembawa payung
kebesaran (dibawa oleh pria)
•
Satu orang penyanyi
Gending Sriwijaya
•
Dua orang pembawa tombak
(pria)
·
Tari Madik (Nindai)
Salah satu tarian untuk memilih calon menantu khas Sumatera Selatan.
asyarakat Palembang mempunyai kebiasaan apabila akan memilih calon menantu.
Sang orangtua pria terlebih dahulu datang ke rumah seorang wanita dengan maksud
melihat dan menilai (madik dan nindai) gadis yang dimaksud. Hal yang dinilai
atau ditindai itu, antara lain kepribadiannya serta kehidupan keluarganya sehari-hari.
Dengan penindaian itu diharapkan bahwa apabila si gadis dijadikan menantu dia
tidak akan mengecewakan dan kehidupan mereka akan berjalan langgeng sesuai
dengan harapan pihak keluarga mempelai pria.
·
Tari Mejeng Besuko
Salah satu tarian khas untuk muda-mudi Sumatera Selatan. Tari ini
melukiskan kesukariaan para remaja dalam suatu pertemuan. Mereka bersenda gurau
mengambil hati lawan jenisnya. Bahkan tidak jarang di antara mereka ada yang
jatuh hati dan menemukan jodohnya melalui pertemuan seperti ini.
·
Tari Rodat Cempako
Tarian rakyat khas Sumatera Selatan. Tari ini merupakan tari rakyat
bernafaskan Islam. Gerak dasar tari ini diambil dari Timur Tengah. Tari Rodat
Cempako sangat dinamis dan lincah.
·
Tari Tenun Songket
Para penarinya umumnya adalah para wanita. Tari ini menggambarkan kegiatan remaja putri khususnya
dan para ibu rumah tangga di Palembang pada umumya yang sedang memanfaatkan
waktu luang dengan menenun songket.
·
Lagu
Daerah - Soleram
Soleram
Soleram
Soleram
Anak yang manis
Soleram
Soleram
Anak yang manis
Anak manis
janganlah dicium sayang
Kalau dicium
merah lah pipinya
Satu dua Tiga dan empat
Lima enam Tujuh delapan
Kalau tuan
dapat kawan baru sayang
Kawan lama
ditinggalkan jangan
e) ADAT ISTIADAT
·
Upacara
Bakar Tongkang
Pada tanggal 16 bulan 5 penanggalan imlek, di
Bagansiapiapi setiap tahunnya
dilaksanakan upacara tradisional masyarakat keturunan Tong Hoa yang disebut Go
Ge Lak, atau yang lazim dikenal dikalangan masyarakat melayu dengan upacara Bakar
Tongkang. Upacara bakar Tongkang ini adalah upacara pemujaan terhadap dewa laut
atau dewa Kie Ong Ya yang menguasai lautan menurut kepercayaan orang Tiong Hoa.
·
Perayaan Imlek di
Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti
Perayaan
Hari Raya Imlek adalah tradisi pergantian tahun baru,Imlek tak ubahnya seperti
tahun baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat islam. Imlek adalah Tahun
Baru Cina. Namun bagi umat lain yang beraliran sama juga bisa merayakan Hari
Raya Imlek.Acara Perayaan Imlek memang sudah menjadi bagian dari tradisi di
Kota Selatpanjang. Hampir setiap tahun perayaan Imlek di kota ini dirayakan
sangat meriah bahkan juga termasuk Perayaan Imlek yang paling meriah di kawasan
Provinsi Riau. Apalagi pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti juga sudah
menjadikan ivent perayaan Imlek sebagai salah satu asset wisata tahunan yang
masuk kedalam Kalender Wisata Riau. Puluhan ribu orang baik dari dalam maupun
luar Selatpanjang, bahkan wisatawan dari luar negeri seperti Singapura,
Malaysia, Hongkong, China, Taiwan, Australia akan membanjiri Kota Selatpanjang
untuk turut serta memeriahkan perayaan Imlek. Imlek bagi sejumlah warga
Tionghoa Selatpanjang yang berada di luar daerah maupun di luar negeri,
dijadikan ajang tradisi pulang kampung. Hal ini sudah berlangsung lama, bahkan
mereka anggap sebagai momentum penting untuk mudik ke tanah kelahiran. Walaupun
puncak acara Perayaan Tahun Baru Imlek di Selatpanjang berlangsung pada hari
ke-6 bulan pertama Tahun Baru Imlek yang biasanya disebut Cue Lak (Bahasa
Hokkian),tetapi kemeriahannya mulai terasa dihari H-7 yaitu seminggu sebelum
jatuhnya perayaan Imlek.
Penyambutan tahun baru imlek di Selatpanjang di pusatkan di Vihara Sejahtera Sakti. Selain melakukan sembahyang, yang paling unik di daerah ini adalah warga yang merayakan juga berkeliling kota pada waktu sore hari dengan mengunakan Bentor (Becak Motor). Kegiatan ini biasanya berlansung selama 6 hari. Sebelum puncak acara Imlek, biasa diawali dengan Festival Kembang Api pada hari Ke-5. Durasi kembang api bisa berlangsung cukup lama, kurang lebih bisa mencapai 3 jam.
Penyambutan tahun baru imlek di Selatpanjang di pusatkan di Vihara Sejahtera Sakti. Selain melakukan sembahyang, yang paling unik di daerah ini adalah warga yang merayakan juga berkeliling kota pada waktu sore hari dengan mengunakan Bentor (Becak Motor). Kegiatan ini biasanya berlansung selama 6 hari. Sebelum puncak acara Imlek, biasa diawali dengan Festival Kembang Api pada hari Ke-5. Durasi kembang api bisa berlangsung cukup lama, kurang lebih bisa mencapai 3 jam.
Pada
puncak perayaan Imlek, bertepatan dengan dilangsungkannya upacara ulang tahun
dewa Qing Shui Zu Shi. Pada
momen ini, warga Tionghoa menyakini bahwa sang dewa sedang turun ke bumi dengan
maksud untuk mengusir unsur-unsur kejahatan dan memberikan kemakmuran serta
ketentraman bagi warga kota Selatpanjang. Untuk itu diadakan penyambutan khusus
dengan menggotong tandu patung dewa dan diarak berkeliling kota melewati
beberapa kelenteng lain disertai atraksi tarian liong (naga), dan barongsai
(singa) yang diiringi seni budaya Jawa, Reog Ponorogo. Perayaan Cue Lak
tersebut juga dihadiri oleh para tetua atau orang yang terpilih dan dirasuki
oleh roh para dewa yang biasa disebut Thangkie, yaitu dimana raga atau tubuh
orang tersebut dijadikan alat komunikasi atau perantara roh dewa. Budaya ini
memiliki kesamaan dengan masyarakat Singkawang (Kalimantan Barat) yang biasa
dikenal dengan Tatung.
Konon perayaan Imlek di Selatpanjang dapat juga diartikan sebagai sebuah rezeki bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah ini. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat yang non-etnis Tionghoa biasanya juga turut ikut meramaikan perayaan Imlek dengan iring-iringan Reog Ponorogo dan atraksi kesenian lain yang merupakan tradisi dari daerah setempat. Kota ini juga merupakan salah satu kota di kawasan Riau yang mempunyai Kelenteng cukup banyak, yakni sekitar 20-an.
Konon perayaan Imlek di Selatpanjang dapat juga diartikan sebagai sebuah rezeki bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah ini. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat yang non-etnis Tionghoa biasanya juga turut ikut meramaikan perayaan Imlek dengan iring-iringan Reog Ponorogo dan atraksi kesenian lain yang merupakan tradisi dari daerah setempat. Kota ini juga merupakan salah satu kota di kawasan Riau yang mempunyai Kelenteng cukup banyak, yakni sekitar 20-an.
·
Upa- upa secara
bahasa adalah pemberian. Sedangkan secara istilah adalah suatu ritual yang
dilakukan oleh orang yang berhajat dengan mendoa’kan orang yang di upa- upa agar memperoleh kebaikan.[1]tradisi upa- upa sudah ada sejak lama dari nenek
moyang mereka dahulu turun- temurun hingga sampai kepada mereka sekarang.
Dahulu upa- upa dilaksanakan pada
saat pengangkatan raja untuk dijadikan pemimpin atau pengangkatan pemimpin-
pemimpin di bawah raja dan pemberian gelar pada bangsawan, pemuka adat, pemuka
agama maupun orang- orang yang dihormati.Upa-upa
menurut suku Batak Rokan adalah semacam tradisi mendoakan untuk hal-hal yang
baik, Saat ini tradisi dan budaya asli suku Batak Rokan, berada di antara
budaya mayoritas Melayu dan Minangkabau, sehingga secara tidak langsung
mempengaruhi tradisi dan budaya asli suku Batak Rokan. Sebagian besar suku
Batak Rokan menganut agama Islam. Dan pejuang muslim mereka yang terkenal
adalah Tuanku Tambusai, yang bermarga Harahap. Mungkin saja beliau berasal dari
Tapanuli Selatan, karena dilihat dari marganya saja marga mandailing.
Ada beberapa
macam upa- upa:
1.
Upa- upa
Biasanya
dilakukan pada waktu pelaksanaan hajatan secara umum.
2.
Mangupa
Mangupa/ Upah- upa Margondang dilakukan
pada selamatan di saat seseorang anak laki- laki dari yang punya hajat
mendapatkan suatu pekerjaan.
3.
Upa- upa Tondi
Upa- upa tondi biasanya
dilaksanakan bila ada seseorang dari kalangan mereka mendapat kecelakaan, upa- upa yang dimaksud di sini guna
menjemput kembali semangat orang tersebut yang pudar pasca kecelakaan. Pada
umumnya orang yang kecelakaan itu sering jera dan kurang mempunyai semangat
hidup.
Ada beberapa
waktu pelaksanaan upa- upa:
1.
Pernikahan
2.
Naik haji
3.
Selamatan
4.
Wisuda
Praktik
pelaksanaan upa- upa pernikahan
Walimahan
pernikahan bagi kalangan suku mandailing di mulai dari tempat mempelai wanita.
Pada hari H pernikahan, sekitar pagi sebelum kedua mempelai bersanding di
pelaminan, mempelai pria beserta keluarga dianjurkan singgah ke topotan kahanggi mempelai wanita yakni
rumah persinggahan sebelum ke pelaminan. Setelah itu barulah boleh kedua
mempelai bersanding di pelaminan. Kemudian dari pelaminan sembari menunggu para
undangan, setelah selesai, sekitar jam lima sore di adakanlah markobar yaitu pemberian nasihat oleh
orang tua atau mewakili dari masing- masing mempelai. Selepas dari itu barulah
beberapa waktu kemudian di musyawarahkan kapan dilaksanakan walimahannya di
tempat mempelai pria.
Peralatan
dan Bahan- bahan
Bahan yang
digunakan untuk menyusun perangkat upa-
upa beragam, tergantung pada factor daerah, adat dan orang yang menyusun
dan menyampaikan hajat tersebut. Kadang- kadang upa- upa yang dilaksanakan yang sama dengan maksud dan pelaksanaan upa- upa yang sama, tapi bahan yang
disajikan berbeda. (Effendi et, al, 2008). Hal itu pun tergantung juga pada
kesanggupan yang punya hajat.
Adapun
bahan- bahannya:
·
Ayam
panggang
·
Hati ayam
yang dipanggang
·
Telur ayam
rebus yang sudah dikupas
·
Udang rebus
atau goring
·
Nasi pulut
kunyit
·
Sayur- mayur
·
Gulai kepala
kambing
·
Bagian tubuh
kambing yang dapat dimakan selain kepala
·
Gulai kepala
kerbau
·
Bagian tubuh
kerbau yang dapat dimakan selain kepala
Tata Laksana
1.
Semua hadirin umumnya duduk membentuk sebuah lingkaran, dan yang diupa- upakan
duduk ditengah dengan keadaan bersila. Biasanya upa- upa diadakan di rumah atau balai- balai.
2.
Bahan upa- upa yang telah
dipersiapkan diletakkan di depan orang yang akan di upa- upa.
3.
Pembukaan oleh protokol
4.
Berikutnya adalah acara inti, yang punya hajat mengupa- upakan orang yang di upa-
upa dengan cara membacakan kalimat upa-
upa, biasanya kalimat tersebut berupa do’a kebaikan dan keselamatan
terhadap yang di upa- upakan,
menghadapkan bahan upa- upa berupa
makanan kepada orang yang di upa- upa.
Aspek Nilai
1.
Nilai nasihat
2.
Nilai do’a
3.
Mempererat silaturrahim
4.
Memupuk rasa syukur
5.
Pengembalian dan elaborasi spirit
f) MAKANAN TRADISIONAL
Gulai Belacan
Gulai Belacan salah satu masakan
khas dari Riau, gulai ini dibuat dengan kuah campuran belacan atau terasi.
Bahannya biasanya memakai udang atau ikan.
g) KERAJINAN
·
Sewet Tajung
Sewet Tajung
adalah salah satu kain khas daerah Sumatera Selatan. :
Kain khas Sumatera Selatan yang bernama Sewet Tajung ini terdiri atas 2 macam,
yaitu yang khusus dipakai oleh wanita, disebut Sewet Tajung Belongsong,
sedangkan kain sewet tajung yang dipakai kaum pria disebut Sewet Tajung Gebeng.
Selain itu ada lagi yang disebut dengan Tajung Rumpak atau Tajung Bumpak. Sewet
Tajung dalam pembuatannya sebagian memakai benang emas.
Macam-macam Sewet Tajung
adalah:
• Limar,
• Limar Patut,
• Petak-petak berwarna
(merah, kuning, biru, abu-abu dan lain sebagainya),
• Gerbik,
• Belongsong (khusus
wanita).
·
Sewet Songket
Sewet Songket adalah
kain yang biasanya dililitkan/dipakai di bagian bawah pakaian wanita Palembang.
Biasanya kain sewet ini berpasangan dengan kemben atau selendang. Sewet songket
ini berbahan benang khas songket Palembang. Ciri khas songket Palembang
terletak pada kehalusan dan keanggunannya sangat menonjol serta motifnya tidak
sama dengan motif kain songket daerah lain. Karena halus dan sangat indah,
harganya cukup mahal. Kain sewet ini biasanya dipakai pada waktu khusus saja,
misalnya pada saat perayaan perkawinan. Pakaian songket lengkap yang dikenakan
oleh pengantin, biasanya dengan Aesan Gede (Kebesaran) Aesan Pengganggon
(Paksangko) Aesan. Selendang Mantri Aesan Gandek (Gandik), dan sebagainya.
Macam-macam Kain
Songket:
• Songket benang mas
Lepus dan warna-warni,
• Songket benang mas
Lepus Biasa,
• Songket benang mas
Lepus Jando Beraes (Hijau,merah dan Kuning),
• Songket benang Jando
Penganten (Hijau dan Merah),
• Songket benang emas
Bungo Inten,
• Songket benang emas
Tretes Midar atau Bidar,
• Songket benang emas
pulir Biru,
• Songket emas Kembang Siku
Hijau
• Songket benang emas
Bungo Cino,
• Songket benang Pacik,
• Songket benang emas Cukitan.
·
Sewet Peradan
Salah satu jenis kain
sewet khas Sumatera Selatan. Sewet Peradan disebut juga Sewet Prada adalah kain
yang sudah jadi kemudian diberi motif dengan cat emas yang khusus untuk kain
(disebut juga dengan istilah diprada). Biasanya kain yang diprada adalah kain
yang bagus, baik bahan maupun motifnya.
·
Sewet Pelangi dan Jumputan
Merupakan salah satu
jenis kain tradisional masyarakat Sumater Selatan.
Bahan kain ini dari
benang sutera serta cat khusus yang tidak luntur. Pembuatannya tetap secara tradisional. Sewet pelangi permukaannya licin dan
halus serta bisa dikepal dengan tangan. Sedangkan kain atau sewet Jumputan itu
bermotif jumputan yang didapat pada saat proses pewarnaan kain.
h)
SUKU / ETNIS
Penduduk
provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Mereka terdiri dari Jawa
(25,05%), Minangkabau (11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa
(3,72%), dan Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar dengan
komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka umumnya berasal dari daerah
pesisir di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke
Pelalawan, Siak, Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga
masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang berasal dari daerah Rokan
Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan sebagian Inderagiri Hulu. Juga masyarakat
Mandailing di Rokan Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai
Minangkabau ataupun Batak.
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir khususnya Tembilahan. Di bukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu nasib di Riau. Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan Dumai. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan bermukim pada kawasan perkotaan, serta banyak juga terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Selain itu di provinsi ini masih terdapat sekumpulan masyarakat asli yang tinggal di pedalaman dan pinggir sungai, seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke Riau. Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir khususnya Tembilahan. Di bukanya perusahaan pertambangan minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru, mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu nasib di Riau. Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan Dumai. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan bermukim pada kawasan perkotaan, serta banyak juga terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Selain itu di provinsi ini masih terdapat sekumpulan masyarakat asli yang tinggal di pedalaman dan pinggir sungai, seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
i)
BAHASA DAERAH
Bahasa
pengantar masyarakat provinsi Riau pada umumnya menggunakan Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu umumnya digunakan di daerah-daerah pesisir
seperti Rokan Hilir, Bengkalis, Dumai, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu,
Indragiri Hilir dan di sekitar pulau-pulau. Bahasa Melayu dialek lokal secara
luas juga digunakan oleh penduduk di provinsi ini, terutama oleh para oleh
penduduk asli di daerah Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu yang berbudaya
serumpun Minang serta para pendatang asal Sumatera Barat. Selain itu Bahasa
Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Keturunan Tionghoa,
terutama yang bermukim di daerah seperti Selatpanjang, Bengkalis, dan
Bagansiapiapi[rujukan?]. Dalam skala yang cukup besar juga didapati penutur
Bahasa Jawa yang digunakan oleh keturunan para pendatang asal Jawa yang telah bermukim
di Riau sejak masa penjajahan dahulu, serta oleh para transmigran dari Pulau
Jawa pada masa setelah kemerdekaan. Di samping itu juga banyak penutur Bahasa
Batak di kalangan pendatang dari Provinsi Sumatera Utara.
5. PROVINSI JAMBI
Jambi
adalah sebuah provinsi
Indonesia yang terletak di
pesisir timur di bagian tengah Pulau Sumatera.
Jambi adalah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang ibukotanya bernama sama
dengan nama provinsinya, selain Bengkulu
dan Gorontalo. Jambi merupakan
tempat berasalnya Bangsa Melayu
yaitu dari Kerajaan Malayu
di Batang Hari Jambi. Bahasa Melayu Jambi sama seperti Melayu Palembang
dan Melayu Bengkulu,
yaitu berdialek "o".
Provinsi Jambi secara geografis terletak antara
0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°-104,55° Bujur
Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau,
sebelah Timur dengan Selat Berhala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah
Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi
Bengkulu. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota
lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting terlebih
lagi dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan
masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan
kebutuhan dari provinsi ini.
Luas Provinsi Jambi 53.435 km2 dengan jumlah
penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2010 berjumlah 3.088.618 jiwa (Data BPS
hasil sensus 2010) . Jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2006 berjumlah
2.683.289 jiwa (Data SUPAS Proyeksi dari BPS Provinsi Jambi. Jumlah Penduduk
Provinsi Jambi pada tahun 2005 sebesar 2.657.536 (data SUSENAS) atau dengan
tingkat kepadatan 50,22 jiwa/km2. Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,96%
dengan PDRB per kapita Rp9.523.752,00 (Angka sementara dari BPS Provinsi jambi.
Untuk tahun 2005, PDRB per kapita sebesar Rp8.462.353). Sedangkan sebanyak
46,88% dari jumlah tenaga kerja Provinsi Jambi bekerja pada sektor pertanian,
perkebunan dan perikanan; 21,58% pada sektor perdagangan dan 12,58% pada sektor
jasa. Dengan kondisi ketenagakerjaan yang sebagian besar masyarakat di provinsi
ini sangat tergantung pada hasil pertanian,perkebunan sehingga menjadikan upaya
pemerintah daerah maupun pusat untuk mensejahterakan masyarakat adalah melalui
pengembangan sektor pertanian
Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen
yang terdiri dari masyarakat asli Jambi, yakni Suku Melayu yang menjadi
mayoritas di Provinsi Jambi. Selain itu juga ada Suku Kerinci di daerah Kerinci
dan sekitarnya yang berbahasa dan berbudaya mirip Minangkabau. Secara sejarah
dan budaya merupakan bagian dari varian Rumpun Minangkabau. Juga ada suku-suku
asli pedalaman yang masih primitif yakni Suku Kubu dan Suku Anak Dalam. Adat
dan budaya mereka dekat dengan budaya Minangkabau. Selain itu juga ada
pendatang yang berasal dari Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Cina, India dan lain-lain.
Sebagian besar masyarakat Jambi memeluk agama Islam, yaitu sebesar 90%,
sedangkan sisanya merupakan pemeluk agama Kristen,
Buddha,
Hindu
dan Konghuchu.
a)
SENI ARSITEKTUR
Rumah Kajang Lako
Orang
Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang
orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati
keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.
Konon
kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto
Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5
dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya
dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo,
Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah
Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau
Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.
Pada
awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok asal yang
membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh hingga
sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana dibangun
memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan. Di
belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.
Pada
umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di ladang maupun di
sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan, mendulang emas,
dan mencari ikan di sungai.
Bentuk Rumah
Rumah
tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah
Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas.
Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran
panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan
untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan
dipengaruhi pula oleh hukum Islam.
Sebagai
suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu
bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar
layar, penteh, pelamban, dan tangga.
Bubungan/atap
biasa juga disebut dengan 'gajah mabuk,' diambil dari nama pembuat rumah yang
kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya.
Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat
dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap
rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan
untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara,
dan menyimpan barang.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.
Dinding/masinding
rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga
pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang.
Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu
masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah
harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu
masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat
digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu
berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk
mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang
adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh
pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.
Adapun
jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang
palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing
4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang
kerangka bangunan.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Tebar
layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias
air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan
yang digunakan adalah papan. Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di
bagian atas bangunan. Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian
rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan
tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang
tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.
Sebagai
ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang
pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan
pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.
Susunan dan Fungsi Ruangan
Kajang
Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho, ruang masinding,
ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh,
dan ruang bawah/bauman.
Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan. Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.
Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita. Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.
Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan. Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.
Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita. Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.
Selanjutnya
adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung sebelah kanan bangunan
menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih
tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap sebagai ruang utama. Ruangan
ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruang balik melintang
adalah 2x9 m, sama dengan ruang gaho.Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang
disebut penteh. Ruangan ini berada di atas bangunan, dipergunakan untuk
menyimpan barang. Selain ruang atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang
ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak
pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya.
Ragam Hias
Bangunan
rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam hias yang
berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora (tumbuh-tumbuhan)
dan fauna (binatang). Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain
adalah motif bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk. Motif
bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk manggis juga di
depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar rasuk (belandar)
dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat berwarna.
Ketiga
motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk bangunan dan
sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan. Adapun motif
fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan. Ragam hias yang
berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi
dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di
bagian bendul gaho serta balik melintang.
b)
PAKAIAN ADAT
Sementara
buat kaum pria Jambi akan memakai celana setengah ruas yang modelnya melebar di
bagian betisnya dan biasanya pakaian ini berwarna hitam. Dengan model melebar
pada bagian betis ini agar leluasa dalam begerak dan tak akan menggangu selama
melakukan kegiatan sehari-hari. Pakaian sehari-hari untuk pria Jambi ini juga
dilengkapi dengan memakai kopiah untuk menutupi kepala.
Jika suatu
saat Anda berkunjung ke Jambi, Mungkin Anda akan lebih mengenal lebih dekat
tentang budaya Jambi dalam hal berpakaian, dan tentu saja ini menjadi kekayaan
adat dan budaya Indonesia bahwa ada beragam jenis Pakaian Tradisional Indonesia
di setiap provinsi. Tidak cuma budayanya saja yang menarik, Tempat Wisata Di
Jambi juga patut Anda kunjungi untuk agenda perjalanan liburan Anda. Berikut
ini nama pakaian adat Jambi.
·
Pakaian
Adat Pria Jambi
Untuk kaum Laki-laki yang berada di
suku Melayu Jambi, dalam berpakaian adatnya kaum pria Jambi mengenakan lacak
pada kepalanya. Lacak sebagai penutup kepala ini di buat dari bahan kain
beludru yang warna merah pada bagian dalamnya diberi kertas tebal yang di
maksudkan agar menjadikannya keras.
Baju Adat kau pria Jambi dinamakan
baju kurung tanggung yang berlengan panjang. Alasan mengapa disebut tanggung,
karena ukuran panjangnya cuma sedikit di bawah siku lengan dan tidak sampai
pada pergelangan tangan. Maknanya adalah seseorang pria harus tangkas dan
cekatan ketika mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan.
·
Pakaian
Adat Wanita Jambi
Sedangkan untuk pakaian adat kaum
perempuan yang ada di Jambi, berupa kain sarung songket dan selendang songket
yang berwarna merah. Sementara nama baju adat untuk wanita Jambi ini di namakan
dengan baju kurung tanggung bersulam benang emas. Baju tersebut bermotif hiasan
bunga melati, kembang tagapo, dan pucuk rebung.
Sementara untuk penutup bagian
kepalanya dinamakan dengan pesangkon dan terbuat dari bahan kain beludru
berwarna merah dan pada bagian dalamnya diberi tambahan kertas karton agar
keras. Kelengkapan pakaian adat Jambi untuk kaum perempuan lebih banyak jika
dibandingkan dengan pakaian adat untuk kaum pria Jambi.
Kalau untuk kaum perempuan Jambi
dikenakan anting-anting yang bermotif kupu-kupu atau gelang banjar. Juka ada
perlengkapan lainya yaitu kalung. Kalung untuk kelengkapan pakaian adat kaum
wanita Jambi terdiri dari tiga macam, yaitu kalung tapak, kalung jayo atau di
sebut dengan kalung bertingkat serta kalung rantai sembilan.
c)
SENJATA TRADISIONAL
Keempat senjata masyarakat
Jambi itu adalah:
1. Badik Tumbuk Lada
Senjata adat ini berbentuk menyerupai badik
milik masyarakat bugis, namun memiliki gagang yang lurus, hampir juga
menyerupai keris hanya tidak bergelombang. Selain untuk berburu senjata ini
juga dipergunakan untuk berperang. Proses pembuatannya menyerupai keris atau badik
2. Sumpit
Selain badik tumbuk lada, masyarakat
suku jambi juga menggunakan sumpit untuk berburu. Selain suku yang ada di
Jambi, sumpit juga digunakan oleh masyarakat suku dayak, papua dan baduy dalam.
Untuk mengetahui sumpit lebih dalam silahkan taut ke sini
3. Tombak
Senjata adat ini hampir semua masyarakat suku
di Indonesia memiliki alat ini, karena senjata ini lebih memudahkan perburuan,
tinggal dilempar saja dan ujungnya yang dipasang semacam belati akan memberikan
beban dan tombak pasti bergerak lurus. Selain untuk berburu senjata adat ini
juga pernah dipakai untuk berperang.
4. Pedang
Bentuknya menyerupai mandau dan parang hanya
saja pada kedua sisi pisau memiliki ketajaman yang sama dan ujungnya dibuat
tajam. Pedang lebih sering digunakan untuk berperang dibanding untuk berburu
d)
KESENIAN
·
Tari Sekapur
Sirih
Tari Sekapur Sirih,
Merupakan tarian selamat datang kepada tamu-tamu besar di Provinsi Jambi. Tari
ini menggambarkan ungkapan rasa putih hati masyarakat dalam menyambut para
tamu.
Sekapur Sirih biasanya
ditarikan oleh 9 orang penari perempuan, 3 orang penari laki-laki, 1 orang yang
bertugas membawa payung serta 2 orang pengawal. Properti yang digunakan adalah cerano atau wadah yang berisikan
lembaran daun sirih, payung, keris. Tarian ini memakai pakaian baju kurung atau
adat Jambi serta diiringi musik langgam melayu dengan alat musik yang terdiri
dari biola, gambus, akordion, rebana, gong dan gendang.
·
Tari Kipas
Parentak
Tari Kipas Parentak merupakan salah satu jenis tari
kipas yangberkembang di Jambi. Bentuk tari Kipas Parentak adalah tari kelompok
putri. Penyajian tari Kipas Parentak dapat memberikan motivasi dan semangat
kepada masyarakat. Tari Kipas Parentak juga berfungsi memberikan hiburan bagi
kalangan anak muda.
Tari Kipas Parentak menggambarkan kegiatan bergotong
royong dalam menanam padi. Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan cara memanen
padi dan istirahat sebagai tarian pelepas lelah.
Pakaian yang dikeakan oleh penari Kipas Parentak
adalah kain khas Jambi, baju beludru (warna merah, warna hitam atau warna
ungu), dan rompi kain songket. Para penari Kipas Parentak menggunakan aksesoris
berupa gelang berduri, subang ditelinga, dan ikat pinggang. Perlengkapan tari yang
dipakai adalah kipas.
·
Tari Dana Sarah
Tari ini berasal dari pelayangan, yang sudah
dimodifikasi yang berasal dari Seberang Kota Jambi. Penciptanya tidak dikenal
dan ditata ulang oleh Abdul Aziz pada tahun 1984. Tari ini digunkan sebagai
sarana dalam penyebaran agama islam, yang ditarikan oleh penari putra dan
putri.
·
Tari Serengkuh Dayung
Tari ni penciptanya tidak diketahui, namun telah
ditata ulang oleh Aini Rozak pada tahun 1990. tarian ini menggambarkan tentang
perasaan searah setujuan, kebersamaan di dalam segala sesuatunya, dan ditarikan
hanya oleh penari putri.
·
kelintang
kayu
merupakan alat musik pukul khas Provinsi Jambi yang
terbuat dari kayu. Dalam memainkannya beriringan dengan alat musik talempong,
gendang dan akordion. Pada zaman jayanya alat musik ini dimainkan untuk
kalangan bangsawan. Dalam pertunjukannya didendangkan syair lagu-lagu betuah
dan tarian khas Jambi.
·
Hadrah
Merupakan jenis kesenian jambi yang bernuansa islami,
kesenian ini mengunakan terbang atau rebana sebagai alat musiknya. Alat-alat
tersebut ditabuh dan disertai nyanyian dalam bahasa Arab, hadrah sering
digunakan untuk mengiringi pengantin pria, menyambut tamu dan acara-acara agama
islam.
·
Dul muluk
Merupakan seni teater yang berkembang di kota Jambi
dan Batanghari. Kesenian ini sudah jarang ditampilkan. Sumber cerita berasal
dari sahibul hikayat, satu kekhasan dari pertunjukan ini adalah pada bagian
tengah pangung ditempatkan satu meja.
Para pelakon beradegan setelah pelakon berdialog atau
bernyanyi, mereka memukul meja dengan mengunakan sebatang tongkat seiring irama
musik. Pada bagian tertentu ada tarian yang mengikutsertakan penonton sehinga
membuat suasana semakin meriah.
·
Krinok
Adalah
pepatah petitih yang isinya berupa pantun nasehat,agama, kasih sayang
kepahlawanan dan lain-lain. Dibawakan oleh seseorang dengan cara bersenandung,
sedangkan musiknya pada awalnya hanya mengunakan vocal yang dilakukan oleh si
pengkrinok (orang yang bersenandung). Oleh masyarakat petani ladang/petani
sawah yang umumnya berdomisili di daerah dataran rendah,kesenian rakyat (musik
krinok) ini biasanya dilakukan setelah mereka usai menjalankan aktivitas
pertaniannya. Dimaksudkan untuk mengatasi kejenuhan, pelepas lelah atau sebagai
pelipur lara. Disamping itu sering juga dilaksanakan pada saat menunggu hasil
panen, sambil menjaga tanaman mereka dari serangan burung, tikus, babi, dan
lain-lain. Bila sudah tiba saatnya panen biasanya pada malam harinya mereka
mengadakan pertemuan di suatu tempat yang telah ditentukan untuk melangsungkan
acara krinok-an. Acara ini akan dihadiri oleh ibu-ibu dengan membawa anak
gadisnya, juga dihadiri oleh sejumlah anak-anak bujang, selama acara
berlangsung, bujang/gadis saling melempar pantun. Pantun-pantun tersebut
diungkapkan secara bersenandung yang disebut krinok. Tradisi semacam ini sampai
sekarang masih dilakukan oleh masyakat setempat, seperti yang penuh diamati di
Dusun Rantau Pandan yang jaraknya lebih kurang 40 km dari pusat kota Muoro
Bungo.
e)
ADAT ISTIADAT
·
Upacara Lingkaran Hidup Manusia:
Upacara-upacara ini dilakukan sejak seseorang dilahirkan sampai meninggal,
dengan artian untuk memperingati saat-saat seseorang individu memasuki suatu
tingkatan sepanjang hidupnya. Penyelenggaran upacara ini terutama pada masa
kehamilan, kelahiran, dewasa, perkawinan, dan kematian.
·
Upacara Kelahiran: Saat umur kandungan seorang wanita
menginjak 7 bulan, keluarganya secara resmi memberitahukan hal ini paling tidak
pada 2 orang dukun yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Upacara
pemberitahuan ini disebut dengan istilah Menuak/Nuak, yang maksudnya agar dukun
siap memberi pertolongan jika tiba saatnya melahirkan. Dalam upacara ini
masing-masing dukun diberi hantaran berupa nasi kunyit beserta laukpauknya.
Ketika
wanita hamilan tersebut menghadapi saat kelahiran, para dukun yang sudah
dipesan segera datang memberi pertolongan. Dukun wanita bertugas menyambut
kelahiran anak, sedangkan dukun laki-laki yang berada di balik pembatas ruangan
tempat melahirkan membacakan mantra agar anak dapat lahir dengan lancar dan
lengkap serta ibunya dalam keadaan selamat. Untuk menghindari pengaruh jahat
saat melahirkan, disediakan benda-benda yang dianggap mengandung unsur-unsur
magis seperti buah kundur, jimat yang terbuat dari untaian jeringo bangle,
pisau kecil dan lain-lain.
Saat bayi berumur 7 hari, diadakan upacara mandi ke sungai (mandi kayik) dipimpin oleh dukun yang menolong melahirkan. Dalam upacara tersebut sekaligus diadakan prosesi pemberian nama kepada anak. Kemudian setelah bayi berumur 40 hari dilakukan upacara memoton rambut untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh para alim ulama dan Tua-tua tengganai. Selain itu diadakan pula upacara Basuh Tangan, acara tersebut diselenggarakan bersamaan saat sang ibu telah dalam keadaan bersih dan pulih kesehatannya pasca melahirkan. Tujuan dari upacara tersebut adalah sebagai permohonanan supaya sang anak dikaruniai sifat rajin, kuat, gemar bekerja, suka menolong, jujur, patuh, dan sifat-sifat baik lainnya.
Saat bayi berumur 7 hari, diadakan upacara mandi ke sungai (mandi kayik) dipimpin oleh dukun yang menolong melahirkan. Dalam upacara tersebut sekaligus diadakan prosesi pemberian nama kepada anak. Kemudian setelah bayi berumur 40 hari dilakukan upacara memoton rambut untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh para alim ulama dan Tua-tua tengganai. Selain itu diadakan pula upacara Basuh Tangan, acara tersebut diselenggarakan bersamaan saat sang ibu telah dalam keadaan bersih dan pulih kesehatannya pasca melahirkan. Tujuan dari upacara tersebut adalah sebagai permohonanan supaya sang anak dikaruniai sifat rajin, kuat, gemar bekerja, suka menolong, jujur, patuh, dan sifat-sifat baik lainnya.
·
Masa Dewasa: Setelah anak mencapai umur 6-10 tahun, khusus bagi
anak laki-laki diadakan upacara khitanan (sunat), sedangkan bagi anak perempuan
dilkukan upacara Batindik (melubangi telinga). Upacara pendewasaan tersebut
biasanya dilakukan bersamaan dengan tradisi Khatam Quran sebagai bekal hidup
dalam masa dewasa.
·
Upacara Perkawinan: Rangkaian upacara ini diawali dengan
adat pergaulan anatara pemuda dan perempuan yang dikenal dengan itilah
Berserambahan. Dalam acara ini mereka memperlihatkan keahlian berpantun yang
disebut Seloka Muda, Setelah keduanya sepakat untuk menikah, maka berlaku tahap
berikutnya:
1. Berusik sirih
bergurau pinang: Merupakan tahap menjajaki perasaan masing-masing
pihak untuk mengetahui apakah hubungan dapat dilanjutkan dengan perkawinan.
2. Duduk
bertuik, tegak bertanyo: merupakan tahap untuk mengetahui keadaan gadis yang
menyangkut silslah, budi pekerti, sopan santun pergaulan, serta kemungkinan
persetujuan orangtuanya.
3. Ikat buatan
janji semayo: adalah musyawarah resmi keluarga kedua belah pihak untuk membicrakan waktu
pertunangan dan perkawinan.
4. Ulur
antarserah terimo pusako: yaitu pihak laki-laki menepati janji dengan
mengantarkan barang-barang ke rumah si gadis sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.
5. Sebagai inti
dari suatu upacara pernikahan terjadi pada saat Sedekah Labuh, yang mana pada
aat itu perkawinan diresmikan dengan akad nikah dan akad Kabul di hadapan
seorang pemuka agama.
·
Upacara Kematian: Saat
menghadapi masa kritis, manusia perlu melakukan suatu perbuatan untuk
memperteguh iman dan menguatkan dirinya. Dalam hal ini, menurut kepercayaan
setempat perlu diadakan upacara pengucapan mantra-mantra secara bersama-sama
yang dipimpin oleh seorang dukun. Atau menurut agama Islam diwujudkan dalam
bentuk pembacaan Bardah dan Surat Yasin oleh seorang pemuka agama. Begitu orang
yang bersangkutan wafat, kembali dibacakan ayat-ayat suci oleh salah seorang
keluarganya.
Keluarga yang terkena musibah wajib memberitahukan
berita dukacita itu kepada kepala kaum kerabatnya (tua tengganai) dan Imam
Masjid. Setelah itu jenazah dimandikan, dibalut kain kafan, dan disholatkan.
Setelah itu jenazah bisa disemayamkan dan dipasang batu nian serta ditutup
dengan pembacaan doa. Pada malam harinya diselenggarakan pengajian dan tahlil
selama 3-7 malam oleh kerabat dan tetangga dekat orang yang meninggal. Pada
hari ke-7 setelah kematian diadakan upacara Naik Tanah yaitu memperbaiki tanah
perkuburan. Rangkaian upacara tersebut diakhiri dengan makan bersama (sedekah
selamatan) untuk memperingati orang yang meninggal.
f)
MAKANAN TRADISIONAL
Gulai Ikan
Patin
Gulai Ikan Patin adalah masakan yang
populer di masyarakat Jambi.Gulai ini dimasak dengan menggunakan tempoyak yaitu
daging buah durian yang telah difermentasi. Tetapi ada sebagian orang yang
memilih untuk mengganti tempoyak dengan santan kelapa untuk menghindari bau dan
rasa tempoyak yang cukup menyengat. Selain tempoyak bumbu lain yang digunakan
dalam pembuatan Gulai Ikan Patin ini adalah cabe merah, lengkuas, serai,
kunyit, bawang merah dan bawang putih
g)
KERAJINAN
·
Anyaman
anyaman yang
berkembang dalam bentuk aneka ragam. Kerajinan anyaman di buat dari daun pandan,
daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan, daun kelapa, daun nipah,
dan daun rumbia. Hasil anyaman ini bermacam–macam, mulai dari bakul, sumpit,
ambung, katang–katang, tikar, kajang, atap, ketupat, tudung saji, tudung kepala
dan alat penangkap ikan yang disebut Sempirai, Pangilo, lukah dan sebagainya.
·
Tenun dan batik motif flora
Tenun
dntenun yang sangat terkenal, yaitu tenunan dan batik motif flora. Batik biasa
kita tau kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Namun sesungguhnya seni batik itu
tak hanya berada di pulau Jawa saja, beberapa daerah di Sumatera pun juga
memiliki seni batik tersendiri. Ini terbukti banyaknya hasil batik yang di
hasilkan dari Jambi, baik buatan pabrik maupun produksi rumah tangga. Produk
batik dapat berkembang hingga sampai pada suatu tingkatan yang membanggakan
baik desain maupun prosesnya. Begitu pula dengan batik yang ada tumbuh dan
berkembang di daerah Jambi.
Pada zaman
dahulu batik Jambi hanya dipakai sebagai pakaian adat bagi kaum bangsawan/raja
Melayu Jambi. Hal ini berawal pada tahun 1875, Haji Muhibat beserta keluarga
datang dari Jawa Tengah untuk menetap di Jambi dan memperkenalkan pengolahan
batik. Motif batik yang diterapkan pada waktu itu berupa motif – motif ragam
hias seperti terlihat pada ukiran rumah adat Jambi dan pada pakaian pengantin,
motif ini masih dalam jumlah yang terbatas. Penggunaan motif batik Jambi, pada
dasarnya sejak dahulu tidak dikaitkan dengan pembagian kasta menurut adat,
namun sebagai produk yang masih eksklusif pemakaiannya dan masih terbatas di
lingkungan istana.
Dengan
berkembangnya waktu, motif yang dipakai oleh para raja dan keluarganya saat ini
tidak dilarang digunakan oleh rakyat biasa. Keadaan ini menambah pesatnya
permintaan akan kain batik sehingga berkembanglah industri kecil rumah tangga
yang mengelola batik secara sederhana.
Perkembangan
batik sempat terputus beberapa tahun, dan pertengahan tahun 70-an ditemukan
beberapa lembar batik kuno yang dimiliki oleh salah seorang pengusaha wanita
“Ibu Ratu Mas Hadijah” dan dari sanalah batik Jambi mulai digalakkan kembali
pengembangannya. Salah seorang ibu yang turut juga membantu perkembangan
pembatikan di Jambi adalah Ibu Zainab dan Ibu Asmah yang mempunyai keterampilan
membatik di Seberang Kota.
Pada mulanya
pewarnaan batik Jambi masih menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan
yang terdapat di dalam hutan daerah Jambi, seperti :
1. Kayu Sepang
menghasilkan warna kuning kemerahan.
2. Kayu
Ramelang menghasilkan warna merah kecokelatan.
3. Kayu Lambato
menghasilkan warna kuning.
4. Kayu Nilo
menghasilkan warna biru.
Warna-warna
tersebut merupakan warna tradisional batik Jambi, yang mempunyai daya pesona
khas yang berbeda dari pewarna kimia.****
·
Ukir kayu betung
Merupakan
kerajinan ukir kayu yang terdapat di Desa Betung. Kabupaten Batanghari. Para
pengrajin memanfaatkan produk kayu hutan yang banyak terdapat di Jambi. Jenis
kayu yang banyak dipakai sebagai bahan baku adalah rengas, meranti dan
jelutung. Sebagian besar produknya untuk perabot rumah tangga seperti meja,
kursi dan tempat tidur.
h) SUKU / ETNIS
·
Suku Kubu
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang
Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra,
tepatnya di Provinsi Jambi
dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di
propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak
Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air
Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka
kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini
diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku
Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi
mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara
Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12,
dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara
nomaden
dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka
sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat
mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi
dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang
ada di Jambi dan Sumatera Selatan. Mayoritas
suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh
keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam
·
Suku Batin
Suku Batin adalah suku Melayu
di provinsi Jambi
di bagian pedalaman pulau Sumatra,
Indonesia.Ada sekitar 72.000
orang Batin yang tinggal di pedalaman Sumatra tengah bagian selatan. Mereka
menuturkan bahasa Melayu
dengan dialek Jambi.Suku
Batin kebanyakan beragama Muslim,
tetapi menganut sistem matrilineal.
i)
BAHASA DAERAH
Jambi
adalah salah satu pemakai asli Bahasa Melayu. Hal ini dapat dihilat dari hasil
penelitian kepurbakalaan dan sejarah, telah diketemukan piagam-piagam atau
prasasti-prasasti yang diketemukan seperti prasasti karang birahi menggunakan
pola struktur bahasa melayu yang lazim disebut Melayu Kuno.
Bahasa
Jambi dalam arti kata bahasa-bahasa yang ada di Jambi, selain Bahasa
Indonesia, pada dasarnya juga berasal dari bahasa Melayu yang telah
mengalami perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan sesuai dengan
pengaruh yang diterimanya dari bahasa-bahasa lain. Di lain pihak bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional juga berasal dari bahasa Melayu yang telah
pula mengalami proses perkembangan dan perubahan sebab akibat dari masuknya
anasir-anasir bahasa lain. Dengan demikian bahasa Jambi dan Bahasa Indonesia
mempunyai dasar yang sama, ialah bahasa Melayu. Oleh karena itu tidaklah banyak
perbedaan antara bahasa Jambi dengan bahasa Indonesia. Adapun perbedaan yang
tampak jelas antara bahsa Jambi dengan bahasa Indonesia, pada umumnya merupakan
pertukaran dan perbedaan bunyi yang manifestasinya tampak pada keragaman dialek
yang ada dalam bahasa daerah Jambi.
a. Dalam Kabupaten
Kerinci, dipergunakan bahasa Kerinci.
b. Dalam Kabupaten
Batanghari dipergunakan bahasa Melayu Jambi.
c. Dalam Kabupaten
Tanjung Jabung dipergunakan bahasa melayu Jambi, bahasa Bugis, dan bahasa
Bajau.
d. Dalam Kabupaten
Sarolangun dipergunakan bahasa Melayu Jambi.
e. Dalam Kabupaten
Bungo Tebo dipergunkan bahasa Melayu Jambi.
f. Dalam Kota
madya Jambi dipergunakan bahasa Melayu Jambi, Bahasa Minangkabau dan Bahasa
Palembang.
Dialek-dialek
yang ada suatu aspek pemakain bahasa oleh setiap kelompok persukuan dalam sautu
daerah, seringkali menunjukkan adanya perbedaan yang besar secara horizontal.
Dalam bahasa Jawa misalnya, jelas ada perbedaa-perbedaan antara bahasa Jawa
yang diucapkan di Purwokerto, dan Tegal, dan Kebumen, di Surakarta atau
Surabaya. Begitu pula dengan bahasa Jambi yang diucapkan di Lingkungan daerah
Kerinci berbeda dengan bahasa Jambi diucapkan di daerah Suku Anak Dalam (Kubu),
atau di Lingkungan daerah Melayu Jambi dan sebagainya. Bahasa yang berbeda
secara horizontal itulah yang kita sebut dengan istilah dialek.
Dialek-dialek
yang dikenal di daerah Jambi dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam,
yaitu: dialek Suku Anak Dalam, dialek Melayu Jambi, dialek Kerinci, dialek
orang Batin, dialek Suku Pindah, Dialek orang-orang Penghulu, dan dialek Bajau.
Suku
Anak Dalam, dalam berbahasa, Melayu Tua, mereka mengenal dan paseh menggunakan
bunyi sengau atau ucapan ke pangkal lidah dan hidung.
Contoh:
Rumah =ghumah
Parang
=Paghang
Kemari
=Kemaii (diucapkan agak Paniang)
Dalam
pembicaraan sehari-hari pada umumnya ucapan huruf dalam suatu kata atau
perkataan berubah, misalnya huruf kedua (a) berubah menjadi (e)dan huruf
terakhir kedua dari akhir (a) berubah menjadi (0).
Contoh
: Batang =Betong
Makan
=Mekon
Berjalan
=Bejelon
Kemana
=Kemeno
Bapak
=Bepok
Karena
suku Anak Dalam tidak dapat menyebut huruf “r’ (er) maka huru ‘y’ (er) diganti
dengan ‘gh’ atau ‘ik’ (yik) atau berubah sama sekali.
Contoh:
Air =Ayik
Sendiri
=Dewek
Rokok
=Ngudut
Di
daerah Kotamadya Jambi, Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tanjung Jabung
dipergunakan bahasa Melayu yang lazim disebut bahasa Melayu Jambi dengan
dialeknya yang disebut dialek Melayu Jambi. Kata-kata yang berakhiran vocal “a’
dalam bahasa Indonesia menjadi “o” dalam bahasa Melayu Jambi.
Contoh
: Mata =Mato
Saya
=Sayo
Lada
=Lado
Rimba
=Rimbo
Kita
=Kito
Berapa
=Berapo
Apa
=Apo
Disamping
itu ada beberapa kata yang tidak berubah dan merupakan pengecualian:
Contoh
: Sepeda =Sepeda (bukan Sepedo)
Bola
=Bal (bukan Bolo)
Dialek
Melayu Jambi dengan perubahan atau pertukaran bunyi seperti di atas tadi
dipakai di daerah-daerah Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari dan di Muaro
Tebo Kabupaten Bungo Tebo. Dialek Melayu itu hampir sama dengn Melayu Palembang.
Oleh karena mungkin sekali dialek Melayu-Jambi mempengaruhi dialek Palembang.
Didaerah
kabupten Tanjung Jabung, kata-kata yang berakhiran Vokal “a” berubah menjadi
“e” dan dalam beberapa hal kata a berubah menjadi i.
Contoh: Siapa =Siape
Apa =Ape
Ditilik
dari segi bunyi dialek Melayu Jambi di Kabupaten Tanjung Jabung itu mirip benar
dengan bahasa Malayu Riau atau Semenanjung Malaya/Malaysia.
Orang-orang
Kerinci yang mendiami daerah Kabupaten Kerinci menggunakan bahasa Kerinci.
Dalam bahasa Kerinci banyak sekali dialek-dialeknya. Setiap dusun atau Kampung
mempunyai dialek tersendiri yang berbeda dengan dialek dusun atau kampung lain.
Secara umum perubahan bunyi dalam bahasa Kerinci terletak pada suku akhir.
Contoh:
Tebu =Tebeu
Timun =Timaung
Jadi
di dalam suku kata biasanya konsonsn “t” pada akhir kata berubah menjadi “K”.
Contoh: Lalat =Lalak
Huruf
“i” pad akhir suku kata berubah menjadi “oi”
Contoh: Besi =Besoi
Padi =Padoi
Lagi =Agoi
Disamping
itu kita jumpai juga perubahan huruf “u” pada akhri kata selalu diawali huruf
“a” atau berubah menjadi “au”
Contoh: Kutu =Kutau
Aku =Akau
Pada
umumnya keragaman dialek orang Batin ditandai oleh adanya perubahan pada akhir
suku kata (at) menjadi (ek).
Contoh
: Membuat =Mbuek
Darat =Darek
Tempat =Tempek
Dilain
pihak dijumpai juga perubahan akhir suku kata, “as” menjadi “eh”.
Contoh: Lepas =Lepeh
Lekas =Lekeh
Pedas =Pedeh
Panas =Paneh
Deras
=Dereh
Dari
contoh-contoh dialek orang Batin itu dapat disimpulkan bahwa dialek orang Batin
agaknya menjadi pengaruh anasir dialek Mingkabau. Hal ini dapat dipahami karena
daerah orang Batin sangat dengan daerah Minagkabau.
Sesuai
dengan asal usul mereka, dialek suku Pindah adalah banyak dipengaruhi dialek
suku Rawa, di mana kesamaannya nampak pada penggantian huruf vocal “a” pada
akhir suku kata menjadi “e”.
Contoh: Ada =Ade
Apa
=Ape
Kemana
=Kemane
Begitu
pula beberapa dialek yang spesifik Rawas Juga merupakan dialek suku Pindah.
contoh:
Ini =Ikak
Air =Aya
Karena
Faktor asa usul orang penghulu yang diperkirakan berhubungan erat dengan
Minangkabau, maka dialek orang-orang Penghulu adalah kebanyakan memakai dialek
Minangkabau yang bercampur dengan dialek Melayu Jambi.
6. PROVINSI SUMATERA SELATAN
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia
yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera.
Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera
Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kep. Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di
selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam,
seperti minyak
bumi, gas
alam dan batu
bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah
terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki
tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi,
Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam dan lain-lain.
Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut
memengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat
beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal
jokjok, berengkes dan tempoyak.
Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu
dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12
Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan
kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya
bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini
berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi
daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari
negeri China.
Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan
Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh
Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang
sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan
pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada
tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota
Palembang yang diperingati setiap tahunnya.
a) SENI ARSITEKTUR
Rumah Limas
Rumah
Limas merupakan prototype rumah tradisional Palembang, selain ditandai denagn
atapnya yang berbentuk limas, rumah limas ini memiliki ciri-ciri; - Atapnya
berbentuk Limas - Badan rumah berdinding papan, dengan pembagian ruangan yang
telah ditetapkan (standard) bertingkat-tingkat.(Kijing) - Keseluruhan atap dan
dinding serta lantai rumah bertopang di atas tiang-tiang yang tertanam di tanah
- Mempunyai ornamen dan ukiran yang menampilkan kharisma dan identitas rumah
tersebut Kebanyakan rumah Limas luasnya mencapai 400 sampai 1.000 meter persegi
atau lebih, yang didirikan di atas tiang-tiang kayu Onglen dan untuk rangka
digunakan kayu tembesu Pengaruh Islam nampak pada ornamen maupun ukiran yang
terdapat pada rumah limas. Simbas (Platy Cerium Coronarium) menjadi symbol
utama dalam ukiran tersebut. Filosofi tempat tertinggi adalah suci dan
terhormat terdapat pada arsitektur rumah limas.
Ruang
utama dianggap terhormat adalh ruang gajah (bahasa kawi= balairung) terletak
ditingkat teratas dan tepat di bawah atap limas yang di topang oleh Alang Sunan
dan Sako Sunan.
Diruang
gajah terdapat Amben (Balai/tempat Musyawarah) yang terletak tinggi dari ruang
gajah (+/- 75 cm). Ruangan ini merupakan pusat dari Rumah Limas baik untuk
adat, kehidupan serta dekorasi. sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang
dihiasi sehingga show/etlege dari kekayaan pemiliki rumah.
Pangkeng
(bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik dikanan maupun dikiri. Untuk
memasuki bilik atau Pangkeng ini, kita harus melalui dampar (kotak) yang terletak
di pintu yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Pada
ruang belakang dari segala terdapat pawon (dapur) yang lantainya sama tingkat
dengan lantai Gegajah tetapi tidak lagi dibawah naungan atap pisang sesisir.
Dengan
bentuk ruangan dan lantai berkijing-kijing tersebut, maka rumah Limas adalah
rumah secara alami mengatur keprotokolan yang rapi, tempat duduk para tamu
disaat sedekah sudah ditentukan berdasarkan status tersebut di masyarakat.
b) PAKAIAN ADAT
Pakaian tradisional
masyarakat Sumatera Selatan biasa disebut dengan nama Aaesan
Gede. Baju adat ini terinspirasi dari zaman kerajaan Sriwijaya yang dulunya
berjaya di daerah Sumatera Selatan.
Busana adat
Palembang ini sebenarnya sudah berasal sejak dari jaman kesultanan Palembang
pada abad ke 16 hingga pertengahan abad yang ke 19, dan waktu itu dikenakan
oleh golongan dari keturunan raja-raja yang disebut dengan Priyai. Berupa
Pakaian kebesaran yang di kenakan untuk laki-laki dan dilengkapi dengan nama
tanjak atau tutup kepala, dan pakaian ini terbuat dari bahan kain batik atau
dari kain tenunan. Pakaian Tanjak ini dibedakan ada tanjak kepudang, tanjak
meler serta tanjak bela mumbang. Semuanya busana ini terbuat dari kain songket
yaitu kain tenunan tradisional dari Palembang.
Sementara
untuk baju yang dikenakan disebut dengan Kebaya pendek, atau dapat pula memakai
kebaya landoong atau kelemkari yaitu sejenis kebaya yang ukuran panjangnya
hingga di bawah lutut. Busana ini terbuat dari bahan kain yang ditenun dan
disulam dengan menggunakan benang emas ataupun dengan benang biasa yang
berwarna, atau bisa pula dengan dicap pakai cairan emas perada. Untuk yang
bagian dalam dikenakan penutup dada yang biasa disebut dengan kutang, dan
terbuat dari bahan kain yang ditenun atau disulam. Sedangkamn untuk penutup
dada biasanya diberi dengan hiasan permata.
Untuk busana
pada bagian yang bawah berupa Celana Panjang yang disebut dengan celano
belabas, celana ini terbuat dari bahan kain yang ditenun. Mulai pada bagian
bawah lutut hingga ke arah bagian mata kaki di buat dengan cara disulam dengan
menggunakan benang emas. Ada juga yang disulam mulai dari bagian pinggul hingga
ke bagian mata kaki dengan motif lajur. Untuk jenis celana yang lain biasanya
disebut dengan celano lok cuan yaitu celana yang panjangnya hingga sebatas
lutut.
Jenis celana
ini cara membuatnya tidak dengan cara disulam dengan benang emas, dan untuk
ukuran celananya juga lebih lebar. Untuk pelengkap Busananya adalah keris.
Sarung keris atau pendok yang terbuat dari emas, ataupun perak dengan tatahan
yang bermotif bunga. Tapi ada juga yang diberi batu permata, hal ini tergantung
pada tingkat ekonomi pemakainya.
c) SENJATA TRADISIONAL
·
Struktur Siwar
Siwar adalah
senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya umumnya
dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada umumnya
siwar berukuran antara 15-30 cm (skin rambai ayam) dengan lebar badan hingga ke
matanya antara 1½-2 cm. Sedangkan, sarung dan gagang siwar terbuat dari kayu
yang keras tetapi ringan agar dapat dibawa atau digunakan dengan mudah. Gagang
siwar yang biasanya berornamen bunga atau tumbuhan bentuknya mirip dengan
senjata reuncong namun membesar di bagian ujungnya.
·
Nilai Budaya
Skin sebagai
hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung
nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain:
keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan
tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan
keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari
proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa
nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam
yang indah dan sarat makna.
d) KESENIAN
·
Tari Gending
Sriwijaya
Gendig Sriwijaya merupakan tarian tradisional
masyarakat Palembang yang digelar untuk menyambut tamu istimewa yang berkunjung
kedaerah tersebut. Untuk menyambut para tamu agung tersebut, digelar suatu
tarian yang salah satunya adalah Gending Sriwijaya. Tarian ini berasal dari
masa kerajaan Sriwijaya dikota Palembang yang mencerminkan sikap tuan rumah
yang ramah, gembira, bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu istimewa
tersebut.
Tarian Gending Sriwijaya ini dibawakan oleh Sembilan
penari wanita yang berbusana adat bernama aesan
gede, selendang mantra, paksangkong, dodot dan tanggai. Mereka merupakan
penari inti yang dikawal oleh dua penari lainnya membawa paying dan tombak,
sedangkan dibagian belakan terdapat penyanyi Gending Sriwijaya. Namun, saat ini
peran penyanyi dan musik pengiring sudah banyak digantikan dengan tape recorder
atau suara rekaman. Dalam bentuk aslinya, musik pengiring ini terdiri atas
gamelan dan gong, sedangkan para pengawal terkadang ditiadakan, terutama
apabila penari tarian itu dipertunjukkan dalam gedung atau panggung tertutup.
Penari paling depan membawa tepak sebagai sekapur sirih atau pembuka untuk
dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang
membawa pridot dari kuningan. Persembahan sekapur sirih ini menurut aslinya
dilakukan oleh putri raja, sultan atau bangsawan. Pembawaw pridon adalah
sahabat akrab atau inang asuh sang putrid, demikian pula penari-penari lainnya.
·
Lagu Daerah –
Pinang Muda
Pinang muda pinang muda di belah dua
Pinang muda pinang muda di belah dua
Manik-manik sekepal digenggam berkilau bersinar
merembah
Sekepal
Manik-manik sekepal digenggam berkilau bersinar
merembah
Dari muda ke tua petuah jangan diubah
Dari muda ke tua petuah jangan diubah
·
Lagu Daerah –
Dek sangke
Dek sangke aku dek sangke
Awak tunak ngaku juare
Alamat badan kan sare
Akhirnya masuk penjare
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Ujiku bujang batanye tua bangke
Anaknya lah gadis gale
Dek sangke gadis tegile
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Ujiku gadis tak batanye jande mude
Anaknye la hade tige
Dak sangke bujang tegile
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
e) ADAT ISTIADAT
·
Tradisi Penegak
Jurai Adat Rambang
Sebuah tradisi akan
senantiasa dijaga dan dilestarikan jika memiliki nilai dan makna yang
terkandung di dalamnya. Begitupun dengan tradisi penegak jurai adat Rambang
ini. Sebuah tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari generasi
kegenerasi, hal ini menunjukan bahwa Tradisi Penegak Jurai adat Rambang
menyimpan dan memiliki sebuah makna yang mendalam bagi masyarakat kelurahan
Tanjung Raman. Penggunaan
simbol merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam Tradisi Penegak Jurai Adat
Rambang ini. Hal ini dikarena simbol menyimpan daya magis lewat kekuatan
abstraknya untuk membentuk dunia melalui pancaran makna. Tradisi Penegak Jurai adat Rambang ini
merupakan sebuah simbol yang sangat bermakna karena merupakan falsafah hidup
yang selalu menjadi pegangan masyarakan Tanjung Raman di dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dapat di lihat dari sesajen dan perangkat lainya yang
digunakan dalam upacara Tradisi Penegak Jurai adat Rambang yang selalu
diperingati setiap tahunnya. Banyaknya makna yang terkandung dalam berbagai
perangkat yang digunakan pada prosesi tradisi ini, misalnya : Sirih, Pinang,
Ayam, Beras kunyit, dan lain sebagainya. Benda benda ini memberikan pemahaman
makna kehidupan yang terkandung didalamnya.
f) MAKANAN TRADISIONAL
Pempek
Pempek atau Empek-empek adalah
makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu. Sebenarnya sulit untuk
mengatakan bahwa pempek pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah
di Sumatera Selatan memproduksinya.
Penyajian pempek ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, udang ebi dan cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Bagi masyarakat asli Palembang, cuko dari dulu dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Namun seiring masuknya pendatang dari luar pulau Sumatera maka saat ini banyak ditemukan cuko dengan rasa manis bagi yang tidak menyukai pedas. Cuko dapat melindungi gigi dari karies (kerusakan lapisan email dan dentin). Karena dalam satu liter larutan kuah pempek biasanya terdapat 9-13 ppm fluor. satu pelengkap dalam menyantap makanan berasa khas ini adalah irisan dadu timun segar dan mie kuning.
Penyajian pempek ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, udang ebi dan cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Bagi masyarakat asli Palembang, cuko dari dulu dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Namun seiring masuknya pendatang dari luar pulau Sumatera maka saat ini banyak ditemukan cuko dengan rasa manis bagi yang tidak menyukai pedas. Cuko dapat melindungi gigi dari karies (kerusakan lapisan email dan dentin). Karena dalam satu liter larutan kuah pempek biasanya terdapat 9-13 ppm fluor. satu pelengkap dalam menyantap makanan berasa khas ini adalah irisan dadu timun segar dan mie kuning.
g) KERAJINAN
·
Kain Songket
Kata
songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa
Melayu dan bahasa
Indonesia, yang berarti "mengait"
atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya;
mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang
emas. Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin
berasal dari kata songka, songkok khas Palembang
yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai.
Istilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’.
Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan
atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan
di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak
adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim
dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan
Melayu.
Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau
gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket. Beberapa
kain songket tradisional Sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan
peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional.
Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun
dipolakan dengan hewan dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga dinamai
dengan nama kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang
diduga merupakan penganan kegemaran raja.
Sejarah
Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan
budaya Melayu, dan menurut sementara orang
teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab.Menurut hikayat rakyat
Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di
antara Tiongkok dan India. Orang
Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas
dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai
Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas
atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara
pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik
tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang
kemudian berkembang ke selatan di Pattani
dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu sekitar tahun 1500-an.
Industri kecil rumahan tenun songket kini masih bertahan di pinggiran Kota
Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang
memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang
mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11).
Menurut tradisi Indonesia
sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan
niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di
Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur
di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya
memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun
tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera
terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau.
Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera,
bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng
emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan
benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi. Songket mungkin
dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang
merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang
berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara
satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya
memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket
sebagai destar, tanjak atau ikat kepala.
Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai
asal-usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket mencapai
semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu,
karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam
suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu
untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di
kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal;
benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli.
Songket sebagai busana diraja
juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1849.
Motif
Songket
memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah
penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai
Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie
Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek,
Minangkabau. Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket
tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru
22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang
telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan
Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif
Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club.
Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni
motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur
Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar
Berkandang, dan sejumlah motif lain.
Ditinjau dari bahan, cara
pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang
menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket
tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata,
karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga
yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang
emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala
yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap
dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
Sejak dahulu kala hingga
kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu,
Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin
laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan.
Di masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket
sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar,
tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan
sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung.
Meskipun berasal dari
kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup
dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha
menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang
lebih lembut. Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan
digemari masyarakat. Sebagai benda seni, songket pun sering
dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern
amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan
kantung ponsel.
h) SUKU / ETNIS
·
Suku Kubu
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang
Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya
di Provinsi Jambi
dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di
propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak
Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka
kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini
diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku
Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi
mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara
Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12,
dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan
mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka
sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat
mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di
Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di
Jambi dan Sumatera Selatan. Mayoritas
suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh
keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam
i)
BAHASA
DAERAH
Bahasa daerah masyarakat Sumatera Selatan yaitu
Bahasa Palembang. Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan, yaitu baso
Pelembang alus atau bebaso dan baso Pelembang sehari-hari. Baso
Pelembang alus dipergunakan dalam percakapan dengan pemuka masyarakat,
orang-orang tua, atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara adat. Bahasa ini
berakar pada bahasa Jawa karena raja-raja Palembang berasal dari Kerajaan Majapahit, Kerajaan
Demak, dan Kerajaan Pajang. Itulah sebabnya perbendaharaan
kata Baso Pelembang Alus banyak persamaannya dengan perbendaharaan kata
dalam bahasa Jawa.
Sementara itu, baso
sehari-hari dipergunakan oleh wong Palembang dan berakar pada bahasa
Melayu. Dalam praktiknya sehari-hari, orang Palembang biasanya mencampurkan
bahasa ini dan bahasa Indonesia (pemilihan kata berdasarkan
kondisi dan koherensi) sehingga penggunaan bahasa Palembang menjadi suatu seni tersendiri.
Bahasa Palembang memiliki
kemiripan dengan bahasa daerah di provinsi sekitarnya, seperti Jambi, Bengkulu bahkan
provinsi di Jawa (dengan intonasi berbeda). Di Jambi dan Bengkulu, akhiran 'a'
pada kosakata
bahasa Indonesia biasanya diubah menjadi 'o'.
7. PROVINSI BENGKULU
No comments:
Post a Comment